Rabu, 03 Desember 2014

Kajian Puisi

ANALISIS MAJAS DALAM PUISI RUMPUN ALANG-ALANG
KARYA W.S RENDRA

RUMPUN ALANG-ALANG

Engkau perempuan terkasih, yang sejenak ku lupakan, sayang
Karna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancap akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal
                   Gelap dan bergoyang ia
                   Dan ia pun berbunga dosa
                   Engkau tetap yang punya
                   Tapi alang-alang tumbuh di dada
                                                                                       Karya: WS Rendra




A. Pendahuluan
Dalam menganalisis puisi dapat dilakukan dengan mengunakan pendekatan unsur-unsurnya. Unsur puisi meliputi unsur fisik dan unsur batin. Struktur fisik, meliputi: diksi, pencitraan, kata konkret, majas, dan bunyi (rima dan ritme). Sedangkan struktur batin, meliputi: perasaan, tema, nada, dan amanat. John Keats puisi adalah suatu usaha untuk membaca indah atau subline tanpa gurdon dari membayangkan narasi proses pemikiran atau logis. Dia tidak menyiratkan puisi yang tidak masuk akal atau tidak memiliki narasi. Pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut bukan saja akan bermanfaat untuk menganalisis sebuah puisi, melaikan juga ketika akan menulis puisi. Dalam hal ini kajian yang akan saya bahas merujuk pada unsur fisik yang berupa majas.
Majas adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Dalam penggunaannya, majas diciptakan untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembicaranya. Puisi yang berjudul “rumpun alang-alang” karya W.S Rendra ini memiliki banyak kata kiasan juga didalamnya terdapat banyak kata yang mengandung majas, dengan memahami arti dibalik majas yang terdapat dalam sebuah puisi, tentu pesan atau arti dari puisi itu sendiri dapat tersampaikan kepada pembaca, karna hal tersebutlah saya lebih memilih majas sebagai bahan analisis saya.
Sebelumnya seorang kritikus sastra indonesia yang terkenal yaitu Subagio Sastrowardoyo juga pernah menganalisis puisi-puisi Rendra, termasuk diantaranya puisi rumpun alang-alang. Subagio berpendapat bahwa puisi Rendra lebih cenderung dalam penggunaan metafora-metafora yang dramatik sehingga membuat puisi Rendra lebih menarik. Hal ini semakin membuat saya penasaran dan tertarik untuk menganalisis puisi Rendra dari segi majas terutama majas metafora.
Puisi rumpun alang-alang ini memiliki makna yang mendalam dibalik majas-majasnya, Lalu benarkah dalam puisi rumpun alang-alang karya Rendra lebih banyak terdapat majas metafora jika dibandingkan dengan majas lain? Dan juga mengapa majas metafora ini dalam kata-katanya lebih memiliki arti yang mendalam pada puisi rumpun alang-alang, hal inilah yang membuat saya tertarik untuk mengadakan penelitian ini.
B. Landasan Teori
Pengertian Majas (figurative language)
Seperti yang telah dikemukakan dibagian pendahuluan, majas adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Dalam penggunaannya, majas diciptakan untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembicaranya.
Majas (figurative language) adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Majas merupakan bentuk retoris, yang penggunaannya antara lain untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembacanya. Secara garis besar, majas-majas tersebut terbagi dalam majas perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan (http://smanj.sch.id/index.php/arsip-tulisan-bebas/40-artikel/91-m-a-j-a-s.
Menurut Abrams (1981:63) bahasa figuratif (figuratif language) adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-hari (ordinary), penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata, suatu penyimpangan rangkaian kata supaya memperoleh beberapa arti khusus.
Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams (1981:63-65) terdiri atas simile (perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke, dan personifikasi. Sementara itu Pradopo (1994:62) membagi bahasa kias ke dalam tujuh jenis, yaitu perbandingan, metafora, perumpamaan, epos, personifikasi, metonimi, dan alegori. 
Menurut Prof. Dr.H.G. Tarigan bahwa majas adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Unsur kebahasaan antara lain: pilihan kata, frase, klausa, dan kalimat. Menurut Goris Keraf, sebuah majas dikatakan baik bila mengandung tiga dasar, yaitu: kejujuran, sopan santun, dan menarik.


