Kamis, 29 Januari 2015

Cerita Misteri

Tangisan Perempuan Saat Kemping

            Malam itu begitu dingin, saat suara angin semakin mendesir, saat bulan mulai tegak bersinar. Aku duduk sendiri sembari memandangi ombak dan merasakan sunyinya pantai ini. Entah kenapa malam ini perasaan ku menjadi tidak karuan, segala hal yang seharusnya bisa ku lupakan malah membayangi fikiranku. Api ini lama-lama mulai redup, satu-satunya sumber cahaya dan penghangatku, aku iri dengan mereka, ya teman-temanku yang sedang tidur dengan nikmatnya. Sesaat pandanganku tertuju kearah tenda putri, terlihat sebuah cahaya dari dalam tenda itu, sepertinya ada seseorang yang belum tidur.

“eh..ngapaen diluar malem-malem gini? Nggak tidur?” ucap seorang perempuan cantik bernama Sinta keluar dari dalam tenda itu.
“aku nggak bisa tidur, tuh gara-gara suara ngoroknya Doni” hahaha..!!! jawabku dengan godaan.
“Lha kmu sendiri kenapa gak tidur”..!! lanjutku.
“aku juga nggak bisa tidur, ne kan malem terakhir kita kemping, yaa aku pengen menikmatinya ja”..!!! ucap Sinta sambil duduk merapat disampingku.

Tak heran banyak laki-laki dikampus yang mengemis cinta Sinta, wajahnya yang cantik tampak binar oleh cahaya api ini. Sinta memang pernah menjadi pacarku kala kita masih semester 2 dulu, meskipun hanya berjalan setahun dengannya. Salahku memang karena dulu telah menyia-nyiakannya, sekarang sudah 2 tahun sejak aku putus dengan Sinta dan kitapun sudah melupakan segala kenangan itu.

Kita pun ngobrol sana-sini dan saling mentertawakan hal-hal yang pernah kita alami. Karena udara semakin dingin, aku menyuruh Sinta masuk kembali ketenda, dia pun paham apa maksudku. Akhinya aku sendiri lagi “pikirku dengan nada lesu”. Kaki ini lama-lama semakin gatal untuk tidak bergerak, berbekal senter aku berjalan-jalan dipingiran pantai menikmati segala suasana yang ada. Meskipun sinar bulan tak cukup terang tapi keindahan pantai ini cukup terlihat, namun juga tak bisa ku pungkiri aura mistis disini sangat terasa, bahkan dibalik keindahan pantai ini beberapa cerita seram kerap menggangu wistawan yang ingin berlibur kesini.

Malam ini sepertinya berbeda dengan malam pertama kemarin, entah apa yang membuat beda aku pun juga tak tahu, hanya perasaan aneh yang kerap kali muncul. Aku terus berjalan sambil memandangi sekitar, sesekali aku melempar bebatuan kelaut. Sampai pada akhirnya aku mendengar suara tangisan perempuan, sama-samar memang suara itu. Ku pastikan telinga ini tak salah dengar, ku langkahkan kaki ini mencari tau asal suara itu, semakin jelas suara itu kemudian akhirnya aku berhenti karena asal suara itu ternyata dari balik pohon yang ada dipingiran hutan.

Hawa dingin semakin kencang menerpa tubuh ini, jaket yang ku pakai ternyata tak cukup untuk melindungiku. Aku mulai berfikir tentang tindakan yang akan ku lakukan serta akibatnya, aku tau suara itu pasti bukan suara manusia, aneh jika ada perempuan malem-malem seperti ini berada ditempat seperti itu. Aku takut tapi aku juga penasaran, akhirnya aku memberanikan diri untuk mencari tau suara itu, jantung ini semakin dipompa dengan kerasnya dengan langkah sedikit gemetar perlahan ku dekati pohon besar itu. Suara tangisan itu semakin keras, tangan ku gemetar hebat saat akan menyingkap ranting dan dedaunan pohon-pohon itu, suara tangisan itu tiba-tiba berhenti dan dengan cepat ku singkap ranting dan dedaunan pohon itu. Kemudian “wwwuuuuuuusssssssshhhhh” hembusan angin cukup kencang menerpaku hingga aku terjatuh kebelakang, aku segera bangkit dan ku arahkan senterku kesana-sini mencari tau apa yang sebenarnya terjadi, karena ketakuatan akhirnya aku berlari meninggalkan tempat itu namun baru beberpa langkah aku terjatuh kembali karena kaki ku tersangkut akar pepohonan, aku bangkit dan berlari sempoyongan menuju tenda.

Karena kehabisan nafas aku pun berhenti, berlari dipasir memang tak semudah berlari ditanah, tubuhku menjadi panas, jantung ini berdebar-debar dan keringat disana-sani. Aku berjalan menuju tenda yang memang sudah dekat, kaki ini begitu lemas jika harus ku pakasakan untuk berlari. Ternyata Sinta sedang duduk didekat perapian tepat dimana kita tadi ngobrol, aku membersihakan jaket serta mengusap keringat yang membasahi wajahku karena aku tak ingin Sinta curiga. Ku atur nafas ini, sebelum menyapanya.
“Lho kok diluar lagi Sin”?? “nggak dingin apa”?! Tanyaku sambil berjalan menghampirinya.
Namun Sinta hanya diam saja dan kepalanya menunduk, aku tak bisa dengan jelas melihat wajahnya karena apinya sudah sangat kecil serta dia juga mengenakan krudung kepala yang ada pada jaketnya. Kemudian aku duduk merapat disampingnya.
“Kok diem aja Sin”?? “kamu marah ya sama aku”?? tanya ku dengan nada heran.
“sorry deh kalau aku punya salah”..!!! lanjutku penuh rayu.

Sinta masih tetap saja diam bergerakpun juga tidak, perasaanku mulai terasa aneh, sampai pada akhirnya suara tangisan perempuan itu terdengar kembali tapi kali ini suara itu begitu keras dan jelas. Aku segera bangkit dari duduk ku mulai memandang kesana-kemari mencari tau sumber suara dan sesaat jantungku kembali berdetak kencang mendengarnya. “Sin kamu denger nggak suara perempuan nanggis, kayaknya dari arah sana” kata ku sambil menunjuk asal suara itu. Namun tiba-tiba suara itu berhenti, aku masih berusaha memperhatikan arah suara tadi dan mengarahkan senterku kesekeliling. “nggak usah takut Sin, suaranya sudah nggak aaad”..!!! belum sempat ku lanjutkan kata-kataku, betapa terkejutnya aku mendengar suara tangisan perempuan tadi seperti berada tepat dibelakangku. Tubuh ini menjadi tegang dan kaku, nafasku pun sontak mulai tak teratur. “Sin jangan bercanda deh, nggak lucu tau”..!!! kata ku dengan posisi masih berdiri membelakangi Sinta. Namun suara tangisan perempuan itu masih tetap saja terdengar, ku ambil nafas dalam-dalam secara perlahan ku gerakan kepalaku melihat kebelakang dan ternyata Sinta sudah berubah menjadi sosok perempuan berambut panjang dan berbaju putih dengan bercak-bercak darah disana-sini serta kepalanya tertunduk sambil menanggis. Badanku gemetar tak karuan, mataku terbelalak melihat sosok itu “Kkkkuukkuukuunntii”..!!! Seketika semua manjadi gelap.

Saat aku bangun, aku sudah berada dirumah warga serta ku lihat ekpresi teman-temanku yang terlihat khawtir dan dalam pikiran mereka pasti timbul berbagai pertanyaan tentang apa yang sebanarya terjadi. Kepalaku terasa berat, serta tubuh ini yang masih lemas, sedikit-sedikit aku mulai ingat kejadian semalam. Akhirnya aku menjelaskan apa yang aku alami, teman-temanku semua kaget, karena mereka tadi malam memang tak mendengar suara apapun bahkan Sinta juga terlihat seperti tak percaya jika sosok perempuan itu menyamar menjadi dirinya. Akhirnya pagi itu juga kita memutuskan untuk segera pulang, padahal rencana awal kita akan pulang pada sore harinya. Ternyata cerita-cerita mistis seputar pantai ini memang benar adanya karena aku telah mengalaminya sendiri dan semenjak itu aku dan teman-temanku tak pernah lagi kepantai itu.


