Jumat, 15 April 2016

SOSIOLINGUISTIK
PERUBAHAN, PERGESRAN DAN PEMERTAHANAN BAHASA



HAKIKAT BAHASA
Bahasa adalah sesuatu yang hidup. Sebagai sesuatu yang hidup, ia tentu mengalami perubahan. Perkembangan berarti perubahan. Perubahan itu terjadi karena bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Keterkaitan dan keterkaitan bahasa manusia itulah yang mengakibatkan bahasa menjadi tidak statis, atau dengan kata lain bahasi itu bersifat dinamis.
Arus global berimbas pula pada penggunaan dan keberadaan bahasa Indonesia di masyarakat. Penggunaan bahasa di dunia maya, internet, facebook misalnya, member banyak perubahan bagi struktur bahasa Indonesia yang oleh beberapa pihak disinyalir merusak bahasa itu sendiri. Berlandaskan alasan globalisasi dan prestise, masyarakat mulai kehilangan rasa bangga menggunakan bahasa nasional. Tidak hanya pada rakyat kecil, ‘krisis bahasa’ juga ditemukan pada pejabat Negara. Kurang intelek katanya kalau dalam setiap ucapan tidak dibumbui selingan bahasa asing yang sebenarnya tidak perlu. Hal tersebut memunculkan istilah baru, yaitu ‘Indoglish’ kependekan dari ‘Indonesia-English’ untuk fenomena bahasa yang kian menghantam bahasa Indonesia.

PERUBAHAN BAHASA
Perubahan bahasa pada dasarnya tidak dapat diamati dan diobservasi dengan jelas. Hal ini dikarenakan perubahan menjadi sifat hakiki bahasa. Bahasa bisa berubah dalam waktu yang relatif lama atau proses yang panjang, sedangkan manusia yang mengamati memiliki waktu yang terbatas untuk hidup. Jadi, bukti perubahan hanya dapat diobservasi jika manusia pemakai bahasa di masa lalu memiliki tradisi tulis dan mempunyai dokumen-dokumen tertulis tentang bahasa yang mereka gunakan.
            Chaer dan Leonie (2004:134) menjelaskan ada beberapa bahasa di dunia yang didokumentasikan secara tertulis dengan baik oleh masyarakat penuturnya, diantaranya bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Jawa. Bahasa-bahasa itu dapat diikuti perkembangannya sejak awal dan dapat diketahui perubahannya dari waktu ke waktu.
            Perubahan bahasa lazim diartikan sebagai perubahan kaidah baik kaidah yang direvisi maupun kaidah yang menghilang, atau dapat pula muncul kaidah baru dalam tataran lingustik: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon.

a.      Perubahan Bahasa Dibidang Fonologi
Perubahan fonem atau perubahan bunyi dalam bahasa Indonesia dapat kita amati berkat adanya dokumentasi tertulis. Sebelum diberlakukan EYD, fonem /f/, /x/, dan /z/ belum muncul dan belum dimasukkan dalam khasanah fonem bahasa Indonesia, yang dikenal justru fonem /p/ dan/z/. Akan tetapi, dalam perkembangan bahasa Indonesia fonem-fonem tersebut dapat berubah menjadi /f/ dan /z/ pada beberapa kata berbahasa Indonesia.  Perubahan fonem /p/ menjadi /f/ dapat diamati pada kata napas yang kini dilafalkan nafas,  Pebruari dilafalkan Februari, dan kata yang dulunya berfonem /s/ kini ada yang berubah menjadi /z/ misalnya kata lasim menjadi lazim, lesat menjadi lezat.
            Perubahan fonologi dalam bahasa Indonesia juga berupa penambahan fonem. Bahasa Indonesia mulanya belum mengenal fonem /f/ akhirnya mengenal fonem tersebut akibat penyerapan kata seperti kata fakir yang berasal dari bahasa Arab, fonem /kh/ seperti kata khusus,akhir yang juga berasal dari bahasa arab, dan /x/ pada kata taxi yang muncul akibat penyerapan bahasa Inggris. Akibat dari perubahan fonem dan penambahan fonem dalam bahasa Indonesia, pola silabel bahasa Indonesia juga mengalami perubahan yang dulunya hanya sebatas pola V, VK, KV, KVK kini bertambah menjadi KKV, KKVK, KVKK, misalnya pola KKV pada kata khu-sus, kha-wa-tir, mu-sya-wa-rah, pola KKVK pada kata prak-tik, tran-smig-ra-si, dan pola KVKK pada kata makh-luk, masy-hur.