Majas Metafora
Metafora merupakan salah satu jenis dari majas perbandingan. Majas Metafora adalah gaya bahasa pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll. contoh majas Metafora: Waspadalah terhadap lintah darat (http://kamusq.blogspot.com/2012/03/jenis-jenis-majas-perbandingan-contoh.html).
Aristoteles memandang metafora sebagai satu jenis hiasan tambahan pada penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Metafora dianggap sebagai alat retorik yang hanya digunakan pada saat-saat tertentu untuk mencapai efek tertentu pula. Wujudnya menyimpang dari bahasa yang dianggap masyarakat sebagai bahasa yang normal. Oleh karena itu, setiap pendengar menangkap ujaran metafora, ia akan menangkapnya sebagai bentuk ujaran yang aneh (anomalous) sehingga ia harus berusaha sedemikian rupa untuk dapat merekonstruksi makna apa sebenarnya yang terkandung dalam ujaran aneh itu.
Hendy (1991:69) mengemukakan bahwa metafora berasal dari kata meta dan phoreo yang berarti bertukar nama atau perumpamaan. Metafora adalah majas perbandingan langsung, yaitu membandingkan sesuatu secara langsung terhadap penggantinya. Untuk memperjelas pengertian yang diajukannya, Hendy memberikan contoh sebagai berikut.
(1) Sang ratu malam telah muncul di ufuk timur.
(2) Jantung hatinya hilang tanpa berita.
Ungkapan ratu malam pada kalimat pertama berarti bulan sedangkan ungkapan jantung hati pada kalimat kedua berarti kekasih. Jadi, bulan secara langsung dibandingkan dengan ratu malam atau ratu pada malam hari, sedangkan kekasih secara langsung dibandingkan dengan jantung dan hati.
Waluyo (1987:84), dalam bukunya yang berjudul Teori dan Apresiasi Puisi, menyatakan bahwa metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Metafora itu langsung berupa kiasan. Sebagai contoh klasik, yaitu litah darat, bunga bangsa, kambing hitam, bunga sedap malam, dan sebagainya.
Aminudin (1987:143) juga mengajukan pengertian metafora yang menekankan pada kandungan makna kiasnya. Aminudin mengemukakan bahwa metafora merupakan bentuk pengungkapan yang di dalamnya terdapat hubungan makna secara tersirat, mengungkapkan acuan makna yang lain selain makna sebenarnya. Suatu kata atau frasa tidak lagi mewakili acuan maknanya sendiri, tetapi mewakili acuan makna yang dimiliki kata atau frasa lainnya yang dianggap sepadan. Misalnya, ”Cemara pun gugur daun” mengungkapkan makna ”ketidakabadian kehidupan”.
Ahli lain, yakni Saeed (2005:345-346), juga membenarkan adanya pemindahan makna (concept transference) dalam metafora. Saeed menyatakan bahwa pada umumnya, metafora disamakan halnya dengan simile bahwa pada keduanya terdapat identifikasi kemiripan hal-hal yang dianalogikan. Padahal, metafora sebenarnya lebih dari itu karena dalam metafora terdapat pemindahan konsep dari komponen yang satu pada komponen yang lainnya.
Siswantoro (2005:27-28) menyampaikan bahwa metafora sama halnya seperti simile, motafora juga membandingkan antara objek yang memiliki titik-titik kesamaan, tetapi tanpa menggunakan kata-kata pembanding seperti, sebagai, bagai, dan lain-lain. Untuk memperjelas batasan yang diajukannya, Siswantoro memaparkan kembali pendapat Wren dan Martin bahwa,
“a metaphor is an implied simile. It does not like the simile, state one thing is like another or acts as another, but takes that for granted and proceeds as if the two things were one”.
Atas dasar pengertian seperti itu, kalimat He fought like a lion, merupakan contoh bentuk simile, tetapi kalimat He was a lion in the fight, meru-pakan contoh bentuk metafora.
Dalam penjelasan di atas, Siswantoro secara tegas mengatakan bahwa ketiadaan konjungsi komparatif sebagai piranti formal linguistik secara sintakitis merupakan keharusan dalam sebuah metafora.
Pradopo (2005:66) dan Djajasudarma (1999:21) menjelaskan bahwa metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti, bagai, laksana, dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Metafora menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama. Sebagai contoh, Pradopo memaparkan larik-larik puisi Subagio yang berjudul Dewa Telah Mati, sebabai berikut.
Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Dalam penggalan puisi di atas, hubungan bumi ini dengan perempuan jalang bersifat sepadan atau koodinatif. Bumi disamakan (dibandingkan) dengan perempuan jalang, namun, hubungan keduanya secara sintaksis tanpa kehadiran konjungsi komparatif seperti, bagai, laksana, atau yang lainnya. Bumi yang dimaksudkan penyair adalah bumi yang memiliki sifat-sifat seperti perempuan yang jalang, yakni perempuan yang suka menarik laki-laki dan orang baik-baik ke tempat-tempat atau kehidupan mesum yang kotor.
Griffith (1982:59-60) menyampaikan bahwa metafora memiliki dua pengertian, yakni pengertian secara umum (general meaning) dan pengertian secara khusus (specific meaning). Secara umum, metafora merupakan bentuk analogi, yakni perbandingan untuk mencari persamaan-persamaan antara dua hal yang dibandingkan. Sementara secara khusus, metafora merupakan jenis bentuk perbandingan tersendiri yang khas, yang berbeda dengan simile. Jika simile membandingkan dua hal yang berbeda ditandai dengan penggunaan kata like ‘seperti’ atau as ‘bagai atau bagaikan’, maka metafora justru menghilangkan penggunaan kata-kata pembanding seperti itu.
Dijelaskan bahwa analogi dalam metafora terjadi secara langsung atau bersifat implisit. Artinya, suatu hal dibandingkan secara langsung dengan hal lain sehingga makna yang dikehendaki muncul secara tersirat dibalik perbandingan itu. Untuk memperjelas batasan yang diajukan, Griffith memaparkan contoh larik-larik puisi Shakespare yang berjudul Fair Is My Love sebagai berikut.
Fair is my love, but not so fair as fickle
Mild as a dove
, but neither true trusty
Brighter than glass, and yet, as glass is, brittle
Softer than wax, and yet, as iron, rusty
Pada keempat larik penggalan puisi di atas, kata-kata yang bercetak tebal merupakan bentuk simile. Perbandingan-perbandingan tak langsung dalam larik-larik itu dijalin oleh Shakespare dengan menggunakan kata as sebagai konjungsi komparatif.

