SOSIOLINGUISTIK
PERUBAHAN, PERGESRAN DAN PEMERTAHANAN BAHASA
HAKIKAT
BAHASA
Bahasa
adalah sesuatu yang hidup. Sebagai sesuatu yang hidup, ia tentu mengalami
perubahan. Perkembangan berarti perubahan. Perubahan itu terjadi karena bahasa
adalah satu-satunya milik manusia yang tak pernah lepas dari segala kegiatan
dan gerak manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Keterkaitan
dan keterkaitan bahasa manusia itulah yang mengakibatkan bahasa menjadi tidak
statis, atau dengan kata lain bahasi itu bersifat dinamis.
Arus
global berimbas pula pada penggunaan dan keberadaan bahasa Indonesia di
masyarakat. Penggunaan bahasa di dunia maya, internet, facebook misalnya,
member banyak perubahan bagi struktur bahasa Indonesia yang oleh beberapa pihak
disinyalir merusak bahasa itu sendiri. Berlandaskan alasan globalisasi dan
prestise, masyarakat mulai kehilangan rasa bangga menggunakan bahasa nasional.
Tidak hanya pada rakyat kecil, ‘krisis bahasa’ juga ditemukan pada pejabat
Negara. Kurang intelek katanya kalau dalam setiap ucapan tidak dibumbui
selingan bahasa asing yang sebenarnya tidak perlu. Hal tersebut memunculkan
istilah baru, yaitu ‘Indoglish’ kependekan dari ‘Indonesia-English’ untuk
fenomena bahasa yang kian menghantam bahasa Indonesia.
PERUBAHAN
BAHASA
Perubahan
bahasa pada dasarnya tidak dapat diamati dan diobservasi dengan jelas. Hal ini
dikarenakan perubahan menjadi sifat hakiki bahasa. Bahasa bisa berubah dalam
waktu yang relatif lama atau proses yang panjang, sedangkan manusia yang
mengamati memiliki waktu yang terbatas untuk hidup. Jadi, bukti perubahan hanya
dapat diobservasi jika manusia pemakai bahasa di masa lalu memiliki tradisi
tulis dan mempunyai dokumen-dokumen tertulis tentang bahasa yang mereka
gunakan.
Chaer dan Leonie (2004:134)
menjelaskan ada beberapa bahasa di dunia yang didokumentasikan secara tertulis
dengan baik oleh masyarakat penuturnya, diantaranya bahasa Inggris, bahasa
Arab, dan bahasa Jawa. Bahasa-bahasa itu dapat diikuti perkembangannya sejak
awal dan dapat diketahui perubahannya dari waktu ke waktu.
Perubahan bahasa lazim diartikan
sebagai perubahan kaidah baik kaidah yang direvisi maupun kaidah yang
menghilang, atau dapat pula muncul kaidah baru dalam tataran lingustik:
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon.
a. Perubahan Bahasa Dibidang Fonologi
Perubahan
fonem atau perubahan bunyi dalam bahasa Indonesia dapat kita amati berkat
adanya dokumentasi tertulis. Sebelum diberlakukan EYD, fonem /f/, /x/, dan /z/
belum muncul dan belum dimasukkan dalam khasanah fonem bahasa Indonesia, yang
dikenal justru fonem /p/ dan/z/. Akan tetapi, dalam perkembangan bahasa
Indonesia fonem-fonem tersebut dapat berubah menjadi /f/ dan /z/ pada beberapa
kata berbahasa Indonesia. Perubahan
fonem /p/ menjadi /f/ dapat diamati pada kata napas yang kini dilafalkan nafas, Pebruari dilafalkan Februari, dan kata yang
dulunya berfonem /s/ kini ada yang berubah menjadi /z/ misalnya kata lasim
menjadi lazim, lesat menjadi lezat.