b.      Perubahan Bahasa Dibidang Morfologi
            Perubahan bahasa bukan hanya dialami dalam bidang fonologi. Perubahan juga dapat diamati dalam bidang morfologi, yakni pada proses pembentukan kata. Hal ini terlihat pada proses penasalan pembentukan prefiks me- dan pe- (Chaer dan Leonie, 2004:136). Apabila kedua prefiks tersebut dibubuhi pada kata yang dimulai dengan konsonan /l/, /r/,/w/,/y/ tidak akan terjadi penasalan, seperti kata melupakan, pelupa, merasa, pewaris, meyakini. Itu artinya konsonan-konsonan tersebut tidak luluh dan tidak berubah bunyi.
            Jika prefiks me- dan pe- diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan /b/ dan maka diberi nasal /m/, misalnya membuat, pembaca, konsonan /p/ menjadi luluh dan berubah menjadi /m/, misalnya memupuk, memomulerkan. Adapula konsonan /s/ luluh dan diberi nasal /ny/ seperti kata menyapu, menyalin, konsonan /k/ juga akan luluh dan diberi nasal /ng/ seperti kata mengoreksi, pengoleksi. Begitu pula dengan konsonan /g/,/h/ tetapi tidak luluh namun tetap diberi nasal /ng/ seperti kata penggandaan menghadirkan,sedangkan  konsonan /t/ akan luluh dan diberi nasal /n/ seperti kata peneror, meneror.
            Di lain sisi, ada beberapa kata yang memiliki satu suku kata yang diserap dari bahasa jika menggunakan kaidah prefiks me- dan pe- akan berubah menjadi menge- dan penge-, seperti kata bom menjadi mengebom, sah menjadi mengesahkan, bom menjadi pengebom. Ahli tata bahasa tradisional tidak mau mengakui kaidah menge- dan penge- karena dianggap merusak dan menyalahi kaidah penggunaan bahasa. Akan tetapi, yang terjadi sekarang adalah kedua alomorf tersebut diakui sebagai dua alomorf bahasa Indonesia untuk morfem pe- dan me- (Chaer dan Leonie, 2010 : 137). Dengan diakui kedua alomorf tersebut jelaslah terlihat terjadinya perubahan besar dalam morfologi bahasa Indonesia

c.       Perubahan Bahasa Dibidang Sintaksis
            Chaer dan Leonie (2004 : 138) menyebutkan perubahan kaidah sintaksis dalam bahasa Indonesia juga dapat kita amati dengan logis, contohnya saja pada kalimat aktif transitif. Menurut kaidah sintaksis,sebuah kalimat dapat dikatakan sebagai kalimat aktif transitif haruslah diikuti oleh objek atau dapat dikatakan pula harus memiliki objek. Akan tetapi, dewasa ini banyak pula kalimat aktif transitif yang tidak menggunakan objek seperti :
“Masliana melaporkan dari tempat kejadian.”
Kalimat di atas biasanya dipakai oleh pencari berita atau reporter berita yang menayangkan berita langsung dari tempat kejadian.
“Kabar itu sangat menggembirakan”
“Adik sedang bermain di ruang tengah”
“Ananda belajar menulis dan berhitung sejak duduk di bangku kelas 1 SD”
“Kakek sudah makan, tetapi belum minum”
“Aku berjalan di trotoar”
            Perlu diketahui, definisi sederhana dari kalimat aktif adalah kalimat yang subjeknya melakukan pekerjaan, sedangkan objeknya “menderita” atau dikenai pekerjaan. Ciri lain yang memudahkan kita untuk menentukan kalimat aktif, yaitu predikat pada kalimat aktif berawalan me- atau ber-.
            Seperti yang dipaparkan di atas, kalimat aktif transitif adalah kalimat aktif yang predikatnya memerlukan objek. Paino (2007 :246) mengemukakan jika tidak mendapatkan objek, kalimat aktif transitif akan memiliki makna yang tidak jelas. Melihat contoh di atas aturan kalimat aktif transitif harus memiliki objek tidaklah berlaku karena walaupun kalimat tidak dibubuhi objek, kalimat-kalimat tersebut masih jelas dan logis maknanya.