C. Pembahasan
Analisi Puisi Rumpun Alang-Alang
Dalam pengertian KBBI, alang-alang berarti rumput yang mengerombol yang tingginya sekitar 20 cm. Sedangkan rumpun berarti kelompok tumbuhan yang tumbuh anak-beranak seakan-akan mempunyai akar yg sama. Namun dalam puisi Rendra yang berjudul “Rumpun Alang-alang” kata alang-alang disini dapat dimaknai sebagai “sebuah kejenuhan atau godaan-godaan”. Secara umum puisi rumpun alang-alang ini bercerita tentang kebimbangan lelaki atas jalan hidupnya yang masih panjang, yang dibayangi warna-warni lampu dunia berupa naluri pengembaraan lelaki ataupun kehadiran wanita lain yang menyilaukan mata dan, seringkali, membelokkan jalan.
Majas (figurative language) adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Jika dilihat dari segi majas, puisi rumpun alang-alang lebih banyak terdapat majas metafora, berikut bait puisi yang mengandung majas metafora.
Engkau perempuan terkasih, yang sejenak ku lupakan, sayang
Karna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancap akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal
                                Gelap dan bergoyang ia
                                Dan ia pun berbunga dosa
                                Engkau tetap yang punya
                                Tapi alang-alang tumbuh di dada
Kata yang bercetak tebal diatas merupakan majas metafora, disamping itu terdapat juga majas lain, yaitu personifikasi. Dalam hal ini Rendra ingin mengabungkan metafora dengan personifikasi, dimana kedua majas yang berbeda tersebut ternyata bisa dikombinasikan dengan baik oleh Rendra.
Jelas disini bahwa dalam puisi Rendra yang berjudul rumpun alang-alang lebih banyak terdapat majas metafora dari pada majas lain.
Kata-kata yang mengandung majas metafora umumnya lebih mempunyai arti yang mendalam seperti, “engkau perempuan terkasih”, “serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal”, “dan ia pun berbunga dosa”, disini terlihat jelas dimana Rendra mencoba mengungkapkan apa yang dia rasakan. Dalam pandangan romantik, metafora merupakan wujud integral dari bahasa dan pikiran sebagai sebuah cara pencarian pengalaman. Sebuah bentuk metafora dipandang tidak hanya sebagai refleksi dari bagaimana penuturnya menggunakan bahasa, tetapi juga sebagai refleksi dari bagaimana pikiran-pikiran penuturnya.
Lebih dari itu, sebagaimana yang disampaikan Freeborn (1996:63) bahwa George Lokaff dan Mark Johnson, mengakui metafora bukanlah sekedar alat imajinasi puitik dan hiasan retorik semata, tetapi meresap dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekedar ada dalam bahasa, namun menyatu dalam pikiran dan tindakan. Melalui metafora yang digunakan, seseorang dapat diketahui pikiran dan perbuatannya. Metafora mencerminkan siapa dan bagaimana pemakainya.
Ungkapan engkau perempuan terkasih mengambarkan bahwa Rendra begitu menyayangi perempuan tersebut dan segala kasih sayangnya hanya tercurahkan untuk dia (perempuan) seorang. Rendra lebih memilih mengunakan kata perempuan dibandingkan wanita, karena kata perempuan disini lebih memiliki nilai yang tinggi dari pada kata wanita.
Ungkapan serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal mengambarkan ada sesuatu hal yang menganggu fikiran Rendra dalam hal ini bisa digambarkan seperti sebuah godaan akan hadirnya wanita lain yang secara perlahan mengoyahkan hatinya.
Kemudian ungkapan dan ia pun berbunga dosa, kata berbunga dosa disini digambarkan sebagai sesuatu yang buruk yang telah terjadi. Kata bunga pada umumnya adalah sesuatu yang indah namun oleh Rendra kata bunga disandingkan dengan kata dosa yang berkonotasi dengan kata bunga, hal ini menimbulkan makna yang lebih mendalam. Jadi, kata-kata mengunakan majas metafora terbukti lebih mempunyai arti yang lebih mendalam dari pada kata yang lain.

D. Penutup
Kesimpulan
Seorang sastrawan menggunakan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi secara khas dalam puisi. Mereka menyatakan sesuatu dengan caranya sendiri, dengan gayanya sendiri. Dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa secara khas ini, Teeuw (1984:70-72) mengemukakan bahwa sastrawan seringkali memakai bahasa yang aneh atau istimewa, yang gelap atau yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, yakni bahasa yang oleh masyarakat pemakainya dianggap sebagai bahasa yang normal. Tidak jarang ditemukan beberapa sastrawan mengungkap masalah yang sama, tapi dengan cara berungkap yang berbeda, baik berasal dari angkatan yang sama maupun dari angkatan yang berbeda. Mereka menyampaikan pikiran dan perasaan yang sama dengan gaya yang berbeda.
Sebagaimana yang disampaikan Sumardjo dan Saini (1986:27), jika diteliti lebih jauh, ternyata daya ungkap gaya bahasa, yang digunakan dalam puisi (juga prosa), seperti simile, metafora dan personifikasi itu datang dari daya ungkap citra (imaji) dan lambang yang dipakai dalam gaya bahasa-gaya bahasa itu. Citra dan lambang mampu memberi gerak dan memberi daya hidup. Citra dan lambang mampu mewakili dan menyampaikan gagasan, perasaan, maupun pengalaman pengarang pada pembaca.
Dalam puisi rumpun alang-alang karya Rendra dimana metafora-metafora yang dipakai begitu merasuk di setiap mana kalimatnya. Puisi ini memberikan gambaran tentang sifat lelaki yang kadang kala masih bisa tergoda akan gemerlapnya dunia yang kadang kala membelokan pendirian.

Daftar Pustaka
Pradopo, Rachmad Djoko. 1999. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gajah Mada.
Rokhman, Muh. Arif.2003. Sastra Interdisipliner. Yogyakarta : Qalam.
Majas/Figuratif Language/Gaya Bahasa.http/unsedukasisbi.bloksport.com/2010/02/majas  figurative-language-gaya bahasa.html.






Pemerolehan Bahasa B1 dan B2

PEMEROLEHAN BAHASA B1 DAN B2

Pendahuluan
Bahasa adalah keterampilan khusus yang kompleks, berkembang dalam diri anak secara spontan, tanpa usaha sadar atau instruksi formal, dipakai tanpa memahami logika yang mendasarinya, secara kualitatif sama dalam diri setap orang, dan berbeda dari kecakapan-kecakapan lain yang sifatnya lebih umum dalam hal memproses informasi atau berperilaku secara cerdas. Konsolidasi dari sejumlah kemungkinan defenisi bahasa itu menghasilkan defenisi gabungan berikut ini: bahasa itu sistematis, bahasa adalah seperangkat simbol manasuka, simbol-simbol itu utamanya adalah vokal, tetapi bisa juga visual, simbol mengonvensionalkan makna yang dirujuk, bahasa dipakai untuk berkomunikasi, bahasa berkomunikasi dalam sebuah komunitas atau budaya wicara, bahasa pada dasarnya untuk manusia, walaupun bisa jadi tak hanya terbatas untuk manusia, bahasa dikuasai oleh semua orang dalam hal yang sama, bahasa dan pembelajaran bahasa sama-sama mempunyai karakteristik universal.
Penguasaan sebuah bahasa oleh seorang anak dimulai dengan perolehan bahasa pertama yang sering kali disebut bahasa ibu (B1). Pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses yang sangat panjang sejak anak belum mengenal sebuah bahasa sampai fasih berbahasa. Setelah bahasa ibu diperoleh maka pada usia tertentu anak lain atau bahasa kedua (B2) yang ia kenalnya sebagai khazanah pengetahuan yang baru.
Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungan. Hal ini menunjukkan bahasa pertama merupakan suatu proses awal yang diperoleh anak dalam mengenal bunyi dan lambang yang disebut bahasa.