Perubahan fonologi dalam bahasa
Indonesia juga berupa penambahan fonem. Bahasa Indonesia mulanya belum mengenal
fonem /f/ akhirnya mengenal fonem tersebut akibat penyerapan kata seperti kata
fakir yang berasal dari bahasa Arab, fonem /kh/ seperti kata khusus,akhir yang
juga berasal dari bahasa arab, dan /x/ pada kata taxi yang muncul akibat
penyerapan bahasa Inggris. Akibat dari perubahan fonem dan penambahan fonem
dalam bahasa Indonesia, pola silabel bahasa Indonesia juga mengalami perubahan
yang dulunya hanya sebatas pola V, VK, KV, KVK kini bertambah menjadi KKV,
KKVK, KVKK, misalnya pola KKV pada kata khu-sus, kha-wa-tir, mu-sya-wa-rah, pola
KKVK pada kata prak-tik, tran-smig-ra-si, dan pola KVKK pada kata makh-luk,
masy-hur.
b. Perubahan Bahasa Dibidang Morfologi
Perubahan bahasa bukan hanya
dialami dalam bidang fonologi. Perubahan juga dapat diamati dalam bidang
morfologi, yakni pada proses pembentukan kata. Hal ini terlihat pada proses
penasalan pembentukan prefiks me- dan pe- (Chaer dan Leonie, 2004:136). Apabila
kedua prefiks tersebut dibubuhi pada kata yang dimulai dengan konsonan /l/,
/r/,/w/,/y/ tidak akan terjadi penasalan, seperti kata melupakan, pelupa,
merasa, pewaris, meyakini. Itu artinya konsonan-konsonan tersebut tidak luluh
dan tidak berubah bunyi.
Jika prefiks me- dan pe- diimbuhkan
pada kata yang dimulai dengan konsonan /b/ dan maka diberi nasal /m/, misalnya
membuat, pembaca, konsonan /p/ menjadi luluh dan berubah menjadi /m/, misalnya
memupuk, memomulerkan. Adapula konsonan /s/ luluh dan diberi nasal /ny/ seperti
kata menyapu, menyalin, konsonan /k/ juga akan luluh dan diberi nasal /ng/
seperti kata mengoreksi, pengoleksi. Begitu pula dengan konsonan /g/,/h/ tetapi
tidak luluh namun tetap diberi nasal /ng/ seperti kata penggandaan
menghadirkan,sedangkan konsonan /t/ akan
luluh dan diberi nasal /n/ seperti kata peneror, meneror.
Di lain sisi, ada beberapa kata
yang memiliki satu suku kata yang diserap dari bahasa jika menggunakan kaidah
prefiks me- dan pe- akan berubah menjadi menge- dan penge-, seperti kata bom
menjadi mengebom, sah menjadi mengesahkan, bom menjadi pengebom. Ahli tata
bahasa tradisional tidak mau mengakui kaidah menge- dan penge- karena dianggap
merusak dan menyalahi kaidah penggunaan bahasa. Akan tetapi, yang terjadi
sekarang adalah kedua alomorf tersebut diakui sebagai dua alomorf bahasa
Indonesia untuk morfem pe- dan me- (Chaer dan Leonie, 2010 : 137). Dengan
diakui kedua alomorf tersebut jelaslah terlihat terjadinya perubahan besar
dalam morfologi bahasa Indonesia
c. Perubahan Bahasa Dibidang Sintaksis
Chaer dan Leonie (2004 : 138)
menyebutkan perubahan kaidah sintaksis dalam bahasa Indonesia juga dapat kita
amati dengan logis, contohnya saja pada kalimat aktif transitif. Menurut kaidah
sintaksis,sebuah kalimat dapat dikatakan sebagai kalimat aktif transitif
haruslah diikuti oleh objek atau dapat dikatakan pula harus memiliki objek.
Akan tetapi, dewasa ini banyak pula kalimat aktif transitif yang tidak
menggunakan objek seperti :
“Masliana melaporkan
dari tempat kejadian.”
Kalimat di atas
biasanya dipakai oleh pencari berita atau reporter berita yang menayangkan berita
langsung dari tempat kejadian.
“Kabar itu sangat
menggembirakan”
“Adik sedang bermain di
ruang tengah”
“Ananda belajar menulis
dan berhitung sejak duduk di bangku kelas 1 SD”
“Kakek sudah makan,
tetapi belum minum”
“Aku berjalan di
trotoar”
Perlu diketahui, definisi sederhana
dari kalimat aktif adalah kalimat yang subjeknya melakukan pekerjaan, sedangkan
objeknya “menderita” atau dikenai pekerjaan. Ciri lain yang memudahkan kita
untuk menentukan kalimat aktif, yaitu predikat pada kalimat aktif berawalan me-
atau ber-.