d.      Perubahan Bahasa Dibidang Kosakata
Perubahan kosakata dapat diartikan sebagai pertambahan kosakata baru, hilangnya kosakata lama, dan berubahnya makna kata. Perubahan kosakata inilah yang paling mudah untuk diamati. Ini terbukti dari semakin banyaknya jumlah kosakata pada Kamus Besar Bahasa Indonesia di setiap penerbitannya. Chaer dan Leonie (2010:139) mengungkapkan ada beberapa faktor perubahan kosakata dalam suatu bahasa, diantaranya:
1. Penyerapan Bahasa Asing dan Bahasa Daerah
            Penyerapan bahasa-bahasa asing dan bahasa-bahasa nusantara menjadi salah satu faktor bertambahnya kosakata baru dalam bahasa Indonesia. Proses penyerapan atau peminjaman ini ada yang dilakukan secara langsung dari bahasa sumbernya, adapula melalui bahasa lain. Kata kasus dalam bahasa Indonesia merupakan contoh bahasa serapan langsung dari bahasa Latin, kata sastra, sabda, panca juga merupakan contoh serapan langsung dari bahasa Sansekerta. Kata algebra pada bahasa Prancis merupakan pinjaman dari bahasa Spanyol yang menyerap pula dari bahasa Arab. Pada bahasa Indonesia kata sistem merupakan pinjaman dari bahasa Belanda, yaitu syteem yang menyerap pula dari bahasa Inggris system.
2. Proses Penciptaan Kosakata Baru
            Selain menyerap dan meminjam dari bahasa lain, perubahan kosakata juga dapat dilakukan dengan proses penciptaan. Misalnya pada kata Kleenex dibentuk dalam bahasa Inggris dibentuk dari kata clean, kata jell-O dari kata jell. Dalam bahasa Indonesia pena dibentuk dari kata pen yang berasal dari Bahasa Inggris.
3. Pemberian Nama Produk atau Merek Dagang
            Pemberian nama produk atau merek dagang seperti: kodak untuk sebutan kamera, honda untuk sebutan motor, rinso untuk sebutan sabun cuci pakaian juga memberi kontribusi terhadap perubahan kosakata bahasa Indonesia.
4. Pemendekan Kata dan Akronim
            Pemendekan kata  juga merupakan bagian dari perubahan kosakata, contohnya tv untuk televisi, prof untuk profesor, com untuk sebutan email di computer, TNI untuk Tentara Negara Indonesia. Di samping proses pemendekan, pembentukan akronim juga berkontribusi terhadap perubahan kosakata, seperti kata ABRI, Pukskesma, NASA, UNESCO, SARA,dan masih banyak contoh lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
5. Penggabungan Kata atau Kata Majemuk
Penggabungan dua kata atau lebih yang membentuk makna baru dan  berbeda dengan makna kata yang semula, juga banyak digunakan untuk menciptakan kata-kata baru dalam bahasa Indonesia, seperti kata  matahari, saputangan, mahasiswa, meja hijau, hulubalang, kaki lima.
6. Penyingkatan Gabungan Kata
            Ada beberapa kata yang baru tercipta melalui proses penggabungan beberapa kata yang kemudian disingkat kembali, contoh: Karimata (Kalimantan dan Sumatra), keretapi (kereta dan api), Denbar (Denpasar Barat).
            Seperti yang telah dipaparkan Chaer dan Leonie (2010:139),  perubahan kosakata tidak hanya semata-mata akibat dari penambahan kosakata, tetapi bisa pula disebabkan oleh hilangnya penggunaan kosakata di masyarakat. Terbukti ada beberapa kata dalam Bahasa Indonesia yang saat ini tidak lagi digunakan oleh masyarakat penuturnya, seperti kata engku untuk sebutan guru laki-laki, tingkap untuk sebutan jendela, ungkai yang artinya terbuka, babu yang artinya pembantu, bunting yang berarti hamil. Akan tetapi, ada beberapa kosakata yang lama sudah tidak muncul atau sempat menghilang kini kembali digunakan seperti kata galau, kudapan, mengelola.