Pembahasan
Pengertian pemerolehan bahasa
Ada beberapa hipotesis tentang asal mula bahasa dihubungkan dengan pemerolehan bahasa pada anak. E. Cassier berpendapat bahwa pada dasarnya bahasa merupakan pengungkapan gagasan serta ekspresi perasaan atau emosinya. Ia berpendapat bahwa jeritan-jeritan yang keluar dari seorang anak (bayi) merupakan ungkapan emosionalnya. Sementara itu, bahasa anak yang merupakan ungkapan pikiran atau gagasan mengikuti perkembangan fisik dan pikiran sebagai wujud sosialisasinya dengan lingkungan. Istilah pemerolehan merupakan padanan kata acquisition. Istilah ini dipakai dalam proses penguasaan bahasa pertama sebagai salah satu perkembangan yang terjadi pada seorang manusia sejak lahir. Secara alamiah anak akan mengenal bahasa sebagai cara berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Bahasa pertama yang dikenal dan selanjutnya dikuasai oleh seorang anak disebut bahasa ibu (mother talk).
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak anak-anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang anak-anak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya.
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu proses yang diperlukan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang semakin bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai ia memilih berdasarakan suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang baik serta paling sederhana dari bahasa. Lebih jelasnya pemerolehan bahasa diartikan sebagai suatu proses yang pertama kali dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan bahasa sesuai dengan potensi kognitif yang dimiliki dengan didasarkan atas ujaran yang diterima secara alamiah.
Sebelum membahas lebih mendalam mengenai pemerolehan bahasa pertama, ada dua masalah penting yang layak dipahami terlebih dahulu. Apakah sesungguhnya benda yang diperoleh jika kita berbicara tentang pemerolehan bahasa? Kemudian alat apa yang digunakan anak-anak dalam proses pemerolehan itu?
Berdasarkan pengamatan dan kajian para ahli bahasa dapat disimpulkan bahwa manusia telah dilengkapi sesuatu yang khusus dan secara alamiah untuk dapat berbahasa dengan cepat dan mudah. Miller dan Chomsky (1957) menyebutnya LAD (language acquisition device) yang intinya bahwa setiap anak telah memiliki LAD yang dibawa sejak lahir.
LAD ini merupakan suatu perangkat intelek nurani yang khusus untuk menguasai bahasa ibu dengan mudah dan cepat.Sedangkan benda yang diperoleh adalah kemampuan dan penampilan berbahasa. Kemampuan adalah tata bahasa atau pengetahuan bahasa anak yang terdiri dari tiga komponen, yakni: fonologi, semantik dan sintaksis.
Teori Pemerolehan Bahasa Pertama
Setiap orang perah meyaksikan kemampuan menonjol pada aank-anak dalam berkomunikasi, mereka berceloteh, mendekut, menagis, dan dengan atau tanpa suara megirim begitu bayak pesan dan menerima lebih banyak lagi pesan. Ketika beumur satu tahun, mereka berusaha meniruka kata-kata dan megucapkan suara-suara yang mereka dengar disekitar mereka, dan kira-kira pada saat itulah mereka megucapakan kata-katapertama mereka. Kurang lebih umur 18 tahun, kata-kata itu berlipat ganda dan mulai muncul dalam kalimat dua atau tiga umumya disebut ujaran-ujaran “telegrafis (bergaya telegram)”.
Pada usia 3 tahun, anak-anak biasa mencerna kuantitas masukan linguistik yang luar biasa kemampuan wicara dan pemahaman mereka meningkat pesat mereka menjadi produsen ocehan nonstop dan percakapan tiada henti, bahasapun menjadi berkah sekaligus petaka bagi orang-orang disekitar mereka. kreatifitas mereka juga sudah mendatangka senyum orang tua dan saudara-saudara kandung mereka. Kelancaran dan kreatifitas ini berlanjut hingga usia sekolah ketika anak-anak menyerap struktur yang semakin kompleks, memperluas kosakata mereka, dan mengasah keterampilan komunikatif mereka. pada usia sekolah, ketika mereka mempelajari fungsi-fungsi sosial bahasa mereka, anak-anak tidak hanya belajar apa yang harus mereka katakan tapi juga apa yang jangan mereka katakan. Bagaimana kita bisa menjelaskan perjalanan fantastis dari tangis pertama saat kelahiran menuju kecakapan bebahasa saat dewasa. Dari kata pertama sampai puluhan ribu kata. Dari kalimat terpenggal-peggal seperti telegram pada usia 18 bulan hingga kalimat majemuk-komplek, yag seksama secara kognitif dan tepat secara sosio-kultural, hanya dalam beberapa tahun kemudian. Pada hakikatnya, orang bisa memakai satu dari dua pandangan yang berseberangan dalam studi tentang perolehan bahasa pertama.
Seorang behaviorisme ekstrem bisa menyatakan pandangannya bahwa anak-anak lahir dengan tabula-rasa, sebidang papan tulis tanpa pemahaman tertentu tentang dunia dan bahasa; anak-anak itu kemudian dibentuk oleh lingkungan mereka dan perlahan-lahan dikondisikan melalui berbagai dorongan terprogram. Sebaliknya, seorang konstruksif ekstrem akan berpandangan tidak saja bahwa anak-anak, sebagaimana yang disampaikan oleh kaum kognitivisme, datang ke dunia dengan pengetahuan bawaan yang sangat spesifik, berfungsi dalam sebuah bahasa terutama melalui interaksi dan wacana. Berikut salah satu teori dalam pemerolehan bahasa :

