MEMBANDINGKAN
DUA BUAH CERITA LONA KAKA DAN LONA LARA
(SUMBA, NTT) DENGAN ANDE-ANDE LUMUT
(JAWA TIMUR) BERDASARKAN UNSUR INSTRINSIK, NILAI MORAL, NILAI BUDAYA DAN JUGA
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
Pendahuluan
Cerita rakyat merupakan sebagian
kekayaan buaya dan sejarah yang dimiliki Bangsa Indonesia. Pada umumnya, cerita
rakyat mengisahkan tentang suatu kejadian di suatu tempat atau asal muasal
suatu tempat. Cerita rakyat bisa berupa dongeng, legenda, mitos dll.
Tokoh-tokoh dalam cerita rakyat umumnya diwujudkan dalam bentuk binatang,
manusia maupun dewa. Fungsi cerita rakyat sendiri selain sebagai hiburan juga
bisa dijadikan suri tauladan terutama cerita rakyat yang mengandung pesan-pesan
pendidikan moral.
Banyak
yang tidak menyadari bahwa negeri kita tercinta ini mepunyai banyak cerita
rakyat yang belum kita ketahui, sebut saja cerita rakyat dari Sumba NTT yang
berjudul Lona Kaka dan Lona Lara dimana didalam cerita tersebut banyak
mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi pembelajaran bagi kita.
Di jawa timur, tepat di Kediri ada
sebuah cerita rakyat yang sangat familiar bagi masyarakat, cerita tersebut
berjudul Ande-ande Lumut. Cerita tersebut memang muncul dalam berbagai versi
namun apapun bentuk dan jalan ceritanya kita wajib melestarikan warisan dari
nenek moyang kita.
Dalam makalah ini, kita akan
membandingkan kedua cerita tersebut berdasarkan unsur instrinsik, nilai moral,
unsur budaya dan juga nilai-nilai lain yang mungkin dapat kita ambil hikmahnya.
Latarbelakang masalah
- Adanya
persamaan jalan cerita pada Lona Kaka dan Lara dengan Ande-ande Lumut?
- Membandingkan kedua cerita tersebut berdasarkan nilai moral, unsur budaya dan nilai-nilai lain yang mungkin terkandung dalam cerita tersebut?
Tujuan
- Diharapkan
bisa menjadi sarana untuk lebih mengenal cerita rakyat dari daerah lain
- Diharapkan
bisa menjadi media pembelajaran dalam memahami praktik Sastra Bandingan
- Diharapkan
sebagai sarana dalam memahami nilai-nilai yang ada dalam kedua cerita
Cerita Rakyat
A. Cerita rakyat Sumba – NTT (Nusa Tenggara Timur)
Lona Kaka dan Lona Rara
Alkisah, di Desa Bukambero, Kodi,
Sumba Barat, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anak gadisnya.
Yang sulung bernama Lona Kaka, sedangkan si bungsu bernama Lona Rara. Kedua
kakak-beradik tersebut senantiasa mendapat perlakuan yang sama dari orang tua
mereka. Namun, Lona Kaka selalu iri hati jika Lona Rara meraih sebuah
keberhasilan. Ia pun selalu berusaha untuk mencelakai adiknya itu jika
memperoleh keberhasilan.
Pada suatu hari, ketika Lona Rara mendapat hadiah dendeng
istimewa dari orang tua mereka karena berhasil memenangkan lomba menumbuk padi,
Lona Kaka bermaksud untuk merampas dendeng itu dari tangan adiknya. Untuk itu,
ia membujuk adiknya agar mau menemaninya mengambil air di sungai. Ia pun
menyuruh adiknya untuk berjalan di depannya. Dengan begitu, ia akan lebih mudah
mengambil dendeng itu tanpa sepengetahuan adiknya.
“Adikku!
Maukah kamu menemani Kakak mengambil air di sungai?” bujuk Lona Kaka.
“Baiklah,
Kak!” jawab Lona Rara menuruti bujukan kakaknya.
Keduanya pun berjalan menuju ke sungai sambil memikul dua
buah wadah air yang terbuat dari bambu. Lona Rara berjalan di depan, sedangkan
Lona Kakak mengikutinya dari belakang. Tanpa curiga sedikit pun, Lona Rara
menyimpan dendengnya di wadah airnya yang belakang. Beberapa kali Lona Kaka
berusaha untuk mengambil dendeng itu, namun tidak berhasil karena selalu
ketahuan Lona Rara. Meski begitu, Lona Kaka tidak kehabisan akal. Setibanya di
sungai, ia segera turun ke sungai mendahului adiknya untuk mengambil air.
Setelah mengisi wadah airnya hingga penuh, ia kembali naik ke darat dan
menyandarkan wadah airnya pada sebuah batang pohon.
“Adikku,
Kakak sudah selesai. Kini giliranmu untuk mengisi wadah airmu. Sini Kakak bantu
membawakan dendengmu agar kamu dapat mengambil air dengan leluasa!” ujar Lona
Kaka.
Lona
Rara pun menyambut baik tawaran kakaknya. Setelah menitipkan dendeng miliknya
kepada Lona Kaka, ia segera turun ke sungai untuk mengambil air. Namun, baru
mengisi setengah wadah airnya, tiba-tiba ia mendengar kakaknya berteriak.
“Rara...! Rara..! Dendengmu dicuri dan dibawa lari anjing!” teriak Lona Kaka seraya mengejar anjing itu.
Rupanya,
Lona Kaka sengaja memberikan dendeng milik adiknya ke anjing itu, lalu
berpura-pura mengejarnya. Lona Rara yang mendengar teriakan kakaknya segera
naik ke darat dan membiarkan tempat airnya tergeletak di pinggir sungai.
Melihat kakaknya mengejar anjing itu, ia pun turut mengejar hingga ke tengah hutan.
Tanpa disadarinya, ternyata kakaknya telah pergi meninggalkannya. Sementara ia
terus menyusuri hutan lebat itu hingga hari menjelang malam, namun ia tidak
menemukan anjing yang membawa dendengnya. Saat akan kembali ke rumahnya, ia
tersesat. Ia berjalan menyusuri hutan itu mengikuti ke mana arah kakinya
melangkah hingga akhirnya menemukan sebuah sungai dan memutuskan untuk
beristirahat. Ia duduk di atas sebuah batu besar di tepi sungai sambil
bernyanyi mengungkapkan kekesalannya terhadap tindakan kakaknya.