e.       Perubahan Bahasa Dibidang Semantik
            Perubahan semantik secara umum berupa perubahan pada makna butir-butir leksikal yang mungkin saja berubah total, meluas, atau bisa pula menyempit (Chaer dan Leonie, 2010:141). Berikut akan dijelaskan pemaparannya secara terperinci.
a.Perubahan Semantik Total
            Perubahan semantik yang bersifat total adalah makna kata terdahulu jauh berubah dan berbeda arti dengan makna kata sekarang, contohnya kata pena yang dahulu bermakna bulu angsa sekarang berarti alat tulis bertinta, ceramah yang dahulu bermakna cerewet sekarang berarti uraian suatu bidang ilmu, seni yang dahulu berarti air kencing sekarang berarti karya yang bernilai halus.
b. Perubahan Semantik Meluas
            Perubahan makna meluas berarti kata yang dahulu hanya memiliki satu makna, kini memiliki lebih dari satu makna, seperti kata saudara dahulu hanya berarti orang yang lahir dari rahim ibu yang sama, kini meluas menjadi kata ganti orang seperti “kamu” dan “anda”. Kata kepala yang dulu berarti bagian tubuh paling atas, sekarang bisa pula berarti pemimpin. Kata picture yang dulu hanya bermakna gambar, kini maknanya meluas menjadi potret, bioskop, dan foto.
Pateda (1987:82) juga memberikan contoh kata “amplop” yang pada mulanya di kalangan pegawai kantor dihubungkan dengan pembungkus surat, sedangkan kini “amplop” juga dapat diartikan “suap- menyuap”. Contohnya saja seperti kalimat berikut “Berikan saja amplop kepadanya agar kamu lolos tes CPNS”. Pada kalimat tersebut kata amplop memiliki arti “uang suap” untuk lolos tes CPNS. Hal ini mengindikasikan ”amplop” mengalami perluasan makna.
c. Perubahan Semantik Menyempit
            Perubahan makna menyempit berarti kata yang pada mulanya memiliki makna yang luas, kini menyempit makna, seperti kata sarjana dalam bahasa Indonesia bermakna orang-orang pandai tidak hanya dinilai dari tingkat pendidikan, sedangkan sekarang sarjana bermakna orang yang sudah lulus dari perguruan tinggi. Sama halnya dengan kata ahli pada mulanya bermakna orang yang termasuk dalam satu golongan, kini bermakna orang yang pandai dalam suatu bidang.
            Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan Chaer dan Leonie membedakan perubahan bahasa dari 5 sisi pengkajian bahasa, yakni: 1) perubahan secara fonologi, 2) morfologi, 3) sintaksis, 4) kosakata, 5) semantik. Perlu diketahui pula, di sisi lain Wardaught dalam Chaer dan Leonie (2010 : 142) membedakan ada dua macam perubahan bahasa, yaitu perubahan internal yang terjadi dari dalam bahasa itu sendiri, dan perubahan secara eksternal terjadi perubahan bahasa akibat penyerapan kosakata asing, penambahan fonem dari bahasa lain.