Seperti yang dipaparkan di atas,
kalimat aktif transitif adalah kalimat aktif yang predikatnya memerlukan objek.
Paino (2007 :246) mengemukakan jika tidak mendapatkan objek, kalimat aktif
transitif akan memiliki makna yang tidak jelas. Melihat contoh di atas aturan
kalimat aktif transitif harus memiliki objek tidaklah berlaku karena walaupun
kalimat tidak dibubuhi objek, kalimat-kalimat tersebut masih jelas dan logis
maknanya.
d. Perubahan Bahasa Dibidang Kosakata
Perubahan
kosakata dapat diartikan sebagai pertambahan kosakata baru, hilangnya kosakata
lama, dan berubahnya makna kata. Perubahan kosakata inilah yang paling mudah
untuk diamati. Ini terbukti dari semakin banyaknya jumlah kosakata pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia di setiap penerbitannya. Chaer dan Leonie (2010:139)
mengungkapkan ada beberapa faktor perubahan kosakata dalam suatu bahasa,
diantaranya:
1. Penyerapan Bahasa
Asing dan Bahasa Daerah
Penyerapan bahasa-bahasa asing dan
bahasa-bahasa nusantara menjadi salah satu faktor bertambahnya kosakata baru
dalam bahasa Indonesia. Proses penyerapan atau peminjaman ini ada yang
dilakukan secara langsung dari bahasa sumbernya, adapula melalui bahasa lain.
Kata kasus dalam bahasa Indonesia merupakan contoh bahasa serapan langsung dari
bahasa Latin, kata sastra, sabda, panca juga merupakan contoh serapan langsung
dari bahasa Sansekerta. Kata algebra pada bahasa Prancis merupakan pinjaman
dari bahasa Spanyol yang menyerap pula dari bahasa Arab. Pada bahasa Indonesia
kata sistem merupakan pinjaman dari
bahasa Belanda, yaitu syteem yang
menyerap pula dari bahasa Inggris system.
2. Proses Penciptaan
Kosakata Baru
Selain menyerap dan meminjam dari
bahasa lain, perubahan kosakata juga dapat dilakukan dengan proses penciptaan.
Misalnya pada kata Kleenex dibentuk dalam bahasa Inggris dibentuk dari kata
clean, kata jell-O dari kata jell. Dalam bahasa Indonesia pena dibentuk dari
kata pen yang berasal dari Bahasa Inggris.
3. Pemberian Nama
Produk atau Merek Dagang
Pemberian nama produk atau merek
dagang seperti: kodak untuk sebutan kamera, honda untuk sebutan motor, rinso
untuk sebutan sabun cuci pakaian juga memberi kontribusi terhadap perubahan
kosakata bahasa Indonesia.
4. Pemendekan Kata dan
Akronim
Pemendekan kata juga merupakan bagian dari perubahan
kosakata, contohnya tv untuk televisi, prof untuk profesor, com untuk sebutan
email di computer, TNI untuk Tentara Negara Indonesia. Di samping proses
pemendekan, pembentukan akronim juga berkontribusi terhadap perubahan kosakata,
seperti kata ABRI, Pukskesma, NASA, UNESCO, SARA,dan masih banyak contoh
lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
5. Penggabungan Kata
atau Kata Majemuk
Penggabungan
dua kata atau lebih yang membentuk makna baru dan berbeda dengan makna kata yang semula, juga
banyak digunakan untuk menciptakan kata-kata baru dalam bahasa Indonesia,
seperti kata matahari, saputangan,
mahasiswa, meja hijau, hulubalang, kaki lima.
6. Penyingkatan
Gabungan Kata
Ada beberapa kata yang baru tercipta
melalui proses penggabungan beberapa kata yang kemudian disingkat kembali,
contoh: Karimata (Kalimantan dan Sumatra), keretapi (kereta dan api), Denbar
(Denpasar Barat).