Ou kagu pama nowo ragu
Pai balimu lolokingga neghe
Mu gaiga zauwa kako kania
Ou Gela wuamaroto padua pogawa atenggu
Gaika ku bali wainya
Pai balimu lolokingga neghe
Mu gaiga zauwa kako kania
Ou Gela wuamaroto padua pogawa atenggu
Gaika ku bali wainya
Ou kakakku yang kucinta
Mengapa kau membuat aku begini
Membiarkan aku jalan sendiri
Ou Gela Wuamaroto berilah aku kedamaian
Tuntunlah aku kembali ke rumah
Usai bernyanyi, Lona Rara membuka pakaiannya yang sudah
kotor lalu mencucinya dan mandi. Saat sedang asyik mandi, tiba-tiba ia melihat
sebatang pohon jeruk yang berbuah lebat tumbuh di tepi sungai. Setelah melihat
di sekelilingnya dan tidak melihat adanya orang lain di sekitar itu, ia segera
memetik satu buah jeruk untuk dijadikan pewangi tubuh. Betapa terkejutnya ia
ketika membelah buah jeruk itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan dan
gagah di hadapannya. Ia pun langsung menjerit karena ia masih dalam keadaan
tanpa busana. Ia sangat malu, karena pemuda itu telah melihat bagian tubuhnya
yang selama ini ditutupinya.
Menyadari hal itu, dengan kesaktiannya, pemuda tampan itu
segera memberikan sebuah kain tenun Sumba yang indah kepada Lona Rara. Lona
Rara pun segera memakai kain tenun itu untuk menutupi tubuhnya.
“Hai,
pemuda tampan! Kenapa engkau tiba-tiba muncul dari dalam buah jeruk itu?” tanya
Lona Rara dengan malu-malu.
“Maaf,
Putri! Bukankah Putri sendiri yang meminta bantuan kepadaku?” jawab pemuda itu
sambil menunduk untuk memberi hormat di hadapan Lona Rara.
“Siapa
sebenarnya engkau ini?” Lona Rara kembali bertanya.
“Saya
adalah Gela Wuamaroto seperti yang Putri dendangkan dalam lagu itu. Saya datang
untuk mengantar Putri pulang ke rumah dan memberikan ketenteraman kepada
Putri,” ujar pemuda tampan yang mengaku bernama Gela Wuamaroto.
Hati Lona Rara menjadi senang bercampur heran, karena tidak
menyangka nyanyiannya telah menjadi kenyataan. Hari pun sudah mulai gelap. Gela
Wuamaroto mengajak Lona Rara mencari tempat beristirahat. Setelah menemukan
sebuah gua yang cukup luas, Gela Wuamaroto segera membuat api unggun dan
menangkap seekor ayam hutan untuk makan malam. Usai makan, mereka pun langsung tertidur
pulas. Keesokan harinya, Lona Rara sangat terkejut, karena didekatnya telah
tersedia ayam panggang.
“Hai,
kenapa masih ada ayam panggang di sini? Bukankah ayam panggang yang tadi malam
sudah habis?” gumam Lona Rara.
Melihat
Lona Rara terbangun, Gela Wuamaroto yang sedang berdiri di depan pintu gua
segera menghampirinya.
“Maaf
Putri! Saya yang menyediakan ayam panggang itu untuk sarapan kita berdua,” ujar
Gela Wuamaroto sambil tersenyum.
Lona Rara dan Gela Wuamaroto pun segera menyantap ayam panggang
itu. Setelah itu, mereka saling berkenalan, saling jatuh cinta, dan akhirnya
mereka pun menikah. Karena asyik dimabuk cinta, Lona Rara menjadi lupa untuk
kembali ke rumahnya. Demikian pula, Gela Wuamaroto, ia lupa untuk mengantar
pulang Lona Rara. Sepasang pengantin baru itu keasyikan menikmati hari-hari
yang indah bersama di tengah hutan tersebut, sehingga tak terasa sudah satu
bulan mereka hidup bersama.
Suatu
hari, Lona Rara tiba-tiba teringat kepada keluarganya. Ada kerinduan di hatinya
ingin segera pulang dan bertemu dengan mereka.
“Kanda!
Kapan Kanda akan mengantar Dinda menemui keluarga Dinda?” tanya Lona Rara.
“Besok,
Dinda,” jawab Gela Wuamaroto.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lona Rara dan suaminya
bersiap-siap pulang ke rumahnya. Sebelum berangkat, Gela Wuamaroto memberikan
pakaian tenun Sumba yang sangat indah kepada Lona Rara untuk dihadiahkan kepada
keluarganya. Setelah menempuh perjalanan selama setengah hari, sampailah mereka
di Desa Bukambaro. Saat Lona Rara memasuki desa, seluruh warga terheran-heran
melihat kedatangannya. Apalagi ia datang bersama dengan seorang pemuda yang
gagah dan tampan. Sambil tersenyum-senyum, Lona Rara berjalan di samping
suaminya menuju ke rumahnya. Saat tiba di halaman rumah, ia melihat rumahnya
tampak sepi dan pintu rumahnya tertutup rapat.
“Ayah...Ibu...!
Rara pulang!” teriak Lona Rara dengan perasaan gembira.
Berkali-kali Lona Rara berteriak, namun tak ada jawaban.
Beberapa saat kemudian, barulah pintu rumahnya terbuka pelan-pelan. Saat pintu
terbuka, tampaklah kakaknya, Lona Kaka, sedang membuka pintu dan berdiri di
depan pintu dengan wajah memerah. Ia seakan tidak percaya bahwa adiknya masih
hidup. Ia pun langsung memeluk Lona Rara.
“Maafkan
aku, Adikku! Kakak telah meninggalkanmu seorang diri di tengah hutan,” ucap
Lona Kaka.
“Sudahlah,
Kak! Yang penting Adik selamat dan bisa kembali berkumpul bersama kalian,”
bujuk Lona Rara.
“O
iya, Kak! Ayah, Ibu ke mana? Kenapa mereka tidak kelihatan?” tanya Lona Rara
heran.
Mendengar pertanyaan itu, Lona Kaka kembali memeluk adiknya
dengan erat sambil meneteskan air mata.
“Adikku!
Ayah dan Ibu sudah tiada. Mereka telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya,”
jawab Lona Kaka dengan sedih.
“Apa
yang terjadi dengan Ayah dan Ibu, Kak?” desak Lona Rara.
Lona
Kaka pun menceritakan musibah yang telah menimpa kedua orang tua mereka.
“Sebulan
yang lalu, Ayah dan Ibu mendapat celaka saat mencari Adik di tengah hutan.
Seorang warga menemukan mereka di tengah hutan dalam keadaan terluka parah dan
tidak bernyawa lagi akibat digigit binatang buas,” jelas Lona Kaka.
Mendengar keterangan itu, Lona Rara pun tidak sanggup
menahan air mata. Ia menangis tersedu-sedu meratapi kepergian Ayah dan Ibu yang
sangat dicintainya. Sejenak, suasana di depan rumah yang sederhana itu pun
tiba-tiba menjadi hening. Beberapa saat kemudian, Lona Rara meminta kepada
kakaknya agar mengantarnya ke tempat pemakaman kedua orang tua mereka.
Sesampainya di depan kuburan kedua orang yang dicintainya itu, Lona Rara
kembali menangis tersedu-sedu menyesali semua peristiwa yang telah terjadi.
“Sudahlah,
Dinda! Semuanya sudah diatur oleh Yang Mahakuasa. Ayo kita kembali ke rumah!”
bujuk Gela Wuamaroto.
Lona Rara bersama suami dan kakaknya pun kembali ke rumah.