PERGESERAN BAHASA
Pemertahan dan pergeseran bahasa merupakan kensekuensi jangka panjang dan kolektif dari pola-pola pilihan bahasa yang konsisten. Pergeseran bahasa kadang-kadang disebut kepunahan bahasa, terutama kalau kelompok yang sedang bergeser bahasanya itu tinggal satu-satunya di dunia. Pertanyaan tentang apakah kita dapat menduga akan adanya pergeseran atau pemertahan bahasa? Dapat dijawab “ya” Pergeseran bahasa akan terjadi hanya kalau, dan seberapa jauh, suatu guyup menghendaki untuk mengilangkan identitasnya sebagai kelompok sosiokultural yang dapat diidentfikasi sendiri demi identitas sebagai bagian dari guyup lain. Sangat sering kelompok lain itu adalah kelompok yang lebih besar yang mendorong masyarakat tempat guyup pertama itu sebagai minoritas.
Pergeseran bahasa berkaitan dengan fenomena sosiolinguistik yang terjadi akibat adanya kontak bahasa. Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh sekelompok penutur yang bisa terjadi akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Apabila seseorang atau sekelompok penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan berinteraksi dengan masyarakat tutur di wilayah tersebut, maka akan terjadilah pergeseran bahasa. Kelompok pendatang umumnya harus menyesuaikan diri dengan menanggalkan bahasanya sendiri dan menggunakan bahasa penduduk setempat. Dengan kata lain, Para pendatang cenderung menyesuaikan diri dengan bahasa interlokutor. Proses pergeseran bahasa ini bisa saja diawali oleh sejumlah kecil penutur dan baru dikatakan pergeseran penuh ketika sejumlah kelompok atau guyub ikut serta melakukan penyesuain bahasa.
Saat dilahirkan ke dunia ini, manusia mulai belajar bahasa. Sedikit demi sedikit, bahasa yang dipelajari olehnya sejak kecil semakin dikuasainya sehingga jadilah bahasa yang ia pelajari sejak kecil itu sebagai bahasa pertamanya. Dengan bahasa yang dikuasai olehnya itulah, ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya. Beranjak remaja, ia sudah menguasai lebih dua atau lebih bahasa. Semua itu ia peroleh ketika berinteraksi dengan masyarakat atau ketika di bangku sekolah. Hal ini menyebabkan ia menjadi dwibahasawan atau multibahasawan. Ketika menjadi dwibahasawan atau multibahasawan, ia dihadapkan pada pertanyaan, yaitu manakah di antara bahasa yang ia kuasai merupakan bahasa yang paling penting? Di saat-saat seperti inilah terjadinya proses pergeseran bahasa, yaitu menempatkan sebuah bahasa menjadi lebih penting di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai.
            Contoh yang dapat dikemukakan berdasarkan ilustrasi di atas adalah sebagai berikut. Seorang anak bahasa pertamanya adalah bahasa A. Lalu, ketika sekolah dia menguasai bahasa B. Lambat laun ia menyadari bahwa bahasa B lebih penting atau membawa manfaat yang sangat besar baginya. Hal ini membuat dia lebih memilih bahasa B daripada bahasa A dalam berinteraksi. Dengan demikian, posisi bahasa A sebagai bahasa yang utama bagi si anak menjadi bergeser sebagai bahasa yang ‘termarginalkan’ atau dinomorduakan. Kasus seperti ini disebut dengan kasus pergeseran bahasa.


Faktor Pendorong Pergeseran Bahasa
Ada banyak faktor penyebab pergeseran dan kepunahan suatu bahasa. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat di dunia, factor-faktor tersebut seperti loyalitas bahasa, koonsentrasi wilayah pemukiman, pemakaian bahasa pada ranah tradisional sehari-hari, kesinambungan peralihan bahasa-ibu antargenerasi, pola-pola kedwibahasaan, mobulitas social, sikap bahasa, dan lain-lain. Menurut Romaine (1989) factor-faktor itu juga dapat berupa kekuatan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, kelas social, latarbelakang agama dan pendidikan, hubungan dengan tanah leluhur atau asal, tingkat kemiripan antara bahasa mayoritas dengan bahasa minoritas, sikap kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, perkawinan campur, kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa dan pendidikan kelompok minoritas, serta pola pemakaian bahasa.
Berdasarkan uraian diatas, factor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa dapat di klasifikasikan sebagai berikut. 
       a)      Faktor Ekonomi, Sosial dan Politik
Masyarakat memandang adanya alasan penting untuk mempelajari bahasa kedua dan mereka tidak memandang perlu untuk mempertahankan bahasa etnisnya. Semua itu untuk tujuan meningkatkan ekonimi, status social, atau kepentingan politik.
      b)     Faktor Demografi
Letak daerah baru yang jauh dari asal bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya pergeseran bahasa. Hal ini disebabkan kelompok-kelompok pendatang akan mengadakan asimilasi dengan penduduk setempat agar mudah diterima menjadi bagian masyarakat setempat. Pergeseran bahasa biasanya terjadi di Negara, daerah, atau wilayah yang bisa member harapan untuk kehidupan social ekonomi yang lebih baik sehingga mengundang penduduk lain untuk mendatanginya.