Maaf jika ada salah kata atau penulisan yang kurang sistematis.
Cerita ini berdasarkan pengalaman temen saya yang kira-kira terjadi sekitar tahun 2008. Terimakasih.......

https://www.facebook.com/bay.toro?ref=tn_tnmn (Numpang promosi,,hehehhe *modus*) :D

Sastra Bandingan


MEMBANDINGKAN DUA BUAH CERITA LONA KAKA DAN LONA LARA (SUMBA, NTT) DENGAN ANDE-ANDE LUMUT (JAWA TIMUR) BERDASARKAN UNSUR INSTRINSIK, NILAI MORAL, NILAI BUDAYA DAN JUGA PERSAMAAN DAN PERBEDAAN



Pendahuluan
            Cerita rakyat merupakan sebagian kekayaan buaya dan sejarah yang dimiliki Bangsa Indonesia. Pada umumnya, cerita rakyat mengisahkan tentang suatu kejadian di suatu tempat atau asal muasal suatu tempat. Cerita rakyat bisa berupa dongeng, legenda, mitos dll. Tokoh-tokoh dalam cerita rakyat umumnya diwujudkan dalam bentuk binatang, manusia maupun dewa. Fungsi cerita rakyat sendiri selain sebagai hiburan juga bisa dijadikan suri tauladan terutama cerita rakyat yang mengandung pesan-pesan pendidikan moral.
Banyak yang tidak menyadari bahwa negeri kita tercinta ini mepunyai banyak cerita rakyat yang belum kita ketahui, sebut saja cerita rakyat dari Sumba NTT yang berjudul Lona Kaka dan Lona Lara dimana didalam cerita tersebut banyak mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi pembelajaran bagi kita.
            Di jawa timur, tepat di Kediri ada sebuah cerita rakyat yang sangat familiar bagi masyarakat, cerita tersebut berjudul Ande-ande Lumut. Cerita tersebut memang muncul dalam berbagai versi namun apapun bentuk dan jalan ceritanya kita wajib melestarikan warisan dari nenek moyang kita.
            Dalam makalah ini, kita akan membandingkan kedua cerita tersebut berdasarkan unsur instrinsik, nilai moral, unsur budaya dan juga nilai-nilai lain yang mungkin dapat kita ambil hikmahnya.

Latarbelakang masalah
  1. Adanya persamaan jalan cerita pada Lona Kaka dan Lara dengan Ande-ande Lumut?
  2. Membandingkan kedua cerita tersebut berdasarkan nilai moral, unsur budaya dan nilai-nilai lain yang mungkin terkandung dalam cerita tersebut?
Tujuan
  1. Diharapkan bisa menjadi sarana untuk lebih mengenal cerita rakyat dari daerah lain
  2. Diharapkan bisa menjadi media pembelajaran dalam memahami praktik Sastra Bandingan
  3. Diharapkan sebagai sarana dalam memahami nilai-nilai yang ada dalam kedua cerita


Cerita Rakyat
A. Cerita rakyat Sumba – NTT (Nusa Tenggara Timur)
Lona Kaka dan Lona Rara
Alkisah, di Desa Bukambero, Kodi, Sumba Barat, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anak gadisnya. Yang sulung bernama Lona Kaka, sedangkan si bungsu bernama Lona Rara. Kedua kakak-beradik tersebut senantiasa mendapat perlakuan yang sama dari orang tua mereka. Namun, Lona Kaka selalu iri hati jika Lona Rara meraih sebuah keberhasilan. Ia pun selalu berusaha untuk mencelakai adiknya itu jika memperoleh keberhasilan.
Pada suatu hari, ketika Lona Rara mendapat hadiah dendeng istimewa dari orang tua mereka karena berhasil memenangkan lomba menumbuk padi, Lona Kaka bermaksud untuk merampas dendeng itu dari tangan adiknya. Untuk itu, ia membujuk adiknya agar mau menemaninya mengambil air di sungai. Ia pun menyuruh adiknya untuk berjalan di depannya. Dengan begitu, ia akan lebih mudah mengambil dendeng itu tanpa sepengetahuan adiknya.

“Adikku! Maukah kamu menemani Kakak mengambil air di sungai?” bujuk Lona Kaka.
“Baiklah, Kak!” jawab Lona Rara menuruti bujukan kakaknya.

Keduanya pun berjalan menuju ke sungai sambil memikul dua buah wadah air yang terbuat dari bambu. Lona Rara berjalan di depan, sedangkan Lona Kakak mengikutinya dari belakang. Tanpa curiga sedikit pun, Lona Rara menyimpan dendengnya di wadah airnya yang belakang. Beberapa kali Lona Kaka berusaha untuk mengambil dendeng itu, namun tidak berhasil karena selalu ketahuan Lona Rara. Meski begitu, Lona Kaka tidak kehabisan akal. Setibanya di sungai, ia segera turun ke sungai mendahului adiknya untuk mengambil air. Setelah mengisi wadah airnya hingga penuh, ia kembali naik ke darat dan menyandarkan wadah airnya pada sebuah batang pohon.
“Adikku, Kakak sudah selesai. Kini giliranmu untuk mengisi wadah airmu. Sini Kakak bantu membawakan dendengmu agar kamu dapat mengambil air dengan leluasa!” ujar Lona Kaka.
Lona Rara pun menyambut baik tawaran kakaknya. Setelah menitipkan dendeng miliknya kepada Lona Kaka, ia segera turun ke sungai untuk mengambil air. Namun, baru mengisi setengah wadah airnya, tiba-tiba ia mendengar kakaknya berteriak.

“Rara...! Rara..! Dendengmu dicuri dan dibawa lari anjing!” teriak Lona Kaka seraya mengejar anjing itu.
Rupanya, Lona Kaka sengaja memberikan dendeng milik adiknya ke anjing itu, lalu berpura-pura mengejarnya. Lona Rara yang mendengar teriakan kakaknya segera naik ke darat dan membiarkan tempat airnya tergeletak di pinggir sungai. Melihat kakaknya mengejar anjing itu, ia pun turut mengejar hingga ke tengah hutan. Tanpa disadarinya, ternyata kakaknya telah pergi meninggalkannya. Sementara ia terus menyusuri hutan lebat itu hingga hari menjelang malam, namun ia tidak menemukan anjing yang membawa dendengnya. Saat akan kembali ke rumahnya, ia tersesat. Ia berjalan menyusuri hutan itu mengikuti ke mana arah kakinya melangkah hingga akhirnya menemukan sebuah sungai dan memutuskan untuk beristirahat. Ia duduk di atas sebuah batu besar di tepi sungai sambil bernyanyi mengungkapkan kekesalannya terhadap tindakan kakaknya. 
Ou kagu pama nowo ragu
Pai balimu lolokingga neghe
Mu gaiga zauwa kako kania
Ou Gela wuamaroto padua pogawa atenggu
Gaika ku bali wainya

Ou kakakku yang kucinta
Mengapa kau membuat aku begini
Membiarkan aku jalan sendiri
Ou Gela Wuamaroto berilah aku kedamaian
Tuntunlah aku kembali ke rumah

Usai bernyanyi, Lona Rara membuka pakaiannya yang sudah kotor lalu mencucinya dan mandi. Saat sedang asyik mandi, tiba-tiba ia melihat sebatang pohon jeruk yang berbuah lebat tumbuh di tepi sungai. Setelah melihat di sekelilingnya dan tidak melihat adanya orang lain di sekitar itu, ia segera memetik satu buah jeruk untuk dijadikan pewangi tubuh. Betapa terkejutnya ia ketika membelah buah jeruk itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan dan gagah di hadapannya. Ia pun langsung menjerit karena ia masih dalam keadaan tanpa busana. Ia sangat malu, karena pemuda itu telah melihat bagian tubuhnya yang selama ini ditutupinya. 