Beberapa hari kemudian, setelah kesedihannya hilang, Lona Rara menceritakan
semua peristiwa yang dialaminya ketika tersesat di hutan kepada kakaknya.
Mendengar cerita itu, timbullah keinginan Lona Kaka untuk pergi ke tempat di
mana adiknya bertemu dengan Gela Wuamarota, dengan harapan dirinya pun akan
bernasib sama seperti adiknya.
Keesokan harinya, secara diam-diam, Lona Kaka pergi
sendirian ke tempat itu. Sebelum mandi, ia memetik satu buah jeruk yang sudah
menguning. Begitu ia membelah jeruk itu, bukannya pemuda tampan yang muncul,
melainkan seorang lelaki tua berjenggot putih. Ia pun langsung menjerit
ketakutan dan berlari meninggalkan tempat itu. Dalam hatinya tersimpan rasa
penyesalan yang begitu mendalam karena tidak memetik buah jeruk yang masih
muda.
Sesampainya di rumah, Lona Kaka langsung duduk termenung di
samping rumahnya. Dalam ketermenungannya, tiba-tiba muncul dalam pikirannya
ingin merebut suami adiknya. Ia tinggal menunggu waktu yang paling tepat untuk
menjalankan niat busuknya itu.
Pada suatu malam, Gela Wuamaroto meminta izin kepada Lona
Rara untuk pergi berdagang bersama beberapa warga desa lainnya ke negeri
seberang.
“Dinda!
Kanda ingin berdagang ke negeri seberang. Barangkali Kanda harus pergi dalam
waktu yang cukup lama. Apakah Dinda bersedia mengizinkan Kanda?” bujuk Gela
Wuamaroto.
“Baiklah,
Kanda! Dinda mengizinkan. Tapi jangan lupa mampir ke rumah paman untuk
memberinya oleh-oleh ketika kembali nanti,” ujar Lona Rara tersenyum.
“Baiklah,
Dinda!” jawab Gela Wuamaroto sambil menatap wajah istrinya dengan penuh cinta.
Keesokan harinya, berangkatlah Gela Wuamaroto ke negeri
seberang bersama beberapa warga desa lainnya. Seminggu setelah kepergian Gela
Wuamaroto, Lona Kaka pun mulai menyusun siasat untuk menghilangkan nyawa Lona
Rara agar dapat merebut suaminya.
Pada suatu hari, ia mengajak adiknya itu mencari kayu bakar
di hutan. Setelah berjalan cukup jauh ke tengah hutan, sampailah mereka pada
sebuah jurang yang cukup dalam.
“Adikku!
Kita beristirahat di sini dulu. Kakak capek berjalan jauh,” ujar Lona Kaka.
Lona Kaka dan adiknya pun beristirahat tidak di dekat jurang
itu. Setelah rasa lelah mereka hilang, Lona Kaka memanjat sebuah pohon yang
rantingnya telah kering di tepi jurang yang terjal. Saat berada di atas pohon,
ia meminta kepada adiknya untuk membawakannya parang yang sengaja ditinggalkan
di dekat adiknya.
“Aduh,
Adikku! Kakak lupa membawa parang. Tolong ambilkan parang yang ada di dekatmu
itu!” seru Lana Kaka dari atas pohon.
Tanpa curiga sedikit pun, Lona Rara ikut memanjat pohon
untuk memberikan parang itu kepada kakaknya. Sesampainya di atas pohon, ia
menyerahkan parang itu kepada kakaknya dengan tangan kirinya, sementara tangan
kanannya berpegangan pada sebuah ranting yang kering. Begitu mengambil parang
itu dari tangan kiri adiknya, pada saat yang bersamaan, Lona Kaka juga
menginjak ranting tempat Lona Rara berpegangan hingga patah. Tak ayal lagi,
Lona Rara pun terjatuh dari atas pohon dan terguling-guling hingga ke dasar
jurang.
Melihat
kejadian itu, Lona Kaka bukannya menolong adiknya, melainkan tersenyum sinis.
“Rasakanlah
itu, Rara! Gela Wuamaroto akan menjadi milikku!” seru Lona Kaka.
Dengan perasaan puas dan gembira, Lona Kaka turun dari pohon
itu dan kemudian pulang ke rumahnya. Sesampainya di desa, ia berpura-pura sedih
meratapi nasib adiknya. Seluruh warga pun turut berduka cita mendengar berita
duka tersebut. Namun, Lona Kaka tidak mengira jika ternyata adiknya masih
hidup. Rupanya, ketika Lona Rara terjatuh ke jurang itu, tubuhnya tersangkut
pada tanaman yang menjalar di tebing. Berkat usahanya memanjat tebing yang
curam itu, ia berhasil sampai ke puncak tebing dan selamat.
Sesampainya
di atas, Lona Rara pun berteriak-teriak memanggil kakaknya.
“Kakak!
Kamu di mana?” teriaknya.
Beberapa kali Lona Rara berteriak, namun tidak mendapat jawaban
dari kakaknya. Ia pun menyadari bahwa ternyata kakaknya telah berniat jahat
kepadanya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk langsung ke rumah pamannya.
Setelah dua hari menempuh perjalanan, sampailah ia di rumah pamannya. Ia pun
menceritakan semua peristiwa yang dialaminya dan rencana jahat sang Kakak
kepada pamannya.
Beberapa hari kemudian, Gela Wuamaroto pun kembali dari
rantauannya untuk membawakan oleh-oleh kepada pamannya.
Betapa
terkejutnya ia ketika melihat istrinya berada di tempat itu.
“Hai,
Dinda! Kenapa Dinda ada di sini?” tanya Gela Wuamaroto dengan heran.
Melihat suaminya datang, Lona Rara pun langsung memeluknya
dengan erat. Kemudian ia menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya
hingga ia bisa berada di rumah pamannya. Mendengar cerita istrinya, Gela
Wuamaroto pun bercerita bahwa selama ini Lona Kaka selalu merayunya.
“Ketahuilah,
Dinda! Andai kata iman Kanda lemah, tentu Kanda telah jatuh dipelukan kakak
Dinda. Selama ini dia sering merayu Kanda saat Dinda tidak berada di rumah.
Itulah sebabnya, Kanda memutuskan untuk pergi merantau agar Kanda terhindar
dari rayuan manisnya,” ungkap Gela Wuamaroto.
Mendengar
pengakuan suaminya, Lona Rara pun naik pitam. Ia sangat marah terhadap sikap
dan perbuatan kakaknya.
“Huh,
Dinda harus membalas perbuatan Kak Lona Kaka!” seru Lona Rara dengan geramnya.
Gela Wuamaroto pun sejenak. Ia mencoba untuk memahami
perasaan istrinya. Setelah itu, ia mencoba untuk membujuknya agar mengurungkan
niatnya membalas dendam.
“Maaf,
Dinda! Kanda tidak bisa berkata apa-apa. Lona Kaka adalah kakak Dinda
satu-satunya. Perbuatannya memang jahat, tapi apakah kita juga harus meniru
perbuatan jahatnya itu?” bujuk Gela Wuamaroto.