Seperti yang telah dipaparkan Chaer
dan Leonie (2010:139), perubahan
kosakata tidak hanya semata-mata akibat dari penambahan kosakata, tetapi bisa
pula disebabkan oleh hilangnya penggunaan kosakata di masyarakat. Terbukti ada
beberapa kata dalam Bahasa Indonesia yang saat ini tidak lagi digunakan oleh
masyarakat penuturnya, seperti kata engku untuk sebutan guru laki-laki, tingkap
untuk sebutan jendela, ungkai yang artinya terbuka, babu yang artinya pembantu,
bunting yang berarti hamil. Akan tetapi, ada beberapa kosakata yang lama sudah
tidak muncul atau sempat menghilang kini kembali digunakan seperti kata galau,
kudapan, mengelola.
e. Perubahan Bahasa Dibidang Semantik
Perubahan semantik secara umum
berupa perubahan pada makna butir-butir leksikal yang mungkin saja berubah
total, meluas, atau bisa pula menyempit (Chaer dan Leonie, 2010:141). Berikut
akan dijelaskan pemaparannya secara terperinci.
a.Perubahan Semantik
Total
Perubahan semantik yang bersifat
total adalah makna kata terdahulu jauh berubah dan berbeda arti dengan makna
kata sekarang, contohnya kata pena yang dahulu bermakna bulu angsa sekarang
berarti alat tulis bertinta, ceramah yang dahulu bermakna cerewet sekarang
berarti uraian suatu bidang ilmu, seni yang dahulu berarti air kencing sekarang
berarti karya yang bernilai halus.
b. Perubahan Semantik
Meluas
Perubahan makna meluas berarti kata
yang dahulu hanya memiliki satu makna, kini memiliki lebih dari satu makna,
seperti kata saudara dahulu hanya berarti orang yang lahir dari rahim ibu yang
sama, kini meluas menjadi kata ganti orang seperti “kamu” dan “anda”. Kata
kepala yang dulu berarti bagian tubuh paling atas, sekarang bisa pula berarti
pemimpin. Kata picture yang dulu hanya bermakna gambar, kini maknanya meluas
menjadi potret, bioskop, dan foto.
Pateda
(1987:82) juga memberikan contoh kata “amplop” yang pada mulanya di kalangan
pegawai kantor dihubungkan dengan pembungkus surat, sedangkan kini “amplop”
juga dapat diartikan “suap- menyuap”. Contohnya saja seperti kalimat berikut
“Berikan saja amplop kepadanya agar kamu lolos tes CPNS”. Pada kalimat tersebut
kata amplop memiliki arti “uang suap” untuk lolos tes CPNS. Hal ini
mengindikasikan ”amplop” mengalami perluasan makna.
c. Perubahan Semantik
Menyempit
Perubahan makna menyempit berarti
kata yang pada mulanya memiliki makna yang luas, kini menyempit makna, seperti
kata sarjana dalam bahasa Indonesia bermakna orang-orang pandai tidak hanya
dinilai dari tingkat pendidikan, sedangkan sekarang sarjana bermakna orang yang
sudah lulus dari perguruan tinggi. Sama halnya dengan kata ahli pada mulanya
bermakna orang yang termasuk dalam satu golongan, kini bermakna orang yang
pandai dalam suatu bidang.
Berdasarkan pemaparan di atas,
dapat disimpulkan Chaer dan Leonie membedakan perubahan bahasa dari 5 sisi pengkajian
bahasa, yakni: 1) perubahan secara fonologi, 2) morfologi, 3) sintaksis, 4)
kosakata, 5) semantik. Perlu diketahui pula, di sisi lain Wardaught dalam Chaer
dan Leonie (2010 : 142) membedakan ada dua macam perubahan bahasa, yaitu
perubahan internal yang terjadi dari dalam bahasa itu sendiri, dan perubahan
secara eksternal terjadi perubahan bahasa akibat penyerapan kosakata asing,
penambahan fonem dari bahasa lain.
PERGESERAN
BAHASA
Pemertahan
dan pergeseran bahasa merupakan kensekuensi jangka panjang dan kolektif dari
pola-pola pilihan bahasa yang konsisten. Pergeseran bahasa kadang-kadang
disebut kepunahan bahasa, terutama kalau kelompok yang sedang bergeser
bahasanya itu tinggal satu-satunya di dunia. Pertanyaan tentang apakah kita
dapat menduga akan adanya pergeseran atau pemertahan bahasa? Dapat dijawab “ya”
Pergeseran bahasa akan terjadi hanya kalau, dan seberapa jauh, suatu guyup
menghendaki untuk mengilangkan identitasnya sebagai kelompok sosiokultural yang
dapat diidentfikasi sendiri demi identitas sebagai bagian dari guyup lain.