Teori Behaviorisme oleh B.F. Skinner
Bahasa adalah bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia, dan para psikolog behavioristik menelitinya dalam rangka kerangka itu dan berusaha merumuskan teori-teori konsisten tentang perolehan bahasa pertama. Pendekatan behavioristik berfokus pada aspek-aspek yang bsia ditangkap langsung dari perliku linguistik-respons yang bisa diamati secara nyata dan berbagai hubungan atau kaitan antara respons-respons itu dan peristiwa-peristiwa di dunia sekeliling mereka. Seorang behavioris mungkin memandang perilaku bahasa yang efektif sebagai wujud tanggapan yang tepat terhadap stimuli. Jika sebuah respons tertentu dirangsang berulang-ulang ia lantas menjadi sebuah kebiasaan atau terkondisikan. Sang belajar memahami suatu ujaran dengan memberikan respons tepat terhadapnya dan dengan dirangsang untuk mengeluarkan respons tersebut.
Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya. Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila sutu ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak mendapat kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.
Perkembangan kata dan kalimat
Kata-kata pertama adalah kata-kata lisan pertama yang diucapkan oleh seorang anak setelah mampu bicara atau berkomunikasi dengan orang lain. Kata-kata pertama merupakan cara seorang anak untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, dan biasanya dianggap sebagai proses perkembangan bahasa yang dipengaruhi oleh kematangan kognitif. Kematangan kognitif tersebut biasanya ditandai dengan kemampuan anak untuk merangkai susuan kata dalam berbicara baik dengan orang tua atau orang lain. Kemampuan ini akan terus berkembang jika anak sering berkomunikasi ataupun berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, menurut Schaerlaekens yang dikutip dari Dariyo, Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama terdapat tiga tahap perkembangan kalimat pada anak usia lima tahun pertama yaitu:
a. Periode prelingual (usia 0-1 th): ditandai dengan kemampuan bayi untuk mengoceh sebagai cara berkomunikasi dengan orangtuanya. Pada saat itu bayi tampak pasif menerima stimuls eksternal yang diberikan oleh orangtuanya, tetapi bayi mampu memberikan respons yang berbeda-beda terhadap stimulus tersebut, misalkan: bayi akan tersenyum terhadap orang yang dianggapnya ramah dan akan menangis dan menjerit kepada orang yang dianggap tidak ramah atau ditakutinya.
b. Periode Lingual dini (usia 1-2½ tahun): ditandai dengan kemampuan anak dalam membuat kalimat satu kata maupun dua kata dalam suatu percakapan dengan orang lain. Periode ini terbagi atas 3 tahap yaitu :
1. Periode kalimat satu kata (holophrase) yaitu kemampuan anak untuk membuat kalimat yang hanya terdiri dari satu kata yang mengandung pengertian secara menyeluruh dalam suatu pembicaraan. Misal: anak mengatakan ”ibu”. Hal ini dapat berarti: ”ibu tolong saya”, ”itu ibu”, ”ibu ke sini”.
2. Periode kalimat dua kata yaitu periode perkembangan bahasa yang ditandai dengan kemampuan anak membuat kalimat dua kata sebagai ungkapan komunikasi dengan orang lain. Bahasa kalimatnya belum sempurna karena tidak sesuai dengan susunan kalimat Subyek (S), Predikat (P) dan Obyek (O) misal: kakak jatuh, lihat gambar.
3. Periode kalimat lebih dari dua kata yaitu periode perkembangan bahasa yang ditandai dengan kemampuan anak untuk membuat kalimat secara sempurnasesuai dengan susunan S-P-O. Kemampuan ini membuat anak mampu berkomunikasi aktif dengan orang lain. Pada tahap ini terjadi perubahan cara pandang. Anak sudah memahami pemikiran dan perasaan orang lain dan mengakibatkan berkurangnya sifat egois anak. Misal: ”Saya makan nasi”.
c. Periode diferensiasi usia 2½ -5 tahun), ditandai dengan kemampuan anak untuk mengusai bahasa sesuai dengan aturan tata bahasa yang baik dan sempura yaitu kalimatnya terdiri dari Subjek-Predikat dan Obyek. Perbendaharaan kayanya pun sudah berkembang baik dari segi kualitas dan kuantitas.
Mekanisme perolehan bahasa
1. Imitasi, dalam perolehan bahasa terjadi ketika anak menirukan pola bahasa maupun kosa kata dari orang-orang yang signifikan bagi mereka, biasanya orang tua atau pengasuh. Berbagai penelitian menemukan berbagai jenis peniruan atau imitasi, seperti:
a) imitasi spontan
b) imitasi perolehan
c) imitasi segera
d) imitasi lambat
e) imitasi perluasan
2. Pengondisian, Mekanisme ini diajukan oleh B.F Skinner. Mekanisme pengkondisian atau pembiasaan terhadap ucapan yang didengar anak dan diasosiasikan dengan objek atau peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu kosakata awal yang dimiliki oleh anak adalah kata benda.
3. Kognisi sosial, Anak memperoleh pemahaman terhadap kata (semantik) karena secara kognisi ia memahami tujuan seseorang memproduksi suatu fonem melalui mekanisme atensi bersama. Adapun produksi bahasa diperolehnya melalui mekanisme imitasi.
Proses Pemerolehan Bahasa Pertama
1. Kompetensi adalah hasil proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Tidak disadari untuk belajar kaidah bahasa (alamiah). Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa.
2. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri.
Peran orang-orang terdekat dalam perolehan bahasa pertama
Tidak jarang kita mendengar percakapan antara anak dan orangtua seperti di atas. Semua makhluk hidup memiliki bahasa dengan bahasa mereka berkomunikasi. Menurut Jo Ann Brewer dalam Introduction to early childhood education, sixth edition, dikatakan bahwa language is defined as a system of communication used by human. It is either produced orally or by sign, and it can be extended to its writen form. Jadi bahasa adalah sebuah sistem komunikasi yang dipakai oleh manusia baik berupa bahasa lisan, bahasa isyarat maupun tulisan.
Melalui komunikasi, hubungan dibentuk dan dipertahankan. Orang tua harus belajar cara menafsirkan dan memberi tanggapan terhadap komunikasi yang dilakukan dalam upaya membentuk ikatan batin yang akan menjadi dasar perkembangan anak selanjutnya. Perkembangan bahasa pada anak dapat dimulai dari masih dalam kandungan. Anak adalah pembelajar yang konstruktif. Anak mempelajari bahasa dan konsep-konsep penting tanpa melalui pengajaran yang terencana secara khusus. Mereka hanya belajar ditengah-tengah orang yang menggunakan bahasa dan dengan memiliki akses yang tersedia terhadap lingkungan yang aman, menarik dan mengundang eksplorasi indera pendengaran dan indera penglihatan yang dapat membantu anak mengorganisasikan informasi dari lingkungannya.
Setiap anak memiliki perkembangan bahasa lisan yang berbeda-beda karena muatan informasi yang dapat dikumpulkan anak tidak hanya tergantung pada banyaknya dan jenis penglihatan dan pendengaran yang mereka miliki. Namun juga pada cara mereka belajar menggunakan penglihatan dan pendengaran itu. Masing-masing anak belajar memanfaatkan informasi sensorik yang tersedia dengan caranya sendiri. Beberapa anak berinteraksi dengan dunianya terutama dengan sentuhannya; sementara yang lain mungkin lebih bergantung pada penglihatan dan pendengarannya. Bagi kebanyakan anak, kombinasi dari kesemuanya itu akan paling bermanfaat. Bagi anak lainnya, menggunakan pendengaran, penglihatan, dan sentuhan pada saat yang bersamaan terasa membingungkan dan, dalam situasi yang berbeda, mereka mungkin memilih untuk menggantungkan terutama pada satu indera.
Orang tua dan lingkungan mempunyai andil besar terhadap pemerolehan bahasa yang akan dipelajarinya di lembaga formal. Dijelaskan dalam aliran behavioristik Tolla dalam Indrawati dan Oktarina bahwa proses penguasaan bahasa pertama dikendalikan dari luar, yaitu oleh rangsangan yang disodorkan melalui lingkungan. Sementara Tarigan dalam Indrawati dan Oktarina mengemukakan bahwa anak mengemban kata dan konsep serta makhluk sosial. Tarigan memadukan bahwa konsep pemerolehan belajar anak berasal dari konsep kognetif serta perkembangan sosial anak itu sendiri. Adapun perkembangan sosial itu sendiri idak terlepas dari faktor orang-orang yang kehadirannya ada di lingkungan diri anak. Orang-orang yang dimaksud adalah teman, saudara dan yang paling dekat adalah kedua orang tua yaitu ayah serta ibunya. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh kedua orang tua sebagai orang yang pertama kali dekat dengan diri anak ketika menerima bahasa pertama sangat berdampak terhadap anak dalam tahapan pemerolehan bahasa kedua.
Pemerolehan bahasa pertama anak adalah bahasa daerah karena bahasa itulah yang diperolehnya pertama kali. Perolehan bahasa pertama terjadi apabila seorang anak yang semula tanpa bahasa kini ia memperoleh bahasa. Bahasa daerah merupakan bahasa pertama yang dikenal anak sebagai bahasa pengantar dalam keluarga atau sering disebut sebagai bahasa ibu (B1). Bahasa ibu yang digunakan setiap saat sering kali terbawa ke situasi formal atau resmi yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bagi anak, orang tua merupakan tokoh identifikasi. Oleh sebab itut, idaklah mengherankan jika mereka meniru hal-hal yang dilakukan orang tua.10 Anak serta merta akan meniru apa pun yang ia tangkap di keluarga dan lingkungannya sebagai bahan pengetahuannya yang baru terlepas apa yang didapatkannya itu baik atau tidak baik.
Citraan orang tua menjadi dasar pemahaman baru yang diperolehnya sebagai khazanah pengetahuannya artinya apa saja yang dilakukan orang tuanya dianggap baik menurutnya. Apapun bahasa yang diperoleh anak dari orang tua dan lingkungannya tersimpan di benaknya sebagai konsep perolehan bahasa anak itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan orang tua dalam berbahasa di dalam keluarga (bahasa ibu) sangat dicermati anak untuk ditirukan. Anak bersifat meniru dari semua konsep yang ada di lingkungannya.
Kesimpulan
Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungan. Hal ini menunjukkan bahasa pertama merupakan suatu proses awal yang diperoleh anak dalam mengenal bunyi dan lambang yang disebut bahasa
Orang tua dan lingkungan sosial mempunyai andil besar terhadap pemerolehan bahasa yang akan dipelajarinya di lembaga formal. Pemerolehan bahasa pertama anak adalah bahasa daerah karena bahasa itulah yang diperolehnya pertama kali. Perolehan bahasa pertama terjadi apabila seorang anak yang semula tanpa bahasa kini ia memperoleh bahasa. Bahasa daerah merupakan bahasa pertama yang dikenal anak sebagai bahasa pengantar dalam keluarga atau sering disebut sebagai bahasa ibu (B1). Bahasa ibu yang digunakan setiap saat sering kali terbawa ke situasi formal atau resmi yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.


Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. ECHA, Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta.Grasindo.
Indrawati, Sri dan Santi Oktarina. 2005. “Pemerolehan Bahasa Anak TK: Sebuah Kajian Fungsi Bahasa.” Lingua, 7 (1).
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung. Angkasa.

SUMBER : http//:/Download/Pemerolehan%20Bahasa%20_%20Berbubastra.htm

Bimbingan dan Konseling

PERSEPSI SEORANG SISWA SMAN 1 KESAMBEN TERHADAP PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING

Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui persepsi siswa kelas X-1 SMAN 1 Kesamben terhadap peranan guru bimbingan dan konseling. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Subjek penelitian adalah siswa kelas X-1 yang diambil 50% dari 19 siswa. Pengumpulan data dilakukan dengan membagikan angket dan dianalisis berdasarkan analisis deskriptif untuk menentukan apakah persepsi siswa terhadap peranan guru bimbingan dan konseling sangat baik, baik, atau  sangat tidak baik.
Guru Bimbingan pada dasarnya bertugas untuk mendidik dan memberi pengarahan khususnya terhadap siswa di lapangan. Oleh karena itu seorang guru bimbingan dan konseling harus memberikan contoh sikap yang baik terhadap siswa karena secara tidak langsung guru bimbingan dan konseling  akan mempengaruhi aspek dalam kehidupan siswa, misalnya aspek sosial, ekonomi, maupun psikologis. Jika seorang guru bimbingan dan konseling  dapat mencerminkan sosok yang patut dicontoh,  maka guru tersebut akan dihargai selayaknya seorang guru yang profesional dan berpendidikan dalam bidangnya. Hastuti (2004:31) menerangkan bahwa salah satu hambatan guru bimbingan dan konseling  dalam melaksanakan peranannya di sekolah adalah persepsi siswa yang salah yaitu siswa tidak memahami hakikat pelayanan bimbingan, siswa memandang konselor sebagai satpam sekolah, dan siswa  enggan menghadapi konselor karena mengira akan dimarahi. Hal ini jelas sangat merugikan karena pada dasarnya guru pembimbing bertugas untuk memberikan motivasi terhadap siswa, memberi pengarahan dan bersikap hangat, terbuka dan tidak suka menghakimi siswa.
Kata kunci: Persepsi, peran guru dalam pembelajaran, bimbingan dan konseling