     c)      Sekolah
Sekolah sering juga dituding sebagai factor penyebab pergeseran bahasa ibu murid, karena sekolah biasanya mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak. Anak-anak ini kemudian menjadi dwibahasawan.  Padahal, kedwibahasawan seperti kita ketahui, mengandung resiko bergesernya salah satu bahasa.
    d)     Migrasi
Salah satu factor itu adalah migrasi atau perpindahan penduduk, yang bisa terwujud dua kemungkinan. Pertama, kelompo-kelompok kecil bermigrasi ke daerah atau Negara lain yang tentu saja menyebabkan bahasa mereka tidak berfungsi di daerah baru. Kedua, gelombang besar penutur bahasa bermigrasi membanjiri sebuah wilayah kecil dengan sedikit penduduk, menyebakan penduduk setempat terpecah dan bahasanya bergeser.

PEMERTAHANAN BAHASA
Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat menarik untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Danie (dalam Chaer 1995:193) bahwa menurunnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang jangkauan pemakaiannya bersifat nasional. Namun ada kalanya bahasa pertama (B1) yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua (B2) yang lebih dominan.
Konsep lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman (dalam Sumarsono 1993: 1). Pemertahanan bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain dalam masyarakat multibahasa. Salah satu isu yang cukup menarik dalam kajian pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas yang lebih dominan.
Ketidakberdayaan sebuah bahasa minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah kontak guyup minoritas dengan bahasa kedua (B2), sehingga mengenal dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya bahasa asli (B1) bergeser atau punah
Sebagai contoh, sekelompok masyarakat etnik Jawa yang pindah dan menetap di Bali, apabila mereka tetap menggunakan bahasa Jawa (B1) ditengah-tengah masyarakat mayoritas (masyarakat Bali), maka dapat dikatakan mereka telah melakukan upaya pemertahanan bahasa. Namun, apabila mereka mulai terpengaruh untuk menggunakan bahasa mayoritas (bahasa Bali), maka dapat dikatakan mereka telah mengalami perubahan bahasa. Apabila hal ini terus berlanjut dalam kurun waktu yang lama, maka menyebabkan terjadinya peralihan bahasa, dari bahasa Jawa menjadi bahasa Bali. Peralihan bahasa ini akan menyebabkan terjadinya kemtian bahasa, karena penduduk etnik Jawa sudah sama sekali tidak menggunakan bahasa Jawa, melaikan sudah total menggunakan bahasa Bali.
Menurut Chaedar Alwasilah pemertahanan bahasa secara umum juga sangat erat kaitannya dengan pemertahanan kebudayaan. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, antara lain.
1.      Nilai bahasa terletak pada makna yang disimbolkan oleh bahasa. Bahasa inggris, misalnya, dianggap symbol modernism dan teknologi, sementara itu bahasa Arab dianggap sebagai symbol agama Islam. Dua contoh ini menguatkan asumsi bahwa bahasa adalah kendaraan kebudayaan
2.      Dalam konteks Indonesia rujukan budaya nasional pada mulanya tiada lain adalah budaya-budaya etnis yang diklaim khususnya oleh para birokrat pemerintah atau kelompok elitis dalam masyarakat Indonesia sebagai budaya nasional. Kita tidak boleh melupakan bahwa Negara kesatuan Indonesia ini terbentuk atas kesepakatan kelompok-kelompok etnis untuk menghimpun diri dalam sebuah organisasi yang disebut Negara kesatuan
3.      Pada umumnya orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa daerah lebih banyak di dasari oleh minat mempelajari budaya daripada bahasanya. Demikian pula pada umumnya para turis yang datang ke Indonesia juga Negara lain terpanggil untuk melihat budaya Indonesia bukan untuk memperlajari bahasanya.