Sangat sering kelompok lain itu adalah kelompok yang lebih besar yang mendorong
masyarakat tempat guyup pertama itu sebagai minoritas.
Pergeseran
bahasa berkaitan dengan fenomena sosiolinguistik yang terjadi akibat
adanya kontak bahasa. Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa
oleh sekelompok penutur yang bisa terjadi akibat perpindahan dari satu
masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Apabila seseorang atau sekelompok
penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan berinteraksi
dengan masyarakat tutur di wilayah tersebut, maka akan terjadilah pergeseran
bahasa. Kelompok pendatang umumnya harus menyesuaikan diri dengan menanggalkan
bahasanya sendiri dan menggunakan bahasa penduduk setempat. Dengan kata
lain, Para pendatang cenderung menyesuaikan diri dengan bahasa interlokutor.
Proses pergeseran bahasa ini bisa saja diawali oleh sejumlah kecil penutur dan
baru dikatakan pergeseran penuh ketika sejumlah kelompok atau guyub ikut serta
melakukan penyesuain bahasa.
Saat
dilahirkan ke dunia ini, manusia mulai belajar bahasa. Sedikit demi sedikit,
bahasa yang dipelajari olehnya sejak kecil semakin dikuasainya sehingga jadilah
bahasa yang ia pelajari sejak kecil itu sebagai bahasa pertamanya. Dengan
bahasa yang dikuasai olehnya itulah, ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya.
Beranjak remaja, ia sudah menguasai lebih dua atau lebih bahasa. Semua itu ia
peroleh ketika berinteraksi dengan masyarakat atau ketika di bangku sekolah.
Hal ini menyebabkan ia menjadi dwibahasawan atau multibahasawan. Ketika menjadi
dwibahasawan atau multibahasawan, ia dihadapkan pada pertanyaan, yaitu manakah
di antara bahasa yang ia kuasai merupakan bahasa yang paling penting? Di
saat-saat seperti inilah terjadinya proses pergeseran bahasa, yaitu menempatkan
sebuah bahasa menjadi lebih penting di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai.
Contoh yang dapat dikemukakan
berdasarkan ilustrasi di atas adalah sebagai berikut. Seorang anak bahasa
pertamanya adalah bahasa A. Lalu, ketika sekolah dia menguasai bahasa B. Lambat
laun ia menyadari bahwa bahasa B lebih penting atau membawa manfaat yang sangat
besar baginya. Hal ini membuat dia lebih memilih bahasa B daripada bahasa A
dalam berinteraksi. Dengan demikian, posisi bahasa A sebagai bahasa yang utama
bagi si anak menjadi bergeser sebagai bahasa yang ‘termarginalkan’ atau
dinomorduakan. Kasus seperti ini disebut dengan kasus pergeseran bahasa.
Faktor
Pendorong Pergeseran Bahasa
Ada
banyak faktor penyebab pergeseran dan kepunahan suatu bahasa. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat di dunia, factor-faktor
tersebut seperti loyalitas bahasa, koonsentrasi wilayah pemukiman, pemakaian
bahasa pada ranah tradisional sehari-hari, kesinambungan peralihan bahasa-ibu
antargenerasi, pola-pola kedwibahasaan, mobulitas social, sikap bahasa, dan
lain-lain. Menurut Romaine (1989) factor-faktor itu juga dapat berupa kekuatan
kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, kelas social, latarbelakang
agama dan pendidikan, hubungan dengan tanah leluhur atau asal, tingkat
kemiripan antara bahasa mayoritas dengan bahasa minoritas, sikap kelompok
mayoritas terhadap kelompok minoritas, perkawinan campur, kebijakan politik
pemerintah terhadap bahasa dan pendidikan kelompok minoritas, serta pola
pemakaian bahasa.
Berdasarkan
uraian diatas, factor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa
dapat di klasifikasikan sebagai berikut.
a)
Faktor
Ekonomi, Sosial dan Politik
Masyarakat
memandang adanya alasan penting untuk mempelajari bahasa kedua dan mereka tidak
memandang perlu untuk mempertahankan bahasa etnisnya. Semua itu untuk tujuan
meningkatkan ekonimi, status social, atau kepentingan politik.
b)
Faktor
Demografi
Letak
daerah baru yang jauh dari asal bisa
menjadi salah satu penyebab terjadinya pergeseran bahasa. Hal ini disebabkan kelompok-kelompok
pendatang akan mengadakan asimilasi dengan penduduk setempat agar mudah
diterima menjadi bagian masyarakat setempat. Pergeseran bahasa biasanya terjadi
di Negara, daerah, atau wilayah yang bisa member harapan untuk kehidupan social
ekonomi yang lebih baik sehingga mengundang penduduk lain untuk mendatanginya.
c)
Sekolah
Sekolah
sering juga dituding sebagai factor penyebab pergeseran bahasa ibu murid,
karena sekolah biasanya mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak. Anak-anak
ini kemudian menjadi dwibahasawan.