Menyadari hal itu, dengan kesaktiannya, pemuda tampan itu segera memberikan sebuah kain tenun Sumba yang indah kepada Lona Rara. Lona Rara pun segera memakai kain tenun itu untuk menutupi tubuhnya.

“Hai, pemuda tampan! Kenapa engkau tiba-tiba muncul dari dalam buah jeruk itu?” tanya Lona Rara dengan malu-malu.

“Maaf, Putri! Bukankah Putri sendiri yang meminta bantuan kepadaku?” jawab pemuda itu sambil menunduk untuk memberi hormat di hadapan Lona Rara.

“Siapa sebenarnya engkau ini?” Lona Rara kembali bertanya.

“Saya adalah Gela Wuamaroto seperti yang Putri dendangkan dalam lagu itu. Saya datang untuk mengantar Putri pulang ke rumah dan memberikan ketenteraman kepada Putri,” ujar pemuda tampan yang mengaku bernama Gela Wuamaroto.

Hati Lona Rara menjadi senang bercampur heran, karena tidak menyangka nyanyiannya telah menjadi kenyataan. Hari pun sudah mulai gelap. Gela Wuamaroto mengajak Lona Rara mencari tempat beristirahat. Setelah menemukan sebuah gua yang cukup luas, Gela Wuamaroto segera membuat api unggun dan menangkap seekor ayam hutan untuk makan malam. Usai makan, mereka pun langsung tertidur pulas. Keesokan harinya, Lona Rara sangat terkejut, karena didekatnya telah tersedia ayam panggang.

“Hai, kenapa masih ada ayam panggang di sini? Bukankah ayam panggang yang tadi malam sudah habis?” gumam Lona Rara.

Melihat Lona Rara terbangun, Gela Wuamaroto yang sedang berdiri di depan pintu gua segera menghampirinya.

“Maaf Putri! Saya yang menyediakan ayam panggang itu untuk sarapan kita berdua,” ujar Gela Wuamaroto sambil tersenyum.

Lona Rara dan Gela Wuamaroto pun segera menyantap ayam panggang itu. Setelah itu, mereka saling berkenalan, saling jatuh cinta, dan akhirnya mereka pun menikah. Karena asyik dimabuk cinta, Lona Rara menjadi lupa untuk kembali ke rumahnya. Demikian pula, Gela Wuamaroto, ia lupa untuk mengantar pulang Lona Rara. Sepasang pengantin baru itu keasyikan menikmati hari-hari yang indah bersama di tengah hutan tersebut, sehingga tak terasa sudah satu bulan mereka hidup bersama.
Suatu hari, Lona Rara tiba-tiba teringat kepada keluarganya. Ada kerinduan di hatinya ingin segera pulang dan bertemu dengan mereka.

“Kanda! Kapan Kanda akan mengantar Dinda menemui keluarga Dinda?” tanya Lona Rara.

“Besok, Dinda,” jawab Gela Wuamaroto.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lona Rara dan suaminya bersiap-siap pulang ke rumahnya. Sebelum berangkat, Gela Wuamaroto memberikan pakaian tenun Sumba yang sangat indah kepada Lona Rara untuk dihadiahkan kepada keluarganya. Setelah menempuh perjalanan selama setengah hari, sampailah mereka di Desa Bukambaro. Saat Lona Rara memasuki desa, seluruh warga terheran-heran melihat kedatangannya. Apalagi ia datang bersama dengan seorang pemuda yang gagah dan tampan. Sambil tersenyum-senyum, Lona Rara berjalan di samping suaminya menuju ke rumahnya. Saat tiba di halaman rumah, ia melihat rumahnya tampak sepi dan pintu rumahnya tertutup rapat.

“Ayah...Ibu...! Rara pulang!” teriak Lona Rara dengan perasaan gembira.

Berkali-kali Lona Rara berteriak, namun tak ada jawaban. Beberapa saat kemudian, barulah pintu rumahnya terbuka pelan-pelan. Saat pintu terbuka, tampaklah kakaknya, Lona Kaka, sedang membuka pintu dan berdiri di depan pintu dengan wajah memerah. Ia seakan tidak percaya bahwa adiknya masih hidup. Ia pun langsung memeluk Lona Rara.

“Maafkan aku, Adikku! Kakak telah meninggalkanmu seorang diri di tengah hutan,” ucap Lona Kaka.

“Sudahlah, Kak! Yang penting Adik selamat dan bisa kembali berkumpul bersama kalian,” bujuk Lona Rara.

“O iya, Kak! Ayah, Ibu ke mana? Kenapa mereka tidak kelihatan?” tanya Lona Rara heran.

Mendengar pertanyaan itu, Lona Kaka kembali memeluk adiknya dengan erat sambil meneteskan air mata.

“Adikku! Ayah dan Ibu sudah tiada. Mereka telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya,” jawab Lona Kaka dengan sedih.

“Apa yang terjadi dengan Ayah dan Ibu, Kak?” desak Lona Rara.

Lona Kaka pun menceritakan musibah yang telah menimpa kedua orang tua mereka.

“Sebulan yang lalu, Ayah dan Ibu mendapat celaka saat mencari Adik di tengah hutan. Seorang warga menemukan mereka di tengah hutan dalam keadaan terluka parah dan tidak bernyawa lagi akibat digigit binatang buas,” jelas Lona Kaka.

Mendengar keterangan itu, Lona Rara pun tidak sanggup menahan air mata. Ia menangis tersedu-sedu meratapi kepergian Ayah dan Ibu yang sangat dicintainya. Sejenak, suasana di depan rumah yang sederhana itu pun tiba-tiba menjadi hening. Beberapa saat kemudian, Lona Rara meminta kepada kakaknya agar mengantarnya ke tempat pemakaman kedua orang tua mereka. Sesampainya di depan kuburan kedua orang yang dicintainya itu, Lona Rara kembali menangis tersedu-sedu menyesali semua peristiwa yang telah terjadi.

“Sudahlah, Dinda! Semuanya sudah diatur oleh Yang Mahakuasa. Ayo kita kembali ke rumah!” bujuk Gela Wuamaroto.

Lona Rara bersama suami dan kakaknya pun kembali ke rumah. Beberapa hari kemudian, setelah kesedihannya hilang, Lona Rara menceritakan semua peristiwa yang dialaminya ketika tersesat di hutan kepada kakaknya. Mendengar cerita itu, timbullah keinginan Lona Kaka untuk pergi ke tempat di mana adiknya bertemu dengan Gela Wuamarota, dengan harapan dirinya pun akan bernasib sama seperti adiknya.

Keesokan harinya, secara diam-diam, Lona Kaka pergi sendirian ke tempat itu. Sebelum mandi, ia memetik satu buah jeruk yang sudah menguning. Begitu ia membelah jeruk itu, bukannya pemuda tampan yang muncul, melainkan seorang lelaki tua berjenggot putih. Ia pun langsung menjerit ketakutan dan berlari meninggalkan tempat itu. Dalam hatinya tersimpan rasa penyesalan yang begitu mendalam karena tidak memetik buah jeruk yang masih muda.

Sesampainya di rumah, Lona Kaka langsung duduk termenung di samping rumahnya. Dalam ketermenungannya, tiba-tiba muncul dalam pikirannya ingin merebut suami adiknya. Ia tinggal menunggu waktu yang paling tepat untuk menjalankan niat busuknya itu.

Pada suatu malam, Gela Wuamaroto meminta izin kepada Lona Rara untuk pergi berdagang bersama beberapa warga desa lainnya ke negeri seberang.

“Dinda! Kanda ingin berdagang ke negeri seberang. Barangkali Kanda harus pergi dalam waktu yang cukup lama. Apakah Dinda bersedia mengizinkan Kanda?” bujuk Gela Wuamaroto.