“Tidak,
Kanda! Sejak dulu Kak Lona Kaka selalu iri dan dengki terhadap Dinda. Dia sudah
berkali-kali berusaha ingin mencelakai Dinda. Jika hal ini dibiarkan terus,
suatu saat dia akan membunuh Dinda,” ujar Lona Rara.
Mendengar keteguhan tekad istrinya, Gela Wuamaroto pun tak
sanggup berbuat apa-apa. Akhirnya, pada malam harinya, Lona Rara dan suaminya
segera menyusun siasat untuk membalaskan dendamnya kepada Lona Kaka. Mereka
memesan dua buah peti yang berukir sangat indah. Peti yang satu akan mereka isi
dengan perhiasan emas dan berlian, sedangkan untuk peti yang satunya Lona Rara
akan masuk ke dalamnya sambil membawa sebuah pisau yang runcing dan tajam.
Keesokan harinya, berangkatlah Gela Wuamaroto ke kampung
untuk menemui Lona Kaka. Ia berangkat dengan menunggang kuda dan membawa serta
seekor kuda beban yang mengangkut kedua peti yang berisi perhiasan dan berisi
Lona Rara tersebut. Sesampainya di kampung halaman istrinya, Gela Wuamaroto
segera menuju ke rumah istrinya. Lona Kaka yang sedang asyik menenun segera
bangkit untuk menyambut kedatangan Gela Wuamaroto.
“Maafkan
aku, Gela Wuamaroto! Aku tidak dapat menjaga Adik Lona Rara,” kata Lona Kakak
sambil berpura-pura menangis.
“Apa
yang terjadi dengannya, Kakak Ipar?” Gela Wuamaroto pun berpura-pura bertanya.
“Lona
Rara meninggal dunia, karena dimakan buaya saat kami sedang mandi di sungai,”
jawab Lona Kaka dengan muka sedih.
Mendengar keterangan itu, Gela Wuamaroto berpura-pura
terkejut dan terlihat murung. Ia kemudian turun dari kudanya dan menambatkan
kedua kudanya pada batang pohon di depan rumah. Ketika ia menurunkan kedua peti
itu dari kudanya, Lona Kaka menghampirinya.
“Apa
isi peti itu, Gela?” tanya Lona Kaka ingin tahu.
Dengan wajah murung, Gela Wuamaroto menyuruh Lona Kaka untuk
membuka salah satu dari kedua peti itu. Ketika Lona Kaka membuka peti itu,
matanya langsung terbelalat melihat isi peti yang terdiri dari berbagai macam
perhiasan emas dan berlian. Setelah Lona Kaka melihat isi peti itu, Gela
Wuamaroto menyuruhnya untuk membuka peti yang satunya.
“Kakak
Ipar! Buka dan ambillah semua isi peti yang satu itu! Aku hadiahkan untukmu,”
ujar Gela Wuamaroto.
Dengan perasaan senang dan gembira, Lona Kaka pun segera
membuka peti yang masih tertutup rapat itu. Begitu peti itu terbuka, tiba-tiba
Lona Rara meloncat keluar dan menikamkan pisaunya berkali-kali ke arah dada
kakaknya.
“Terimalah
pembalasanku ini, Kak!” teriak Lona Rara.
Tak
ayal lagi, Lona Kaka pun tewas seketika dengan bersimbah darah. Melihat
kakaknya terkapar di tanah dalam keadaan tidak bernyawa, Lona Rara pun
berteriak histeris. Ia sangat menyesal atas apa yang baru saja dilakukannya.
Namun, apalah guna menyesal kemudian. Nasi sudah menjadi bubur. Nyawa
kakaknya tidak dapat ditolong lagi.
B. Cerita Rakyat dari Kediri- Jawa Timur
Ande-ande Lumut
Dahulu kala, ada dua buah kerajaan, Kediri dan Jenggala.
Kedua kerajaan itu berasal dari sebuah kerajaan yang bernama Kahuripan. Raja
Erlangga membagi kerajaan itu menjadi dua untuk menghindari perang saudara.
Namun sebelum meninggal raja Erlangga berpesan bahwa kedua kerajaan itu harus
disatukan kembali.
Maka kedua raja pun bersepakat menyatukan kembali kedua
kerajaan dengan menikahkan putera mahkota Jenggala, Raden Panji Asmarabangun
dengan puteri Kediri, Dewi Sekartaji.
Ibu tiri Sekartaji, selir raja Kediri, tidak menghendaki
Sekartaji menikah dengan Raden Panji karena ia menginginkan puteri kandungnya
sendiri yang nantinya menjadi ratu Jenggala. Maka ia menyekap dan
menyembunyikan Sekartaji dan ibunya.
Pada saat Raden Panji datang ke Kediri untuk menikah dengan
Sekartaji, puteri itu sudah menghilang. Raden Panji sangat kecewa. Ibu tiri
Sekartaji membujuknya untuk tetap melangsungkan pernikahan dengan puterinya
sebagai pengganti Sekartaji, namun Raden Panji menolak.
Raden Panji kemudian berkelana. Ia mengganti namanya menjadi
Ande-Ande Lumut. Pada suatu hari ia tiba di desa Dadapan. Ia bertemu dengan
seorang janda yang biasa dipanggil Mbok Randa Dadapan. Mbok Randa mengangkatnya
sebagai anak dan sejak itu ia tinggal di rumah Mbok Randa.
Ande-Ande Lumut kemudian minta ibu angkatnya untuk
mengumumkan bahwa ia mencari calon isteri. Maka berdatanganlah gadis-gadis dari
desa-desa di sekitar Dadapan untuk melamar Ande-Ande Lumut. Tak seorangpun ia
terima sebagai isterinya.
Sementara itu, Sekartaji berhasil membebaskan diri dari
sekapan ibu tirinya. Ia berniat untuk menemukan Raden Panji. Ia berkelana
hingga tiba di rumah seorang janda yang mempunyai tiga anak gadis, Klething
Abang, Klething Ijo dan si bungsu Klething Biru. Ibu janda menerimanya sebagai
anak dan diberi nama Klething Kuning.
Klething Kuning disuruh menyelesaikan pekerjaan sehari-hari
dari membersihkan rumah, mencuci pakaian dan peralatan dapur. Pada suatu hari
karena kelelahan Klething Kuning menangis. Tiba-tiba datang seekor bangau
besar. Klething Kuning hampir lari ketakutan. Namun bangau itu berkata, “Jangan
takut, aku datang untuk membantumu.”
Bangau itu kemudian mengibaskan sayapnya dan pakaian yang
harus dicuci Klething Kuning berubah menjadi bersih. Peralatan dapur juga
dibersihkannya. Setelah itu bangau terbang kembali.
Bangau itu kembali setiap hari untuk membantu Klething
Kuning. Pada suatu hari bangau menceritakan tentang Ande-Ande Lumut kepada
Klething Kuning dan menyuruhnya pergi melamar.