Padahal, kedwibahasawan seperti kita ketahui, mengandung resiko
bergesernya salah satu bahasa.
d)
Migrasi
Salah satu factor itu adalah migrasi
atau perpindahan penduduk, yang bisa terwujud dua kemungkinan. Pertama,
kelompo-kelompok kecil bermigrasi ke daerah atau Negara lain yang tentu saja
menyebabkan bahasa mereka tidak berfungsi di daerah baru. Kedua, gelombang
besar penutur bahasa bermigrasi membanjiri sebuah wilayah kecil dengan sedikit
penduduk, menyebakan penduduk setempat terpecah dan bahasanya bergeser.
PEMERTAHANAN
BAHASA
Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala
pemertahanan bahasa sangat menarik untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa
lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana
dicontohkan oleh Danie (dalam Chaer 1995:193) bahwa menurunnya pemakaian
beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh bahasa Melayu
Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia
yang jangkauan pemakaiannya bersifat nasional. Namun ada kalanya bahasa pertama
(B1) yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh
penggunaan bahasa kedua (B2) yang lebih dominan.
Konsep lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman
(dalam Sumarsono 1993: 1). Pemertahanan bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas
penggunaan bahasa di satu pihak dengan proses psikologis, sosial, dan kultural
di pihak lain dalam masyarakat multibahasa. Salah satu isu yang cukup menarik
dalam kajian pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah ketidakberdayaan
minoritas imigran mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa
mayoritas yang lebih dominan.
Ketidakberdayaan sebuah bahasa minoritas untuk bertahan
hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah kontak guyup minoritas
dengan bahasa kedua (B2), sehingga mengenal dua bahasa dan menjadi
dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya
bahasa asli (B1) bergeser atau punah
Sebagai contoh, sekelompok masyarakat etnik Jawa yang
pindah dan menetap di Bali, apabila mereka tetap menggunakan bahasa Jawa (B1)
ditengah-tengah masyarakat mayoritas (masyarakat Bali), maka dapat dikatakan
mereka telah melakukan upaya pemertahanan bahasa. Namun, apabila mereka mulai
terpengaruh untuk menggunakan bahasa mayoritas (bahasa Bali), maka dapat
dikatakan mereka telah mengalami perubahan bahasa. Apabila hal ini terus
berlanjut dalam kurun waktu yang lama, maka menyebabkan terjadinya peralihan
bahasa, dari bahasa Jawa menjadi bahasa Bali. Peralihan bahasa ini akan
menyebabkan terjadinya kemtian bahasa, karena penduduk etnik Jawa sudah sama
sekali tidak menggunakan bahasa Jawa, melaikan sudah total menggunakan bahasa
Bali.
Menurut Chaedar Alwasilah pemertahanan bahasa secara umum
juga sangat erat kaitannya dengan pemertahanan kebudayaan. Hal ini terjadi
karena beberapa alasan, antara lain.
1. Nilai bahasa terletak pada makna
yang disimbolkan oleh bahasa. Bahasa inggris, misalnya, dianggap symbol
modernism dan teknologi, sementara itu bahasa Arab dianggap sebagai symbol
agama Islam. Dua contoh ini menguatkan asumsi bahwa bahasa adalah kendaraan
kebudayaan
2. Dalam konteks Indonesia rujukan
budaya nasional pada mulanya tiada lain adalah budaya-budaya etnis yang diklaim
khususnya oleh para birokrat pemerintah atau kelompok elitis dalam masyarakat
Indonesia sebagai budaya nasional. Kita tidak boleh melupakan bahwa Negara
kesatuan Indonesia ini terbentuk atas kesepakatan kelompok-kelompok etnis untuk
menghimpun diri dalam sebuah organisasi yang disebut Negara kesatuan
3. Pada umumnya orang asing yang
mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa daerah lebih banyak di dasari oleh
minat mempelajari budaya daripada bahasanya. Demikian pula pada umumnya para
turis yang datang ke Indonesia juga Negara lain terpanggil untuk melihat budaya
Indonesia bukan untuk memperlajari bahasanya.