“Baiklah, Kanda! Dinda mengizinkan. Tapi jangan lupa mampir ke rumah paman untuk memberinya oleh-oleh ketika kembali nanti,” ujar Lona Rara tersenyum.

“Baiklah, Dinda!” jawab Gela Wuamaroto sambil menatap wajah istrinya dengan penuh cinta.

Keesokan harinya, berangkatlah Gela Wuamaroto ke negeri seberang bersama beberapa warga desa lainnya. Seminggu setelah kepergian Gela Wuamaroto, Lona Kaka pun mulai menyusun siasat untuk menghilangkan nyawa Lona Rara agar dapat merebut suaminya.

Pada suatu hari, ia mengajak adiknya itu mencari kayu bakar di hutan. Setelah berjalan cukup jauh ke tengah hutan, sampailah mereka pada sebuah jurang yang cukup dalam.

“Adikku! Kita beristirahat di sini dulu. Kakak capek berjalan jauh,” ujar Lona Kaka.

Lona Kaka dan adiknya pun beristirahat tidak di dekat jurang itu. Setelah rasa lelah mereka hilang, Lona Kaka memanjat sebuah pohon yang rantingnya telah kering di tepi jurang yang terjal. Saat berada di atas pohon, ia meminta kepada adiknya untuk membawakannya parang yang sengaja ditinggalkan di dekat adiknya.

“Aduh, Adikku! Kakak lupa membawa parang. Tolong ambilkan parang yang ada di dekatmu itu!” seru Lana Kaka dari atas pohon.

Tanpa curiga sedikit pun, Lona Rara ikut memanjat pohon untuk memberikan parang itu kepada kakaknya. Sesampainya di atas pohon, ia menyerahkan parang itu kepada kakaknya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya berpegangan pada sebuah ranting yang kering. Begitu mengambil parang itu dari tangan kiri adiknya, pada saat yang bersamaan, Lona Kaka juga menginjak ranting tempat Lona Rara berpegangan hingga patah. Tak ayal lagi, Lona Rara pun terjatuh dari atas pohon dan terguling-guling hingga ke dasar jurang.

Melihat kejadian itu, Lona Kaka bukannya menolong adiknya, melainkan tersenyum sinis.

“Rasakanlah itu, Rara! Gela Wuamaroto akan menjadi milikku!” seru Lona Kaka.

Dengan perasaan puas dan gembira, Lona Kaka turun dari pohon itu dan kemudian pulang ke rumahnya. Sesampainya di desa, ia berpura-pura sedih meratapi nasib adiknya. Seluruh warga pun turut berduka cita mendengar berita duka tersebut. Namun, Lona Kaka tidak mengira jika ternyata adiknya masih hidup. Rupanya, ketika Lona Rara terjatuh ke jurang itu, tubuhnya tersangkut pada tanaman yang menjalar di tebing. Berkat usahanya memanjat tebing yang curam itu, ia berhasil sampai ke puncak tebing dan selamat.

Sesampainya di atas, Lona Rara pun berteriak-teriak memanggil kakaknya.

“Kakak! Kamu di mana?” teriaknya.

Beberapa kali Lona Rara berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari kakaknya. Ia pun menyadari bahwa ternyata kakaknya telah berniat jahat kepadanya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk langsung ke rumah pamannya. Setelah dua hari menempuh perjalanan, sampailah ia di rumah pamannya. Ia pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya dan rencana jahat sang Kakak kepada pamannya.

Beberapa hari kemudian, Gela Wuamaroto pun kembali dari rantauannya untuk membawakan oleh-oleh kepada pamannya.
Betapa terkejutnya ia ketika melihat istrinya berada di tempat itu.

“Hai, Dinda! Kenapa Dinda ada di sini?” tanya Gela Wuamaroto dengan heran.

Melihat suaminya datang, Lona Rara pun langsung memeluknya dengan erat. Kemudian ia menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya hingga ia bisa berada di rumah pamannya. Mendengar cerita istrinya, Gela Wuamaroto pun bercerita bahwa selama ini Lona Kaka selalu merayunya.

“Ketahuilah, Dinda! Andai kata iman Kanda lemah, tentu Kanda telah jatuh dipelukan kakak Dinda. Selama ini dia sering merayu Kanda saat Dinda tidak berada di rumah. Itulah sebabnya, Kanda memutuskan untuk pergi merantau agar Kanda terhindar dari rayuan manisnya,” ungkap Gela Wuamaroto.

Mendengar pengakuan suaminya, Lona Rara pun naik pitam. Ia sangat marah terhadap sikap dan perbuatan kakaknya.

“Huh, Dinda harus membalas perbuatan Kak Lona Kaka!” seru Lona Rara dengan geramnya.

Gela Wuamaroto pun sejenak. Ia mencoba untuk memahami perasaan istrinya. Setelah itu, ia mencoba untuk membujuknya agar mengurungkan niatnya membalas dendam.

“Maaf, Dinda! Kanda tidak bisa berkata apa-apa. Lona Kaka adalah kakak Dinda satu-satunya. Perbuatannya memang jahat, tapi apakah kita juga harus meniru perbuatan jahatnya itu?” bujuk Gela Wuamaroto.

“Tidak, Kanda! Sejak dulu Kak Lona Kaka selalu iri dan dengki terhadap Dinda. Dia sudah berkali-kali berusaha ingin mencelakai Dinda. Jika hal ini dibiarkan terus, suatu saat dia akan membunuh Dinda,” ujar Lona Rara.

Mendengar keteguhan tekad istrinya, Gela Wuamaroto pun tak sanggup berbuat apa-apa. Akhirnya, pada malam harinya, Lona Rara dan suaminya segera menyusun siasat untuk membalaskan dendamnya kepada Lona Kaka. Mereka memesan dua buah peti yang berukir sangat indah. Peti yang satu akan mereka isi dengan perhiasan emas dan berlian, sedangkan untuk peti yang satunya Lona Rara akan masuk ke dalamnya sambil membawa sebuah pisau yang runcing dan tajam.

Keesokan harinya, berangkatlah Gela Wuamaroto ke kampung untuk menemui Lona Kaka. Ia berangkat dengan menunggang kuda dan membawa serta seekor kuda beban yang mengangkut kedua peti yang berisi perhiasan dan berisi Lona Rara tersebut. Sesampainya di kampung halaman istrinya, Gela Wuamaroto segera menuju ke rumah istrinya. Lona Kaka yang sedang asyik menenun segera bangkit untuk menyambut kedatangan Gela Wuamaroto.

“Maafkan aku, Gela Wuamaroto! Aku tidak dapat menjaga Adik Lona Rara,” kata Lona Kakak sambil berpura-pura menangis.

“Apa yang terjadi dengannya, Kakak Ipar?” Gela Wuamaroto pun berpura-pura bertanya.

“Lona Rara meninggal dunia, karena dimakan buaya saat kami sedang mandi di sungai,” jawab Lona Kaka dengan muka sedih.

Mendengar keterangan itu, Gela Wuamaroto berpura-pura terkejut dan terlihat murung. Ia kemudian turun dari kudanya dan menambatkan kedua kudanya pada batang pohon di depan rumah. Ketika ia menurunkan kedua peti itu dari kudanya, Lona Kaka menghampirinya.

“Apa isi peti itu, Gela?” tanya Lona Kaka ingin tahu.

Dengan wajah murung, Gela Wuamaroto menyuruh Lona Kaka untuk membuka salah satu dari kedua peti itu. Ketika Lona Kaka membuka peti itu, matanya langsung terbelalat melihat isi peti yang terdiri dari berbagai macam perhiasan emas dan berlian. Setelah Lona Kaka melihat isi peti itu, Gela Wuamaroto menyuruhnya untuk membuka peti yang satunya.

“Kakak Ipar! Buka dan ambillah semua isi peti yang satu itu! Aku hadiahkan untukmu,” ujar Gela Wuamaroto.