Klething Kuning minta ijin kepada ibu angkatnya untuk pergi
ke Dadapan. Ibunya mengijinkan ia pergi bila pekerjaannya sudah selesai. Ia pun
sengaja menyuruh Klething Kuning mencuci sebanyak mungkin pakaian agar ia tidak
dapat pergi.
Sementara itu ibu janda mengajak ketiga anak gadisnya ke
Dadapan untuk melamar Ande-Ande Lumut. Di perjalanan mereka tiba di sebuah
sungai yang sangat lebar. Tidak ada jembatan atau perahu yang melintas. Mereka
kebingungan. Lalu mereka melihat seekor kepiting raksasa menghampiri mereka.
“Namaku
Yuyu Kangkang. Kalian mau kuseberangkan?”
Mereka
tentu saja mau.
“Tentu
saja kalian harus memberiku imbalan.”
“Kau
mau uang? Berapa?” tanya ibu janda.
“Aku
tak mau uangmu. Anak gadismu cantik-cantik. Aku mau mereka menciumku.’
Mereka terperanjat mendengar jawaban Yuyu Kangkang. Namun
mereka tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya mereka setuju. Kepiting raksasa
itu menyeberangkan mereka satu persatu dan mereka pun memberikan ciuman sebagai
imbalan.
Sesampainya
di rumah mbok Randa, mereka minta bertemu dengan Ande-Ande Lumut.
Mbok Randa mengetuk kamar Ande-Ande Lumut, katanya,
“Puteraku, lihatlah, gadis-gadis cantik ini ingin melamarmu. Pilihlah satu
sebagai isterimu.”
“Ibu,”
sahut Ande-Ande Lumut, “Katakan kepada mereka, aku tidak mau mengambil kekasih
Yuyu Kangkang sebagai isteriku.”
Ibu Janda dan ketiga anak gadisnya terkejut mendengar
jawaban Ande-Ande Lumut. Bagaimana pemuda itu tahu bahwa mereka tadi bertemu
dengan kepiting raksasa itu? Dengan kecewa mereka pun pulang.
Di rumah, Klething Kuning sudah menyelesaikan semua tugasnya
berkat bantuan bangau ajaib. Bangau itu memberinya sebatang lidi.
Ketika ibu angkatnya kembali Klething Kuning sekali lagi
meminta ijin untuk pergi menemui Ande-Ande Lumut. Ibu angkatnya terpaksa
mengijinkan, namun ia sengaja mengoleskan kotoran ayam ke punggung Klething
Kuning.
Klething Kuning pun berangkat. Tibalah ia di sungai besar.
Kepiting raksasa itu mendatanginya untuk menawarkan jasa membawanya ke seberang
sungai.
“Gadis
cantik, kau mau ke seberang? Mari kuantarkan,” kata Yuyu Kangkang
“Tidak
usah, terima kasih” kata Klething Kuning sambil berjalan menjauh.
“Ayolah,
kau tak perlu membayar,” Yuyu Kangkang mengejarnya.”Cukup sebuah ci... Aduh!”
Klething Kuning mencambuk Yuyu Kangkang dengan lidi
pemberian bangau. Kepiting raksasa itu pun lari ketakutan.
Klething Kuning kemudian mendekati tepi air sungai dan
menyabetkan lidinya sekali lagi. Air sungai terbelah, dan ia pun bisa berjalan
di dasar sungai sampai ke seberang.
Klething Kuning akhirnya tiba di rumah Mbok Randa. Mbok
Randa menerimanya sambil mengernyitkan hidung karena baju Klething Kuning bau
kotoran ayam. Ia pun menyilakan gadis itu masuk lalu ia pergi ke kamar
Ande-Ande Lumut.
“Ande
anakku, ada seorang gadis cantik, tetapi kau tak perlu menemuinya. Bajunya bau
sekali, seperti bau kotoran ayam. Biar kusuruh ia pulang saja.”
“Aku
akan menemuinya, Ibu,” kata Ande-Ande Lumut.
“Tetapi...
ia...,” sahut Mbok Randa.
“Ia
satu-satunya gadis yang menyeberang tanpa bantuan Yuyu Kangkang, ibu. Ialah
gadis yang aku tunggu-tunggu selama ini.”
Mbok
Randa pun terdiam. Ia mengikuti Ande-Ande Lumut menemui gadis itu.
Klething
Kuning terkejut sekali melihat Ande-Ande Lumut adalah tunangannya, Raden Panji
Asmarabangun.
“Sekartaji,
akhirnya kita bertemu lagi,” kata Raden Panji.
Raden Panji kemudian membawa Dewi Sekartaji dan Mbok Randa Dadapan
ke Jenggala. Raden Panji dan Dewi Sekartaji pun menikah. Kerajaan Kediri dan
Jenggala pun dipersatukan kembali.
Pembahasan
1. Unsur Instrinsik
A.
Unsur Instrinsik Cerita Lona Kaka dan Lona Lara
- Tema : Persaudaraan
dan Percintaan
- Tokoh
dan watak
1. Lona
Kaka
Sifat : Jahat, iri hati, licik dan memntingkan
diri sendiri
Cuplikan : Namun, Lona Kaka selalu iri hati jika Lona Rara meraih sebuah keberhasilan. Ia pun selalu berusaha untuk mencelakai adiknya itu jika memperoleh keberhasilan.
Cuplikan : Namun, Lona Kaka selalu iri hati jika Lona Rara meraih sebuah keberhasilan. Ia pun selalu berusaha untuk mencelakai adiknya itu jika memperoleh keberhasilan.
“Rara...! Rara..! Dendengmu dicuri
dan dibawa lari anjing!” teriak Lona Kaka seraya mengejar anjing itu. Rupanya,
Lona Kaka sengaja memberikan dendeng milik adiknya ke anjing itu, lalu
berpura-pura mengejarnya.
Sesampainya
di rumah, Lona Kaka langsung duduk termenung di samping rumahnya. Dalam
ketermenungannya, tiba-tiba muncul dalam pikirannya ingin merebut suami
adiknya. Ia tinggal menunggu waktu yang paling tepat untuk menjalankan niat
busuknya itu.
2. Lona
Lara
Sifat :Baik, suka menolong dan pendendam
Cuplikan : “Adikku! Maukah kamu menemani Kakak mengambil air di sungai?” bujuk Lona Kaka.
Cuplikan : “Adikku! Maukah kamu menemani Kakak mengambil air di sungai?” bujuk Lona Kaka.
“Baiklah, Kak!” jawab Lona Rara menuruti bujukan kakaknya.
“Baiklah,
Kanda! Dinda mengizinkan. Tapi jangan lupa mampir ke rumah paman untuk
memberinya oleh-oleh ketika kembali nanti,” ujar Lona Rara tersenyum.
Mendengar
keteguhan tekad istrinya, Gela Wuamaroto pun tak sanggup berbuat apa-apa.