Kasus pemertahanan bahasa juga
terjadi pada masyarakat Loloan yang berada di Bali. Kasus pemertahanan bahasa
Melayu Loloan ini disampaikan oleh Sumarsono (Chaer, 2004:147). Menurut Sumarsono,
penduduk desa Loloan yang berjumlah sekitar tiga ribu orang itu tidak
menggunakan bahasa Bali, tetapi menggunakan sejenis bahasa Melayu yang disebut
bahasa Melayu Loloan sejak abad ke-18 yang lalu ketika leluhur mereka yang
berasal dari Bugis dan Pontianak tiba di tempat itu. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan mereka tetap mempertahankan bahasa Melayu Loloan.
Pertama, wilayah
pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis aak
terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali.
Kedua, adanya
toleransi dari masyarakat mayoritas Bali untuk menggunakan bahasa Melayu Loloan
dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan meskipun dalam interaksi
itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali.
Ketiga, anggota masyarakat Lolan mempunyai
sikpa keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, bahasa Bali.
Pandangan seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya masyarakat Lolan
ini menyebabkan minimnya interaksi fisik antara masyakat Loloan yang minoritas
dan masyarakat Bali yan mayoritas. Akibatnya pula menjadi tidak digunakannya
bahasa Bali dalam berinteraksi intrakelompok dalam masyarakat Loloan.
Keempat, adanya
loyalitas yang tinggi dari masyarakat Melayu Loloan sebagai konsekuaensi
kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri masyarakat
Loloan yang beragama Islam; sedangkan bahasa Bali dianggap sebagai lambang
identitas masyarakat Bali yang beragama Hindu. Oleh karena itu, penggunaan
bahasa Bali ditolah untuk kegiatan-kegiatan intrakelompok terutama dalam ranah
agama.
Kelima, adanya
kesinambungan pengalian bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke
genarasi berikutnya.
Masyarakat
Melayu Loloan ini, selain menggunakan bahasa Melayu Loloan dan bahas Bali, juga
menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia diperlakukan secara berbeda oleh
mereka. Dalam anggapan mereka bahaa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi daripada bahasa Bali. Bahasa Indonesia tidak dianggap memiliki konotasi
keagamaan tertentu. Ia bahkan dianggap sebagai milik sendiri dalam
kedudukan mereka sebagai rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mereka tidak
keberatan menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan-kegiatan keagamaan
KESIMPULAN
Pergeseran
bahasa terjadi karena perpindahan penduduk, ekonomi, sekolah. Akan tetapi,
terdapat pula masyarakat yang tetap mempertahankan bahasa pertamanya dalam
berinteraksi dengan sesama mereka meskipun mereka adalah masyarakat minoritas.
Pemertahanan bahasa sendiri adalah suatu upaya agar bahasa tertentu dapat
dipertahankan keberadaannya. Perubahan Bahasa adalah adanya perubahan
kaidah (direvisi, menghilang atau muncul kaidah-kaidah baru dan semua itu dapat
terjadi pada semua tataran linguistik yaitu, Fonologi, Morfologi, Sintaksis,
Semantik, dan Leksikon.
Pemertahanan
bahasa pada umumnya bertujuan untuk mempertahankan budaya yang berfungsi
sebagai identitas kelompok atau komunitas, untuk mempermudah mengenali anggota
komunitas, dan untuk mengikat rasa persaudaraan sesama komunitas. Keadaan ini
akan umumnya terjadi pada komunitas masyarakat yang memiliki bahasa lebih dari
satu. Faktor yang mendorong bisa saja berasal dari dalam diri individu yang
memiliki rasa cinta akan bahasa ibu sehingga menanamkannya kepada keluarga dan
masyarakat dan dari rasa persatuan serta kecintaan pada indentitas kelompok
atau komunitas yang dimiliki.
Daftar
Pustaka
Suandi, I Nengah.2014. SOSIOLINGUITK. GRAHA ILMU: Yogyakarta