Dengan perasaan senang dan gembira, Lona Kaka pun segera membuka peti yang masih tertutup rapat itu. Begitu peti itu terbuka, tiba-tiba Lona Rara meloncat keluar dan menikamkan pisaunya berkali-kali ke arah dada kakaknya.

“Terimalah pembalasanku ini, Kak!” teriak Lona Rara.

Tak ayal lagi, Lona Kaka pun tewas seketika dengan bersimbah darah. Melihat kakaknya terkapar di tanah dalam keadaan tidak bernyawa, Lona Rara pun berteriak histeris. Ia sangat menyesal atas apa yang baru saja dilakukannya. Namun,  apalah guna menyesal kemudian. Nasi sudah menjadi bubur. Nyawa kakaknya tidak dapat ditolong lagi.


B. Cerita Rakyat dari Kediri- Jawa Timur

Ande-ande Lumut

Dahulu kala, ada dua buah kerajaan,  Kediri dan Jenggala. Kedua kerajaan itu berasal dari sebuah kerajaan yang bernama Kahuripan. Raja Erlangga membagi kerajaan itu menjadi dua untuk menghindari perang saudara. Namun sebelum meninggal raja Erlangga berpesan bahwa kedua kerajaan itu harus disatukan kembali.

Maka kedua raja pun bersepakat menyatukan kembali kedua kerajaan dengan menikahkan putera mahkota Jenggala, Raden Panji Asmarabangun dengan puteri Kediri, Dewi Sekartaji.

Ibu tiri Sekartaji, selir raja Kediri, tidak menghendaki Sekartaji menikah dengan Raden Panji karena ia menginginkan puteri kandungnya sendiri yang nantinya menjadi ratu Jenggala. Maka ia menyekap dan menyembunyikan Sekartaji dan ibunya.

Pada saat Raden Panji datang ke Kediri untuk menikah dengan Sekartaji, puteri itu sudah menghilang. Raden Panji sangat kecewa. Ibu tiri Sekartaji membujuknya untuk tetap melangsungkan pernikahan dengan puterinya sebagai pengganti Sekartaji, namun Raden Panji menolak.

Raden Panji kemudian berkelana. Ia mengganti namanya menjadi Ande-Ande Lumut. Pada suatu hari ia tiba di desa Dadapan. Ia bertemu dengan seorang janda yang biasa dipanggil Mbok Randa Dadapan. Mbok Randa mengangkatnya sebagai anak dan sejak itu ia tinggal di rumah Mbok Randa.

Ande-Ande Lumut kemudian minta ibu angkatnya untuk mengumumkan bahwa ia mencari calon isteri. Maka berdatanganlah gadis-gadis dari desa-desa di sekitar Dadapan untuk melamar Ande-Ande Lumut. Tak seorangpun ia terima sebagai isterinya.

Sementara itu, Sekartaji berhasil membebaskan diri dari sekapan ibu tirinya. Ia berniat untuk menemukan Raden Panji. Ia berkelana hingga tiba di rumah seorang janda yang mempunyai tiga anak gadis, Klething Abang, Klething Ijo dan si bungsu Klething Biru. Ibu janda menerimanya sebagai anak dan diberi nama Klething Kuning.

Klething Kuning disuruh menyelesaikan pekerjaan sehari-hari dari membersihkan rumah, mencuci pakaian dan peralatan dapur. Pada suatu hari karena kelelahan Klething Kuning menangis. Tiba-tiba datang seekor bangau besar. Klething Kuning hampir lari ketakutan. Namun bangau itu berkata, “Jangan takut, aku datang untuk membantumu.”

Bangau itu kemudian mengibaskan sayapnya dan pakaian yang harus dicuci Klething Kuning berubah menjadi bersih. Peralatan dapur juga dibersihkannya. Setelah itu bangau terbang kembali.

Bangau itu kembali setiap hari untuk membantu Klething Kuning. Pada suatu hari bangau menceritakan tentang Ande-Ande Lumut kepada Klething Kuning dan menyuruhnya pergi melamar.

Klething Kuning minta ijin kepada ibu angkatnya untuk pergi ke Dadapan. Ibunya mengijinkan ia pergi bila pekerjaannya sudah selesai. Ia pun sengaja menyuruh Klething Kuning mencuci sebanyak mungkin pakaian agar ia tidak dapat pergi.

Sementara itu ibu janda mengajak ketiga anak gadisnya ke Dadapan untuk melamar Ande-Ande Lumut. Di perjalanan mereka tiba di sebuah sungai yang sangat lebar. Tidak ada jembatan atau perahu yang melintas. Mereka kebingungan. Lalu mereka melihat seekor kepiting raksasa menghampiri mereka.

“Namaku Yuyu Kangkang. Kalian mau kuseberangkan?”

Mereka tentu saja mau.

“Tentu saja kalian harus memberiku imbalan.”

“Kau mau uang? Berapa?” tanya ibu janda.

“Aku tak mau uangmu. Anak gadismu cantik-cantik. Aku mau mereka menciumku.’

Mereka terperanjat mendengar jawaban Yuyu Kangkang. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya mereka setuju. Kepiting raksasa itu menyeberangkan mereka satu persatu dan mereka pun memberikan ciuman sebagai imbalan.

Sesampainya di rumah mbok Randa, mereka minta bertemu dengan Ande-Ande Lumut.

Mbok Randa mengetuk kamar Ande-Ande Lumut, katanya, “Puteraku, lihatlah, gadis-gadis cantik ini ingin melamarmu. Pilihlah satu sebagai isterimu.”

“Ibu,” sahut Ande-Ande Lumut, “Katakan kepada mereka, aku tidak mau mengambil kekasih Yuyu Kangkang sebagai isteriku.”

Ibu Janda dan ketiga anak gadisnya terkejut mendengar jawaban Ande-Ande Lumut. Bagaimana pemuda itu tahu bahwa mereka tadi bertemu dengan kepiting raksasa itu? Dengan kecewa mereka pun pulang.
Di rumah, Klething Kuning sudah menyelesaikan semua tugasnya berkat bantuan bangau ajaib. Bangau itu memberinya sebatang lidi.

Ketika ibu angkatnya kembali Klething Kuning sekali lagi meminta ijin untuk pergi menemui Ande-Ande Lumut. Ibu angkatnya terpaksa mengijinkan, namun ia sengaja mengoleskan kotoran ayam ke punggung Klething Kuning.

Klething Kuning pun berangkat. Tibalah ia di sungai besar. Kepiting raksasa itu mendatanginya untuk menawarkan jasa membawanya ke seberang sungai.

“Gadis cantik, kau mau ke seberang? Mari kuantarkan,” kata Yuyu Kangkang

“Tidak usah, terima kasih” kata Klething Kuning sambil berjalan menjauh.

“Ayolah, kau tak perlu membayar,” Yuyu Kangkang mengejarnya.”Cukup sebuah ci... Aduh!”

Klething Kuning mencambuk Yuyu Kangkang dengan lidi pemberian bangau. Kepiting raksasa itu pun lari ketakutan.

Klething Kuning kemudian mendekati tepi air sungai dan menyabetkan lidinya sekali lagi. Air sungai terbelah, dan ia pun bisa berjalan di dasar sungai sampai ke seberang.

Klething Kuning akhirnya tiba di rumah Mbok Randa. Mbok Randa menerimanya sambil mengernyitkan hidung karena baju Klething Kuning bau kotoran ayam. Ia pun menyilakan gadis itu masuk lalu ia pergi ke kamar Ande-Ande Lumut.

“Ande anakku, ada seorang gadis cantik, tetapi kau tak perlu menemuinya. Bajunya bau sekali, seperti bau kotoran ayam. Biar kusuruh ia pulang saja.”

“Aku akan menemuinya, Ibu,” kata Ande-Ande Lumut.

“Tetapi... ia...,” sahut Mbok Randa.