Akhirnya, pada malam harinya, Lona Rara dan suaminya segera menyusun siasat
untuk membalaskan dendamnya kepada Lona Kaka
3. Gala
Wuamaroto
Sifat : Baik, ramah dan sangat setia
dengan istirnya
Cuplikan : Menyadari hal itu, dengan kesaktiannya, pemuda tampan itu segera memberikan sebuah kain tenun Sumba yang indah kepada Lona Rara. Lona Rara pun segera memakai kain tenun itu untuk menutupi tubuhnya.
Cuplikan : Menyadari hal itu, dengan kesaktiannya, pemuda tampan itu segera memberikan sebuah kain tenun Sumba yang indah kepada Lona Rara. Lona Rara pun segera memakai kain tenun itu untuk menutupi tubuhnya.
“Ketahuilah,
Dinda! Andai kata iman Kanda lemah, tentu Kanda telah jatuh dipelukan kakak
Dinda. Selama ini dia sering merayu Kanda saat Dinda tidak berada di rumah
- Latar/setting
Tempat : Sungai
Cuplikan : Setibanya di sungai, ia segera turun ke sungai mendahului adiknya untuk mengambil air. Setelah mengisi wadah airnya hingga penuh, ia kembali naik ke darat dan menyandarkan wadah airnya pada sebuah batang pohon.
Cuplikan : Setibanya di sungai, ia segera turun ke sungai mendahului adiknya untuk mengambil air. Setelah mengisi wadah airnya hingga penuh, ia kembali naik ke darat dan menyandarkan wadah airnya pada sebuah batang pohon.
Tempat : Hutan
Cuplikan : Melihat kakaknya mengejar anjing itu, ia pun turut mengejar hingga ke tengah hutan. Tanpa disadarinya, ternyata kakaknya telah pergi meninggalkannya. Sementara ia terus menyusuri hutan lebat itu hingga hari menjelang malam
Cuplikan : Melihat kakaknya mengejar anjing itu, ia pun turut mengejar hingga ke tengah hutan. Tanpa disadarinya, ternyata kakaknya telah pergi meninggalkannya. Sementara ia terus menyusuri hutan lebat itu hingga hari menjelang malam
Tempat : Rumah Kaka dan Lona
Cuplikan : Sambil tersenyum-senyum, Lona Rara berjalan di samping suaminya menuju ke rumahnya. Saat tiba di halaman rumah, ia melihat rumahnya tampak sepi dan pintu rumahnya tertutup rapat.
Cuplikan : Sambil tersenyum-senyum, Lona Rara berjalan di samping suaminya menuju ke rumahnya. Saat tiba di halaman rumah, ia melihat rumahnya tampak sepi dan pintu rumahnya tertutup rapat.
Tempat : Desa Bukambaro
Cuplikan : Setelah menempuh perjalanan selama setengah hari, sampailah mereka di Desa Bukambaro. Saat Lona Rara memasuki desa, seluruh warga terheran-heran melihat kedatangannya
Cuplikan : Setelah menempuh perjalanan selama setengah hari, sampailah mereka di Desa Bukambaro. Saat Lona Rara memasuki desa, seluruh warga terheran-heran melihat kedatangannya
Tempat : Gua
Cuplikan : Setelah menemukan sebuah gua yang cukup luas, Gela Wuamaroto segera membuat api unggun dan menangkap seekor ayam hutan untuk makan malam.
Cuplikan : Setelah menemukan sebuah gua yang cukup luas, Gela Wuamaroto segera membuat api unggun dan menangkap seekor ayam hutan untuk makan malam.
Tempat : Rumah Paman
Cuplikan : Setelah dua hari menempuh perjalanan, sampailah ia di rumah pamannya. Ia pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya dan rencana jahat sang Kakak kepada pamannya.
Cuplikan : Setelah dua hari menempuh perjalanan, sampailah ia di rumah pamannya. Ia pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya dan rencana jahat sang Kakak kepada pamannya.
- Amanat
1.
Jangan merasa iri hati dengan apa yang dimiliki orang lain
2. Kesabaran akan selalu membuahkan hasil yang baik
3. Segala sesuatu yang disari niat yang baik pastilah akan berbuah baik bigitu pula sebaliknya.
2. Kesabaran akan selalu membuahkan hasil yang baik
3. Segala sesuatu yang disari niat yang baik pastilah akan berbuah baik bigitu pula sebaliknya.
B.
Unsur Instrinsik cerita rakyat Ande-ande Lumut
·
Tema :
Persaudaraan dan Percintaan
·
Tokoh dan watak
1. Panji
Asmarabangun (Ande-ande Lumut)
Sifat :
Baik hati, setia dan sabar
Cuplikan :Ibu
tiri Sekartaji membujuknya untuk tetap
melangsungkan
pernikahan dengan puterinya sebagai pengganti Sekartaji, namun Raden Panji
menolak.
“Ibu,”
sahut Ande-Ande Lumut, “Katakan kepada mereka,
aku tidak mau mengambil kekasih Yuyu Kangkang sebagai isteriku.”
2. Dewi
Sekartaji (Klinting Kuning)
Sifat :
Setia, tidak mudah tergoda dan sabar
Cuplikan : Sementara itu, Sekartaji berhasil
membebaskan diri dari sekapan ibu tirinya. Ia berniat untuk menemukan Raden
Panji. Ia berkelana hingga tiba di rumah seorang janda yang mempunyai tiga anak
gadis.
“Gadis cantik, kau mau ke seberang? Mari kuantarkan,” kata
Yuyu
Kangkang
“Tidak usah, terima kasih” kata Klething Kuning sambil
berjalan
menjauh.
3. Mbok
Randa Dadapan (ibu angkat Ande-ande Lumut)
Sifat :
Baik dan ramah
Cuplikan :
Ia bertemu dengan seorang janda yang biasa dipanggil Mbok
Randa Dadapan. Mbok Randa mengangkatnya sebagai anak dan sejak itu ia tinggal
di rumah Mbok Randa.
4. Mbok
Randa (Ibu Klinting)
Sifat :
Jahat dan mementingkah diri sendiri
Cuplikan :
Klething Kuning minta ijin kepada ibu angkatnya untuk pergi ke Dadapan. Ibunya
mengijinkan ia pergi bila pekerjaannya sudah selesai. Ia pun sengaja menyuruh
Klething Kuning mencuci sebanyak mungkin pakaian agar ia tidak dapat pergi.
Ketika
ibu angkatnya kembali Klething Kuning sekali lagi meminta ijin untuk pergi
menemui Ande-Ande Lumut. Ibu angkatnya terpaksa mengijinkan, namun ia sengaja
mengoleskan kotoran ayam ke punggung Klething Kuning.
5. Klinting
Abang (merah)
Sifat : Mudah tergoda dan rela
melakukan apapun demi
tujuannya tercapai
Cuplikan :
Mereka terperanjat mendengar jawaban Yuyu Kangkang. Namun
mereka tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya mereka setuju. Kepiting raksasa itu
menyeberangkan mereka satu persatu dan mereka pun memberikan ciuman sebagai
imbalan.