A.    PENGERTIAN PERSEPSI

Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan inderanya agar memberi makna kepada lingkungannya. Persepsi tersebut seringkali berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya. Hal ini karena perilaku manusia seringkali didasarkan pada persepsi terhadap kenyataan, bukan mengenai kenyataan itu sendiri.Untuk itu, dapat dipahami bahwa pada objek yang sama persepsi dan perilaku seorang siswa akan berbeda-beda.
Yang  menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan stimuli itu. Artinya bahwa seseorang mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Persepsi terjadi  karena adanya rangsangan (stimulus) yang diterima oleh panca indera individu. Dari persepsi akan dinalar dan kemudian akan muncul suatu tanggapan (respon) dari individu tersebut terhadap objek yang diamati.
Persepsi positif  timbul karena  adanya stimulus positif yang diterima oleh panca indera individu. Misalnya, seseorang yang murah senyum dan ramah, akan dipersepsi sebagai orang yang baik. Sedangkan persepsi negatif  terjadi karena adanya stimulus yang negatif (kurang baik) yang diterima atau ditangkap oleh panca indera individu.  Misalnya, seseorang yang cemberut dan berbicara dengan nada suara yang agak tinggi, maka orang itu akan dipersepsikan sebagai orang yang galak.
Walgito (2001) mengemukakan bahwa persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan diartikan sebagai suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indera. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses persepsi tidakdapat lepas dari proses penginderaan dan proses penginderaan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. 
Menurut Desideranto dalam Psikologi Komunikasi Jalaluddin Rahmat (2003) persepsi adalah penafsiran suatu objek, peristiwa atau informasi yang dilandasi oleh pengalaman hidup seseorang yang melakukan penafsiran itu. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa persepsi adalah hasil pikiran seseorang dari situasi tertentu.

B.     PERANAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING.

Pada dasarnya layanan bimbingan dan konseling dalam lingkungan sekolah, ditujukan pada semua siswa, baik yang sifatnya preventif, kuratif maupun pengembangan. Prinsip ini diajukan atas asumsi bahwa setiap individu pada dasarnya mempunyai masalah haya saja perbedaannya terletak pada besar atau kecil, berat atau ringan masalah tersebut. Namun demikian prioritas bantuan diberikan pada siswa yang menunjukan gejala perilaku salah dalam belajar, hubungan sosial maupun dalam penyesuaian diri secara umum dengan tuntutan sekolah.  Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling. Konselor adalah seseorang  ahli dalam  bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal. bimbingan konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya dan potensi yang dimilikinya, dengan demikian konselor dapat membimbing dan mengarahkan siswa sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya, dengan arahan-arahan yang diberikan oleh konselor diharapkan siswa mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Menurut Hastuti (2004:32) Peranan Guru Bimbingan dan Konseling  di sekolah sebagai berikut:
1.      Memberikan pelayanan kepada semua siswa secara merata, dan tidak hanya memberikan perhatian kepada siswa yang merupakan suatu kasus atau kepada siswa yang memberikan tanggapan positif kepadanya.

2.      Sebagai administrasi, melakukan bimbingan kelompok dan bimbingan klasikal, melakukan konseling kelompok dan konseling individual.
3.       Menciptakan variasi saluran untuk bekerja sama dengan staf pengajar.
4.      Mengembangkan dedikasi aktif terhadap profesinya sendiri.

C.    RANCANGAN PENELITIAN
1.      Metode  Penelitian
          Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah angket yang diberikan kepada siswa kelas X-1 SMAN 1 Kesamben dengan jumlah siswa 19 orang.
2.      Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah 19  orang siswa kelas X-1 SMAN 1 Kesamben

3.      Pengumpulan Data
Untuk mengungkapkan persepsi siswa terhadap peranan guru BK, dilakukanlah analisis deskriptif  terhadap 19 siswa dengan mengajukan  5 pertanyaan untuk mengetahui persepsi siswa terhadap peran guru BK di SMAN 1 Kesamben.

4.      Hasil Pengumpulan Data
Hasil penyebaran angket yang telah dilaksanakan di SMAN 1 Kesamben maka dihasilkan suatu data sebagai berikut:

1.1  tabel Persepsi Siswa Terhadap Peranan Guru BK Sebagai konselor.
Jawaban
Hasil
Persentase
Sangat setuju
8
42%
Setuju
6
32%
Tidak setuju
5
26%

Tot al

19

100%

Dari data di atas, diketahui ada  5 siswa  yang tidak setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya sebagai konselor, terdapat 6 siswa yang setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya sebagai konselor dan terdapat  8 siswa yang sangat setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya sebagai konselor.

1.2  tabel Persepsi Siswa Terhadap Peranan Guru BK Sebagai tempat  bantuan  memecahkan suatu masalah siswa.
Jawaban
Hasil
Persentase
Sangat setuju
7
37%
Setuju
4
21%
Tidak setuju
8
42%

Total

19

100%

Dari data di atas, diketahui ada 8 siswa  yang tidak setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya sebagai tempat bantuan memecahkan masalah siswa , terdapat 4 siswa yang setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya sebagai tempat bantuan memecahkan masalah siswa dan terdapat 7 siswa yang sangat setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya sebagai tempat bantuan memecahkan masalah siswa
1.3 tabel Persepsi Siswa Terhadap Peranan Guru BK Sebagai tempat  bantuan  mengembangkan potensi siswa.
Jawaban
Hasil
Persentase
Sangat setuju
5
26%
Setuju
4
21%
Tidak setuju
10
53%

Total

19

100%
Dari data di atas, diketahui ada  10 siswa  yang tidak setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya sebagai  tempat bantuan  mengembangkan potensi siswa.
, terdapat 4 siswa  yang setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya sebagai tempat bantuan  mengembangka n potensi siswa.
 dan terdapat 5 siswa  yang sangat setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya sebagai tempat bantuan  mengembangkan potensi siswa.

1.4 tabel Persepsi Siswa Terhadap Peranan Guru BK  sudah dapat dikatakan sesuai dengan pekerjaannya sebagai Guru BK bukanlah sebagai polisi sekolah.
JAWABAN
Hasil
Persentase
Sangat setuju
4
215
Setuju
6
32%
Tidak setuju
9
47%
Total
19
100%

Dari data di atas, diketahui ada  9 siswa  yang tidak setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya Guru BK  sudah dapat dikatakan sesuai dengan pekerjaannya sebagai Guru BK bukanlah sebagai polisi sekolah , terdapat 6 siswa
yang setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya Guru BK  sudah dapat dikatakan sesuai dengan pekerjaannya sebagai Guru BK bukanlah sebagai polisi sekolah dan terdapat 9 siswa  yang sangat setuju bahwa guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya Guru BK  sudah dapat dikatakan sesuai dengan pekerjaannya sebagai Guru BK bukanlah sebagai polisi sekolah.