“Ia satu-satunya gadis yang menyeberang tanpa bantuan Yuyu Kangkang, ibu. Ialah gadis yang aku tunggu-tunggu selama ini.”

Mbok Randa pun terdiam. Ia mengikuti Ande-Ande Lumut menemui gadis itu.

Klething Kuning terkejut sekali melihat Ande-Ande Lumut adalah tunangannya, Raden Panji Asmarabangun.

“Sekartaji, akhirnya kita bertemu lagi,” kata Raden Panji.

Raden Panji kemudian membawa Dewi Sekartaji dan Mbok Randa Dadapan ke Jenggala. Raden Panji dan Dewi Sekartaji pun menikah. Kerajaan Kediri dan Jenggala pun dipersatukan kembali.


Pembahasan
1. Unsur Instrinsik
A. Unsur Instrinsik Cerita Lona Kaka dan Lona Lara
  • Tema                           : Persaudaraan dan Percintaan
  • Tokoh dan watak
1.      Lona Kaka
Sifat                : Jahat, iri hati, licik dan memntingkan diri sendiri
Cuplikan          :
Namun, Lona Kaka selalu iri hati jika Lona Rara meraih sebuah keberhasilan. Ia pun selalu berusaha untuk mencelakai adiknya itu jika memperoleh keberhasilan.
“Rara...! Rara..! Dendengmu dicuri dan dibawa lari anjing!” teriak Lona Kaka seraya mengejar anjing itu. Rupanya, Lona Kaka sengaja memberikan dendeng milik adiknya ke anjing itu, lalu berpura-pura mengejarnya.

Sesampainya di rumah, Lona Kaka langsung duduk termenung di samping rumahnya. Dalam ketermenungannya, tiba-tiba muncul dalam pikirannya ingin merebut suami adiknya. Ia tinggal menunggu waktu yang paling tepat untuk menjalankan niat busuknya itu.

2.      Lona Lara
Sifat                :Baik, suka menolong dan pendendam
Cuplikan          :
“Adikku! Maukah kamu menemani Kakak mengambil air di sungai?” bujuk Lona Kaka.
“Baiklah, Kak!” jawab Lona Rara menuruti bujukan kakaknya.

“Baiklah, Kanda! Dinda mengizinkan. Tapi jangan lupa mampir ke rumah paman untuk memberinya oleh-oleh ketika kembali nanti,” ujar Lona Rara tersenyum.

Mendengar keteguhan tekad istrinya, Gela Wuamaroto pun tak sanggup berbuat apa-apa. Akhirnya, pada malam harinya, Lona Rara dan suaminya segera menyusun siasat untuk membalaskan dendamnya kepada Lona Kaka

3.      Gala Wuamaroto
Sifat                : Baik, ramah dan sangat setia dengan istirnya
Cuplikan          :
Menyadari hal itu, dengan kesaktiannya, pemuda tampan itu segera memberikan sebuah kain tenun Sumba yang indah kepada Lona Rara. Lona Rara pun segera memakai kain tenun itu untuk menutupi tubuhnya.
“Ketahuilah, Dinda! Andai kata iman Kanda lemah, tentu Kanda telah jatuh dipelukan kakak Dinda. Selama ini dia sering merayu Kanda saat Dinda tidak berada di rumah

  • Latar/setting
Tempat            : Sungai
Cuplikan          :
Setibanya di sungai, ia segera turun ke sungai mendahului adiknya untuk mengambil air. Setelah mengisi wadah airnya hingga penuh, ia kembali naik ke darat dan menyandarkan wadah airnya pada sebuah batang pohon.

Tempat            : Hutan
Cuplikan          :
Melihat kakaknya mengejar anjing itu, ia pun turut mengejar hingga ke tengah hutan. Tanpa disadarinya, ternyata kakaknya telah pergi meninggalkannya. Sementara ia terus menyusuri hutan lebat itu hingga hari menjelang malam
Tempat            : Rumah Kaka dan Lona
Cuplikan          :
Sambil tersenyum-senyum, Lona Rara berjalan di samping suaminya menuju ke rumahnya. Saat tiba di halaman rumah, ia melihat rumahnya tampak sepi dan pintu rumahnya tertutup rapat.
Tempat            : Desa Bukambaro
Cuplikan          :
Setelah menempuh perjalanan selama setengah hari, sampailah mereka di Desa Bukambaro. Saat Lona Rara memasuki desa, seluruh warga terheran-heran melihat kedatangannya
Tempat            : Gua
Cuplikan          :
Setelah menemukan sebuah gua yang cukup luas, Gela Wuamaroto segera membuat api unggun dan menangkap seekor ayam hutan untuk makan malam.
Tempat            : Rumah Paman
Cuplikan          : Setelah dua hari menempuh perjalanan, sampailah ia di rumah pamannya. Ia pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya dan rencana jahat sang Kakak kepada pamannya.

  • Amanat
1. Jangan merasa iri hati dengan apa yang dimiliki orang lain
2. Kesabaran akan selalu membuahkan hasil yang baik
3. Segala sesuatu yang disari niat yang baik pastilah akan berbuah baik bigitu pula sebaliknya.


B. Unsur Instrinsik cerita rakyat Ande-ande Lumut
·         Tema                           : Persaudaraan dan Percintaan

·         Tokoh dan watak

1.      Panji Asmarabangun (Ande-ande Lumut)
Sifat                : Baik hati, setia dan sabar
Cuplikan          :Ibu tiri Sekartaji membujuknya untuk tetap
melangsungkan pernikahan dengan puterinya sebagai pengganti Sekartaji, namun Raden Panji menolak.

“Ibu,” sahut Ande-Ande Lumut, “Katakan kepada  mereka, aku tidak mau mengambil kekasih Yuyu Kangkang sebagai isteriku.”

2.      Dewi Sekartaji (Klinting Kuning)
Sifat                : Setia, tidak mudah tergoda dan sabar
Cuplikan          : Sementara itu, Sekartaji berhasil membebaskan diri dari sekapan ibu tirinya. Ia berniat untuk menemukan Raden Panji. Ia berkelana hingga tiba di rumah seorang janda yang mempunyai tiga anak gadis.
“Gadis cantik, kau mau ke seberang? Mari kuantarkan,” kata Yuyu
Kangkang
“Tidak usah, terima kasih” kata Klething Kuning sambil berjalan
menjauh.

3.      Mbok Randa Dadapan (ibu angkat Ande-ande Lumut)
Sifat                : Baik dan ramah
Cuplikan          : Ia bertemu dengan seorang janda yang biasa dipanggil Mbok Randa Dadapan. Mbok Randa mengangkatnya sebagai anak dan sejak itu ia tinggal di rumah Mbok Randa.

4.      Mbok Randa (Ibu Klinting)
Sifat                : Jahat dan mementingkah diri sendiri
Cuplikan          : Klething Kuning minta ijin kepada ibu angkatnya untuk pergi ke Dadapan. Ibunya mengijinkan ia pergi bila pekerjaannya sudah selesai. Ia pun sengaja menyuruh Klething Kuning mencuci sebanyak mungkin pakaian agar ia tidak dapat pergi.

Ketika ibu angkatnya kembali Klething Kuning sekali lagi meminta ijin untuk pergi menemui Ande-Ande Lumut. Ibu angkatnya terpaksa mengijinkan, namun ia sengaja mengoleskan kotoran ayam ke punggung Klething Kuning.

5.      Klinting Abang (merah)
Sifat                : Mudah tergoda dan rela melakukan apapun demi
   tujuannya tercapai
Cuplikan          : Mereka terperanjat mendengar jawaban Yuyu Kangkang. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya mereka setuju. Kepiting raksasa itu menyeberangkan mereka satu persatu dan mereka pun memberikan ciuman sebagai imbalan.

6.      Klinting Ijo (hijau)
Sifat                : Mudah tergoda dan rela melakukan apapun demi
   tujuannya tercapai
Cuplikan          : Mereka terperanjat mendengar jawaban Yuyu Kangkang. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya mereka setuju. Kepiting raksasa itu menyeberangkan mereka satu persatu dan mereka pun memberikan ciuman sebagai imbalan.