6. Klinting
Ijo (hijau)
Sifat : Mudah tergoda dan rela
melakukan apapun demi
tujuannya tercapai
Cuplikan : Mereka terperanjat mendengar jawaban
Yuyu Kangkang. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya mereka
setuju. Kepiting raksasa itu menyeberangkan mereka satu persatu dan mereka pun
memberikan ciuman sebagai imbalan.
7. Klinting
Biru
Sifat : Mudah tergoda dan rela
melakukan apapun demi
tujuannya tercapai
Cuplikan : Mereka terperanjat mendengar jawaban
Yuyu Kangkang. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya mereka
setuju. Kepiting raksasa itu menyeberangkan mereka satu persatu dan mereka pun
memberikan ciuman sebagai imbalan.
8. Yuyu
kangkang
Sifat :
Jahat, suka mengoda dan pamrih
Cuplikan : “Namaku Yuyu Kangkang. Kalian mau
kuseberangkan?” Mereka “tentu saja mau”. “Tentu saja kalian harus memberiku
imbalan.”
“Kau mau uang? Berapa?” tanya ibu janda.
“Aku
tak mau uangmu. Anak gadismu cantik-cantik. Aku mau mereka menciumku.’
·
Latar/ Setting
Tempat :
Rumah Mbok Randa Dadapan
Cuplikan :
Mbok Randa mengetuk kamar Ande-Ande Lumut,
katanya,
“Puteraku, lihatlah, gadis-gadis cantik ini ingin melamarmu. Pilihlah satu
sebagai isterimu.”
Tempat : Sungai
Cuplikan : Klething Kuning pun berangkat.
Tibalah ia di sungai
besar. Kepiting raksasa itu mendatanginya untuk menawarkan
jasa
membawanya ke seberang sungai.
Tempat : Rumah Mbok Randa (Ibu Klinting)
Cuplikan : Ketika ibu angkatnya kembali
Klething Kuning sekali lagi meminta ijin untuk pergi menemui Ande-Ande Lumut.
Ibu angkatnya terpaksa mengijinkan, namun ia sengaja mengoleskan kotoran ayam
ke punggung Klething Kuning.
·
Amanat
1. Janganlah merasa iri
hati dengan apa yang dimiliki orang lain
2. Selalu tulus dan
sabar dalam melakukan sesuatu
3. Menghalalkan segala
cara dalam melakukan sesuatu bukanlah perbuatan yang baik
4. Sesuatu yang
didasarkan dengan niat yang baik pasti nantikan akan berbuah baik pula pada
kita.
2.
Nilai Moral
A. Nilai Moral dalam cerita Lona
Kaka dan Lona Lara
·
Pada suatu hari, ketika Lona Rara
mendapat hadiah dendeng istimewa dari orang tua mereka karena berhasil
memenangkan lomba menumbuk padi, Lona Kaka bermaksud untuk merampas dendeng itu
dari tangan adiknya
Nilai
moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah bahwa kita harus bisa
menerima (mengakui) kemengan orang lain dan bukan merampas apa yang menjadi
haknya
- Ia duduk di atas sebuah batu
besar di tepi sungai sambil bernyanyi mengungkapkan kekesalannya terhadap
tindakan kakaknya.
Nilai
moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah ketika “ia” (Lona
Lara) kesal dia mengungkapkannya dengan bernyanyi dan bukan dengan sesuatu yang
negatif (perbuatan negatif)
- Menyadari hal itu, dengan
kesaktiannya, pemuda tampan itu segera memberikan sebuah kain tenun Sumba
yang indah kepada Lona Rara. Lona Rara pun segera memakai kain tenun itu
untuk menutupi tubuhnya.
Nilai
moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah ketika Lona Lara
tidak berpakaian seketika pemuda itu langsung menutupinya hal ini mengambarkan
bahwa pemuda tersebut selalu menjaga fikiran dan prilakunya
- Sesampainya di rumah, Lona Kaka
langsung duduk termenung di samping rumahnya. Dalam ketermenungannya,
tiba-tiba muncul dalam pikirannya ingin merebut suami adiknya. Ia tinggal
menunggu waktu yang paling tepat untuk menjalankan niat busuknya itu.
Nilai
moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah sifat suka
melamun/menyendiri bisa menimbulkan efek negatif yang akan berakibat buruk
- “Dinda! Kanda ingin berdagang
ke negeri seberang. Barangkali Kanda harus pergi dalam waktu yang cukup
lama. Apakah Dinda bersedia mengizinkan Kanda?” bujuk Gela Wuamaroto.
“Baiklah,
Kanda! Dinda mengizinkan. Tapi jangan lupa mampir ke rumah paman untuk
memberinya oleh-oleh ketika kembali nanti,” ujar Lona Rara tersenyum.
Nilai
moral yang terkndung dalam cuplikan cerita diatas adalah seorang suami yang
memiliki tanggung jawab besar kepada keluarga dalam menafkahi serta kepatuhan
sang istri terhadap suaminya
- “Maaf, Dinda! Kanda tidak bisa
berkata apa-apa. Lona Kaka adalah kakak Dinda satu-satunya. Perbuatannya
memang jahat, tapi apakah kita juga harus meniru perbuatan jahatnya itu?”
bujuk Gela Wuamaroto.
Nilai
moral yang terkndung dalam cuplikan cerita diatas adalah setiap perbuatan buruk
tak semestinya dibalas dengan keburukan pula dan juga kita harus selalu
mengingatkan akan indahnya memaafkan
B. Nilai Moral dalam cerita
Ande-ande Lumut
- Pada saat Raden Panji datang ke
Kediri untuk menikah dengan Sekartaji, puteri itu sudah menghilang. Raden
Panji sangat kecewa. Ibu tiri Sekartaji membujuknya untuk tetap
melangsungkan pernikahan dengan puterinya sebagai pengganti Sekartaji,
namun Raden Panji menolak.
Nilai
moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah bahwa kita tidak bisa
memaksakan kehendak kita pada orang lain
- Klething Kuning minta ijin
kepada ibu angkatnya untuk pergi ke Dadapan. Ibunya mengijinkan ia pergi
bila pekerjaannya sudah selesai. Ia pun sengaja menyuruh Klething Kuning
mencuci sebanyak mungkin pakaian agar ia tidak dapat pergi.
Nilai
moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah kepatuhan kelenting
kuning dalam menjalankan perintah ibunya meskipun harus mengesampingkan
keinginannya
- “Namaku Yuyu Kangkang. Kalian
mau kuseberangkan?”Mereka tentu saja mau.“Tentu saja kalian harus
memberiku imbalan.“Kau mau uang? Berapa?” tanya ibu janda.“Aku tak mau
uangmu. Anak gadismu cantik-cantik. Aku mau mereka menciumku.’
Nilai
mora yang tekandung dalam cuplikan cerita diatas adalah dalam melakukan segala
sesuatu haruslah didasari keikhlasan dan jangan mengarapkan imbalan seperti
tergambar pada Yuyu Kangkang yang menuntut adanya imbalan
- Mbok Randa mengetuk kamar
Ande-Ande Lumut, katanya, “Puteraku, lihatlah, gadis-gadis cantik ini
ingin melamarmu. Pilihlah satu sebagai isterimu.”