1.5 tabel Persepsi Siswa Terhadap Peranan Guru BK  sebagai polisi sekolah (suka memberi  hukuman).
JAWABAN
Hasil
Persentase
Sangat setuju
8
42%
Setuju
5
26%
Tidak setuju
6
32%
Total
19
100%

Dari data di atas, diketahui ada  6 siswa  yang tidak setuju bahwa guru BK  sebagai polisi sekolah (suka memberi  hukuman).
, terdapat 5 siswa  yang setuju bahwa guru BK sebagai polisi sekolah (suka memberi  hukuman).
 dan terdapat 8 siswa  yang sangat setuju bahwa guru BK sebagai polisi sekolah (suka memberi  hukuman).



D.    PEMBAHASAN
Pada kriteria angket  pertama tentang Persepsi Siswa Terhadap Peranan Guru BK sebagai Konselor prosentase tertinggi adalah 42% yaitu siswa sangat setuju dengan peranan guru BK, 32% adalah prosetase untuk siswa yang setuju, 26% adalah prosentase untuk siswa yang tidak setuju terhadap peranan guru BK yang ada jadi dapat diartikan bahwa persepsi siswa terhadap peranan guru BK itu amat baik
Dari hasil kriteria angket yang kedua  ternyata prosentase terbesar adalah 42% yaitu yang terdapat pada ketidak setujuan siswa terhadap Peranan Guru BK Sebagai tempat  bantuan  memecahkan suatu masalah siswa. Dan dari prosentase yang lain muncul prosentase 21%,untuk siswa yang setuju dan 37% untuk siswa yang sangat setuju dilihat dari prosentase terbesar pada criteria angket yang kedua siswa beranggapan guru bk dalam pemecahan masalah kurang efektif
Berdasarkan hasil kriteria angket yang ke tiga yang diperoleh tentang Peranan Guru BK Sebagai tempat  bantuan  mengembangkan potensi siswa. .prosentase tertinggi terdapat pada siswa yang tidak setuju yaitu 53% dan siswa yang setuju 21%,dan yang sangat setuju hanya menembus 26% saja.Dari hasil tersebut dapat di gambarkan bahwa siswa belum mendapat bantuan yang diharapkan dari guru bk yang ada
Pada kriteria angket yang ke empat  tentang Terhadap Peranan Guru BK  sudah dapat dikatakan sesuai dengan pekerjaannya sebagai Guru BK bukanlah sebagai polisi sekolah ,dapat dilihat prosentase terbesar adalah siswa yang tidak setuju dengan angka prosentase 47% ,siswa yang setuju 32% dan yang sangat setuju 21% dari hal tersebut peranan guru bk disekolah masih riskan dan yang dirasakan siswa terhadap pelayanan guru bk tersebut belum maksimal
Kemudian kriteria yang kelima tentang Peranan Guru BK  sebagai polisi sekolah prosentase yang paling besar adalah siswa yang sangat setuju dengan hasil prosentase 42%,siswa yang setuju 26% dan yang tidak setuju hanya menembus 32% saja. Disini dapat dilihat bahwa siswa berpandangan bahwa seorang guru BK itu adalah guru yang hanya bisa member hukuman terhadap siswanya

Berikut adalah diagram perbandingan kriteria tiap tabel dari angket.

Keterangan : SS : Sangat Setuju
                     S   : Setuju
                     TS : Tidak Setuju

Kesimpulan
          Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan berupa
1.      Pada tahap pertama (table 1.1) peranan guru BK sangat positif, dalam hal ini kaitannya adalah persepsi siswa kepada guru BK itu sendiri, hal ini terlihat responden 8 siswa dengan tingkat 42% memilih sangat setuju.
2.      Pada tahap pertama (table 1.2) peranan guru BK sangat negatif, dalam hal ini kaitannya adalah persepsi siswa kepada guru BK itu sendiri, hal ini terlihat responden 8 siswa dengan tingkat 42% memilih tidak setuju.
3.      Pada tahap pertama (table 1.3) peranan guru BK sangat negatif, dalam hal ini kaitannya adalah persepsi siswa kepada guru BK itu sendiri, hal ini terlihat responden 10 siswa dengan tingkat 53% memilih tidak setuju
4.      Pada tahap pertama (table 1.4) peranan guru BK sangat negatif, dalam hal ini kaitannya adalah persepsi siswa kepada guru BK itu sendiri, hal ini terlihat responden 9 siswa dengan tingkat 47% memilih tidak setuju
5.      Pada tahap pertama (table 1.5) peranan guru BK sangat negatif, dalam hal ini kaitannya adalah persepsi siswa kepada guru BK itu sendiri, hal ini terlihat responden 8 siswa dengan tingkat 47% memilih sangat setuju



Daftar Pustaka
1.        Prayitno dan Erman Amti. 1994. Dasar – Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.
2.        Hikmawati Fenti. 2010. Bimbingan konseling. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
3.        Depdiknas. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung : Jurusan BK UPI.
4.        Suharismi. 2011. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rinela Cipta.
5.        W.S. Winkel & M.M. Sri Hastuti. 2004. Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta. MediaAbadi Arikunto. 


Lampiran Angket Penelitian

Jawablah pertanyaan dibawah ini, berdasarkan pendapat anda menggunakan jawaban sangat setuju, setuju, tidak setuju:
1.      Guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya sebagai konselor
a.       Sangat setuju
b.      Setuju
c.       Tidak setuju
2.      Guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya untuk  membantu memecahkan suatu masalah siswa.
a.       Sangat setuju
b.      Setuju
c.       Tidak setuju
3.      Guru BK sudah menjalankan dengan baik perannya  membantu mengembangkan potensi siswa.
a.       Sangat setuju
b.      Setuju
c.       Tidak setuju
4.      Guru BK sudah dapat dikatakan sesuai dengan pekerjaannya sebagai Guru BK bukanlah sebagai polisi sekolah.
a.       Sangat setuju
b.      Setuju
c.       Tidak setuju
5.      Guru BK sebagai polisi sekolah ( suka memberi  hukuman).
a.       Sangat setuju
b.      Setuju
c.       Tidak setuju



Tes Formatif Bahasa Indonesia Kelas VIII

Soal teks LHO kelas VIII Klik link bawah ini untuk mengerjakan soal. https://forms.gle/8ZCj6n3udrjJqv8A8