7.      Klinting Biru
Sifat                : Mudah tergoda dan rela melakukan apapun demi
   tujuannya tercapai
Cuplikan          : Mereka terperanjat mendengar jawaban Yuyu Kangkang. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya mereka setuju. Kepiting raksasa itu menyeberangkan mereka satu persatu dan mereka pun memberikan ciuman sebagai imbalan.

8.      Yuyu kangkang
Sifat                : Jahat, suka mengoda dan pamrih
Cuplikan          : “Namaku Yuyu Kangkang. Kalian mau kuseberangkan?” Mereka “tentu saja mau”. “Tentu saja kalian harus memberiku imbalan.”
“Kau mau uang? Berapa?” tanya ibu janda.
“Aku tak mau uangmu. Anak gadismu cantik-cantik. Aku mau mereka menciumku.’

·         Latar/ Setting 
Tempat            : Rumah Mbok Randa Dadapan
             Cuplikan         : Mbok Randa mengetuk kamar Ande-Ande Lumut,
katanya, “Puteraku, lihatlah, gadis-gadis cantik ini ingin melamarmu. Pilihlah satu sebagai isterimu.”

     Tempat            : Sungai
            Cuplikan          : Klething Kuning pun berangkat. Tibalah ia di sungai
besar. Kepiting raksasa itu mendatanginya untuk menawarkan jasa
membawanya ke seberang sungai.

     Tempat            : Rumah Mbok Randa (Ibu Klinting)
Cuplikan          : Ketika ibu angkatnya kembali Klething Kuning sekali lagi meminta ijin untuk pergi menemui Ande-Ande Lumut. Ibu angkatnya terpaksa mengijinkan, namun ia sengaja mengoleskan kotoran ayam ke punggung Klething Kuning.

·         Amanat                      
1. Janganlah merasa iri hati dengan apa yang dimiliki orang lain
2. Selalu tulus dan sabar dalam melakukan sesuatu
3. Menghalalkan segala cara dalam melakukan sesuatu bukanlah perbuatan yang baik
4. Sesuatu yang didasarkan dengan niat yang baik pasti nantikan akan berbuah baik pula pada kita.



2. Nilai Moral

A. Nilai Moral dalam cerita Lona Kaka dan Lona Lara
·         Pada suatu hari, ketika Lona Rara mendapat hadiah dendeng istimewa dari orang tua mereka karena berhasil memenangkan lomba menumbuk padi, Lona Kaka bermaksud untuk merampas dendeng itu dari tangan adiknya
Nilai moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah bahwa kita harus bisa menerima (mengakui) kemengan orang lain dan bukan merampas apa yang menjadi haknya
  • Ia duduk di atas sebuah batu besar di tepi sungai sambil bernyanyi mengungkapkan kekesalannya terhadap tindakan kakaknya.
Nilai moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah ketika “ia” (Lona Lara) kesal dia mengungkapkannya dengan bernyanyi dan bukan dengan sesuatu yang negatif (perbuatan negatif)

  • Menyadari hal itu, dengan kesaktiannya, pemuda tampan itu segera memberikan sebuah kain tenun Sumba yang indah kepada Lona Rara. Lona Rara pun segera memakai kain tenun itu untuk menutupi tubuhnya.
Nilai moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah ketika Lona Lara tidak berpakaian seketika pemuda itu langsung menutupinya hal ini mengambarkan bahwa pemuda tersebut selalu menjaga fikiran dan prilakunya

  • Sesampainya di rumah, Lona Kaka langsung duduk termenung di samping rumahnya. Dalam ketermenungannya, tiba-tiba muncul dalam pikirannya ingin merebut suami adiknya. Ia tinggal menunggu waktu yang paling tepat untuk menjalankan niat busuknya itu.
Nilai moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah sifat suka melamun/menyendiri bisa menimbulkan efek negatif yang akan berakibat buruk

  • “Dinda! Kanda ingin berdagang ke negeri seberang. Barangkali Kanda harus pergi dalam waktu yang cukup lama. Apakah Dinda bersedia mengizinkan Kanda?” bujuk Gela Wuamaroto.
“Baiklah, Kanda! Dinda mengizinkan. Tapi jangan lupa mampir ke rumah paman untuk memberinya oleh-oleh ketika kembali nanti,” ujar Lona Rara tersenyum.
Nilai moral yang terkndung dalam cuplikan cerita diatas adalah seorang suami yang memiliki tanggung jawab besar kepada keluarga dalam menafkahi serta kepatuhan sang istri terhadap suaminya

  • “Maaf, Dinda! Kanda tidak bisa berkata apa-apa. Lona Kaka adalah kakak Dinda satu-satunya. Perbuatannya memang jahat, tapi apakah kita juga harus meniru perbuatan jahatnya itu?” bujuk Gela Wuamaroto.
Nilai moral yang terkndung dalam cuplikan cerita diatas adalah setiap perbuatan buruk tak semestinya dibalas dengan keburukan pula dan juga kita harus selalu mengingatkan akan indahnya memaafkan


B. Nilai Moral dalam cerita Ande-ande Lumut
  • Pada saat Raden Panji datang ke Kediri untuk menikah dengan Sekartaji, puteri itu sudah menghilang. Raden Panji sangat kecewa. Ibu tiri Sekartaji membujuknya untuk tetap melangsungkan pernikahan dengan puterinya sebagai pengganti Sekartaji, namun Raden Panji menolak.
Nilai moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah bahwa kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada orang lain

  • Klething Kuning minta ijin kepada ibu angkatnya untuk pergi ke Dadapan. Ibunya mengijinkan ia pergi bila pekerjaannya sudah selesai. Ia pun sengaja menyuruh Klething Kuning mencuci sebanyak mungkin pakaian agar ia tidak dapat pergi.
Nilai moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah kepatuhan kelenting kuning dalam menjalankan perintah ibunya meskipun harus mengesampingkan keinginannya
  • “Namaku Yuyu Kangkang. Kalian mau kuseberangkan?”Mereka tentu saja mau.“Tentu saja kalian harus memberiku imbalan.“Kau mau uang? Berapa?” tanya ibu janda.“Aku tak mau uangmu. Anak gadismu cantik-cantik. Aku mau mereka menciumku.’
Nilai mora yang tekandung dalam cuplikan cerita diatas adalah dalam melakukan segala sesuatu haruslah didasari keikhlasan dan jangan mengarapkan imbalan seperti tergambar pada Yuyu Kangkang yang menuntut adanya imbalan
  • Mbok Randa mengetuk kamar Ande-Ande Lumut, katanya, “Puteraku, lihatlah, gadis-gadis cantik ini ingin melamarmu. Pilihlah satu sebagai isterimu.”
Nilai moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah sebelum masuk kamar hendaknya kita mengentuk pintu dulu mengambark kesopanan dalam sebuah keluarga


3. Nilai Budaya

A.Nilai Budaya dalam cerita rakyat Lona Kaka dan Lona Lara
·         Alkisah, di Desa Bukambero, Kodi, Sumba Barat, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anak gadisnya. Yang sulung bernama Lona Kaka, sedangkan si bungsu bernama Lona Rara. Kedua kakak-beradik tersebut senantiasa mendapat perlakuan yang sama dari orang tua mereka
Nilai budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah bahwa jika kita menajadi orang tua hendaknya kita kita tidak membeda-bedakan anak kita
·         Pada suatu hari, ketika Lona Rara mendapat hadiah dendeng istimewa dari orang tua mereka karena berhasil memenangkan lomba menumbuk padi,
Nilai budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah menumbuk padi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh wanita disumba dan itu murupakan budaya yang sudah menjadi tradisi
  • Ia duduk di atas sebuah batu besar di tepi sungai sambil bernyanyi mengungkapkan kekesalannya terhadap tindakan kakaknya. 
Ou kagu pama nowo ragu
Pai balimu lolokingga neghe
Mu gaiga zauwa kako kania
Ou Gela wuamaroto padua pogawa atenggu
Gaika ku bali wainya
Nilai budaya dalam cuplikan cerita diatas adalah tergambar dalam nyanyian yang menggunakan bahasa Sumba dan itu mencerminkan kebudayaan sumba