Kasus pemertahanan bahasa juga terjadi pada masyarakat Loloan yang berada di Bali. Kasus pemertahanan bahasa Melayu Loloan ini disampaikan oleh Sumarsono (Chaer, 2004:147). Menurut Sumarsono, penduduk desa Loloan yang berjumlah sekitar tiga ribu orang itu tidak menggunakan bahasa Bali, tetapi menggunakan sejenis bahasa Melayu yang disebut bahasa Melayu Loloan sejak abad ke-18 yang lalu ketika leluhur mereka yang berasal dari Bugis dan Pontianak tiba di tempat itu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka tetap mempertahankan bahasa Melayu Loloan.
Pertama, wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis aak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali.
Kedua, adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali untuk menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan meskipun dalam interaksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali.
Ketiga, anggota masyarakat Lolan mempunyai sikpa keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, bahasa Bali. Pandangan seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya masyarakat Lolan ini menyebabkan minimnya interaksi fisik antara masyakat Loloan yang minoritas dan masyarakat Bali yan mayoritas. Akibatnya pula menjadi tidak digunakannya bahasa Bali dalam berinteraksi intrakelompok dalam masyarakat Loloan.
Keempat, adanya loyalitas yang tinggi dari masyarakat Melayu Loloan sebagai konsekuaensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam; sedangkan bahasa Bali dianggap sebagai lambang identitas masyarakat Bali yang beragama Hindu. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Bali ditolah untuk kegiatan-kegiatan intrakelompok terutama dalam ranah agama.
Kelima, adanya kesinambungan pengalian bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke genarasi berikutnya.
Masyarakat Melayu Loloan ini, selain menggunakan bahasa Melayu Loloan dan bahas Bali, juga menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia diperlakukan secara berbeda oleh mereka. Dalam anggapan mereka bahaa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada bahasa Bali. Bahasa Indonesia tidak dianggap memiliki konotasi keagamaan tertentu. Ia  bahkan dianggap sebagai milik sendiri dalam kedudukan mereka sebagai rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mereka tidak keberatan menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan-kegiatan keagamaan
KESIMPULAN
Pergeseran bahasa terjadi karena perpindahan penduduk, ekonomi, sekolah. Akan tetapi, terdapat pula masyarakat yang tetap mempertahankan bahasa pertamanya dalam berinteraksi dengan sesama mereka meskipun mereka adalah masyarakat minoritas. Pemertahanan bahasa sendiri adalah suatu upaya agar bahasa tertentu dapat dipertahankan keberadaannya. Perubahan Bahasa adalah adanya perubahan kaidah (direvisi, menghilang atau muncul kaidah-kaidah baru dan semua itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik yaitu, Fonologi, Morfologi, Sintaksis, Semantik, dan Leksikon.
Pemertahanan bahasa pada umumnya bertujuan untuk mempertahankan budaya yang berfungsi sebagai identitas kelompok atau komunitas, untuk mempermudah mengenali anggota komunitas, dan untuk mengikat rasa persaudaraan sesama komunitas. Keadaan ini akan umumnya terjadi pada komunitas masyarakat yang memiliki bahasa lebih dari satu. Faktor yang mendorong bisa saja berasal dari dalam diri individu yang memiliki rasa cinta akan bahasa ibu sehingga menanamkannya kepada keluarga dan masyarakat dan dari rasa persatuan serta kecintaan pada indentitas kelompok atau komunitas yang dimiliki.
Daftar Pustaka
Suandi, I Nengah.2014. SOSIOLINGUITK. GRAHA ILMU: Yogyakarta

Tes Formatif Bahasa Indonesia Kelas VIII

Soal teks LHO kelas VIII Klik link bawah ini untuk mengerjakan soal. https://forms.gle/8ZCj6n3udrjJqv8A8