  • Menyadari hal itu, dengan kesaktiannya, pemuda tampan itu segera memberikan sebuah kain tenun Sumba yang indah kepada Lona Rara. Lona Rara pun segera memakai kain tenun itu untuk menutupi tubuhnya.
Nilai budaya dalam cuplikan cerita diatas adalah disumba pakaian yang sering dipakai oleh para wanita dan menjadi pakaian adat disana adalah kain tenun sumba yang menggambarkan buadaya sumba dan itu jelas tergambar dalam cuplikan diatas
  • Keesokan harinya, berangkatlah Gela Wuamaroto ke kampung untuk menemui Lona Kaka. Ia berangkat dengan menunggang kuda dan membawa serta seekor kuda beban yang mengangkut kedua peti yang berisi perhiasan dan berisi Lona Rara tersebut
Nilai budaya dalam cuplikan cerita diatas adalah tergambar pada kata “menunggang kuda” karena disumba memang terkenal dengan kuda-kudanya yang kuat dan sering digunakan sebagai alat transportasi


B.Nilai Budaya dalam cerita rakyat Ande-ande Lumut
  • Maka kedua raja pun bersepakat menyatukan kembali kedua kerajaan dengan menikahkan putera mahkota Jenggala, Raden Panji Asmarabangun dengan puteri Kediri, Dewi Sekartaji.
Nilai budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah perjodohan merupakan memang menjadi tradisi bagi kerajaan-kerajaan besar di jawa timur hal itu mencerminkan budaya yang ada dijawa timur
  • Ketika ibu angkatnya kembali Klething Kuning sekali lagi meminta ijin untuk pergi menemui Ande-Ande Lumut. Ibu angkatnya terpaksa mengijinkan, namun ia sengaja mengoleskan kotoran ayam ke punggung Klething Kuning
Nilai budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah bahwa seorang jika ingin keluar rumah atau melakukan sesuatu haruslah meminta ijin terhadap orangtua, hal itu merupakan cermin budaya di jawa timur
  • “Gadis cantik, kau mau ke seberang? Mari kuantarkan,” kata Yuyu Kangkang
“Tidak usah, terima kasih” kata Klething Kuning sambil berjalan menjauh.
Nilai budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah menolak tawaran orang yang belum kita kenal merupakan menjadi ciri khas wanita yang ada dijawa timur dan seakan sekarang menjadi budaya yang berkembang

  • Klething Kuning pun berangkat. Tibalah ia di sungai besar. Kepiting raksasa itu mendatanginya untuk menawarkan jasa membawanya ke seberang sungai.
Nilai budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah di jawa timur khususnya dikediri memang banyak terdapat sungai-sungai besar seperti Kali Brantas dan Bengawan Solo dan menjadi ciri khas di jawa timur


4. Perbedaan dan Persamaan Cerita Lona Kaka dan Lona Lara dengan Ande-ande Lumut

A. Perbedaan
  • Dalam kedua cerita tersebut unsur tokoh sangat dominan dimiliki Ande-ande Lumut dimana banyak tokoh yang ada dalam cerita tersebut, berbeda dengan cerita Lona Kaka dan Lona Lara yang hanya terfokus dengan kedua tokoh utama.
  • Cerita Lona Kaka dan Lona Lara bisa dibilang lebih sederhana jika dibandingkan cerita Ande-ande Lumut dimana jalan ceritanya lebih rumit
  • Konflik yang dimunculkan dalam kedua cerita tersebut lebih banyak pada Ande-ande Lumut yang mana banyak memunculkan konflik juga setting tempat terjadinya konflik dan berbeda dengan Lona Kaka dan Lona Lara yang memunculkan konflik antara kedua tokoh itu saja
  • Dalam cerita Lona Kaka dan Lona Lara akhir jalan ceritanya tidak memunculkan kebahagian justru menimbulkan konflik batin sedangkan dalam cerita Ande-ande Lumut akhir ceritanya berakhir dengan kebahagiaan
  • Dalam cerita Ande-ande Lumut mengambarkan kegigihan Panjir Asmarabangun (Ande-ande Lumut) dalam mencari Sekartaji (Klinting Kuning) demi cintanya namun dalam cerita Lona Kaka dan Lona Lara lebih terlihat kegigihan Lona Kaka (kakak) dalam membunuh Lona Lara (adik) untuk merebut segala sesuatu yang dimiliki Lona Lara
B. Persamaan
  • Kedua cerita tersebut sama-sama berlatar belakang masalah percintaan
  • Dalam cerita tersebut Lona Lara (adik) dengan Sekrtaji (klinting kuning) sama-sama memiliki sifat sabar, hal itu tergambar saat keduanya mendapat berbagai cobaan namun mereka tetap menerimanya dengan lapang hati
  • Pad kedua cerita tersebut keduanya sama-sama memunculkan unsur megic (gaib) yang mana usur tersebut berperan dalam membantu tokoh utama, pada cerita Ande-ande Lumut Sekartaji (klenting kuning) mendapat sebuah lidi pemberian dari bangau yang dapat digunakan dalam hal apapun lalu pada ceirta Lona Kaka dan Lona Lara si Lona Lara (adik) mendapat buah jeruk yang dia petik yang kemudian berubah menjadi seorang pemuda tampan yang kemudian menjadi suaminya
  • Tokoh laki-laki dalam kedua cerita tersebut yaitu Panji Asmarabangun dan Gela Wuamaroto sama-sama merupakan sosok yang setia terhadap pasangannya
  • Dalam kedua cerita tersebut tokoh utama sama-sama menumukan pasangan yang selama ini mereka impikan
  • Pada cerita Lona Kaka dan Lona Lara dengan Ande-ande Lumut sama-sama memunculkan konflik fisik yang dialami oleh Sekartaji dan Lona Lara




Kesimpulan
  • Kedua cerita tersbut memberikan pelajaran yang berharga untuk kita semua bahwa sifat iri hati akan menimbulkan efek negatif untuk diri kita sendiri
  • Sifat Lona Lara yang tak mampu menahan rasa amarahnya sehingga menimbulkan sifat dendam yang berujung dengan kematian Lona Kaka ditangan Lona Lara (adik) adalah gambaran bahwa membalas dendam tidak akan menyelesaikan masalah yang ada
  • Sifat Lona Kaka yang selalu iri dengan apa yang dicapai adiknya (Lona Lara) merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan, bagaimanapun sifat orang yang memiliki sifat iri tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang dia miliki
  • Pada cerita Ande-ande Lumut mengambarkan keteguhan, kesabaran dan juga kesetiaan yang ditunjukan oleh Panji dan Sekartaji akhirnya berbuah dengan kebaikan, keduanya berhasil bersatu kembali setelah terpisah sekian lama
  • Sifat klenting Merah, Hijau dan Biru yang mengalalkan segala cara dalam mencapai tujuan tidak berujung pada kebaikan justru mereka mendapat kekecewaan dari sikapnya tersebut
  • Pada kedua cerita tersebut mengambarkan perbedaan budaya yang mencolok dimana pada cerita Lona Kaka dan Lona Lara masih terdapat unsur kekerasan fisik yang berujung pada kematian Lona Kaka ditangan Lona Lara berbeda dengan cerita Ande-ande Lumut yang tidak memunculkan kekerasan fisik yang tidak berlebihan


Daftar Rujukan











Tes Formatif Bahasa Indonesia Kelas VIII

Soal teks LHO kelas VIII Klik link bawah ini untuk mengerjakan soal. https://forms.gle/8ZCj6n3udrjJqv8A8