Nilai
moral yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah sebelum masuk kamar
hendaknya kita mengentuk pintu dulu mengambark kesopanan dalam sebuah keluarga
3.
Nilai Budaya
A.Nilai Budaya dalam cerita rakyat
Lona Kaka dan Lona Lara
·
Alkisah, di Desa Bukambero, Kodi,
Sumba Barat, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anak gadisnya.
Yang sulung bernama Lona Kaka, sedangkan si bungsu bernama Lona Rara. Kedua
kakak-beradik tersebut senantiasa mendapat perlakuan yang sama dari orang tua
mereka
Nilai
budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah bahwa jika kita
menajadi orang tua hendaknya kita kita tidak membeda-bedakan anak kita
·
Pada suatu hari, ketika Lona Rara
mendapat hadiah dendeng istimewa dari orang tua mereka karena berhasil
memenangkan lomba menumbuk padi,
Nilai
budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah menumbuk padi
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh wanita disumba dan itu murupakan budaya
yang sudah menjadi tradisi
- Ia duduk di atas sebuah batu
besar di tepi sungai sambil bernyanyi mengungkapkan kekesalannya terhadap
tindakan kakaknya.
Ou kagu pama nowo ragu
Pai balimu lolokingga neghe
Mu gaiga zauwa kako kania
Ou Gela wuamaroto padua pogawa atenggu
Gaika ku bali wainya
Pai balimu lolokingga neghe
Mu gaiga zauwa kako kania
Ou Gela wuamaroto padua pogawa atenggu
Gaika ku bali wainya
Nilai budaya dalam cuplikan cerita
diatas adalah tergambar dalam nyanyian yang menggunakan bahasa Sumba dan itu
mencerminkan kebudayaan sumba
- Menyadari hal itu, dengan
kesaktiannya, pemuda tampan itu segera memberikan sebuah kain tenun Sumba
yang indah kepada Lona Rara. Lona Rara pun segera memakai kain tenun itu
untuk menutupi tubuhnya.
Nilai
budaya dalam cuplikan cerita diatas adalah disumba pakaian yang sering dipakai
oleh para wanita dan menjadi pakaian adat disana adalah kain tenun sumba yang
menggambarkan buadaya sumba dan itu jelas tergambar dalam cuplikan diatas
- Keesokan harinya, berangkatlah
Gela Wuamaroto ke kampung untuk menemui Lona Kaka. Ia berangkat dengan
menunggang kuda dan membawa serta seekor kuda beban yang mengangkut kedua
peti yang berisi perhiasan dan berisi Lona Rara tersebut
Nilai budaya dalam cuplikan cerita
diatas adalah tergambar pada kata “menunggang kuda” karena disumba memang
terkenal dengan kuda-kudanya yang kuat dan sering digunakan sebagai alat
transportasi
B.Nilai Budaya dalam cerita rakyat
Ande-ande Lumut
- Maka kedua raja pun bersepakat
menyatukan kembali kedua kerajaan dengan menikahkan putera mahkota
Jenggala, Raden Panji Asmarabangun dengan puteri Kediri, Dewi Sekartaji.
Nilai
budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah perjodohan merupakan
memang menjadi tradisi bagi kerajaan-kerajaan besar di jawa timur hal itu
mencerminkan budaya yang ada dijawa timur
- Ketika ibu angkatnya kembali
Klething Kuning sekali lagi meminta ijin untuk pergi menemui Ande-Ande
Lumut. Ibu angkatnya terpaksa mengijinkan, namun ia sengaja mengoleskan
kotoran ayam ke punggung Klething Kuning
Nilai
budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah bahwa seorang jika
ingin keluar rumah atau melakukan sesuatu haruslah meminta ijin terhadap
orangtua, hal itu merupakan cermin budaya di jawa timur
- “Gadis cantik, kau mau ke
seberang? Mari kuantarkan,” kata Yuyu Kangkang
“Tidak
usah, terima kasih” kata Klething Kuning sambil berjalan menjauh.
Nilai
budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah menolak tawaran
orang yang belum kita kenal merupakan menjadi ciri khas wanita yang ada dijawa
timur dan seakan sekarang menjadi budaya yang berkembang
- Klething Kuning pun berangkat. Tibalah ia di sungai
besar. Kepiting raksasa itu mendatanginya untuk menawarkan jasa membawanya
ke seberang sungai.
Nilai
budaya yang terkandung dalam cuplikan cerita diatas adalah di jawa timur
khususnya dikediri memang banyak terdapat sungai-sungai besar seperti Kali
Brantas dan Bengawan Solo dan menjadi ciri khas di jawa timur
4. Perbedaan dan Persamaan Cerita Lona Kaka dan Lona Lara dengan Ande-ande Lumut
A. Perbedaan
- Dalam kedua cerita tersebut unsur tokoh sangat dominan
dimiliki Ande-ande Lumut dimana banyak tokoh yang ada dalam cerita
tersebut, berbeda dengan cerita Lona Kaka dan Lona Lara yang hanya
terfokus dengan kedua tokoh utama.
- Cerita Lona Kaka dan Lona Lara bisa dibilang lebih
sederhana jika dibandingkan cerita Ande-ande Lumut dimana jalan ceritanya
lebih rumit
- Konflik yang dimunculkan dalam kedua cerita tersebut
lebih banyak pada Ande-ande Lumut yang mana banyak memunculkan konflik
juga setting tempat terjadinya konflik dan berbeda dengan Lona Kaka dan
Lona Lara yang memunculkan konflik antara kedua tokoh itu saja
- Dalam cerita Lona Kaka dan Lona Lara akhir jalan
ceritanya tidak memunculkan kebahagian justru menimbulkan konflik batin
sedangkan dalam cerita Ande-ande Lumut akhir ceritanya berakhir dengan
kebahagiaan
- Dalam cerita Ande-ande Lumut mengambarkan kegigihan
Panjir Asmarabangun (Ande-ande Lumut) dalam mencari Sekartaji (Klinting
Kuning) demi cintanya namun dalam cerita Lona Kaka dan Lona Lara lebih
terlihat kegigihan Lona Kaka (kakak) dalam membunuh Lona Lara (adik) untuk
merebut segala sesuatu yang dimiliki Lona Lara
B. Persamaan
- Kedua cerita tersebut sama-sama berlatar belakang
masalah percintaan
- Dalam cerita tersebut Lona Lara (adik) dengan Sekrtaji
(klinting kuning) sama-sama memiliki sifat sabar, hal itu tergambar saat
keduanya mendapat berbagai cobaan namun mereka tetap menerimanya dengan
lapang hati
- Pad kedua cerita tersebut keduanya sama-sama
memunculkan unsur megic (gaib) yang mana usur tersebut berperan dalam
membantu tokoh utama, pada cerita Ande-ande Lumut Sekartaji (klenting
kuning) mendapat sebuah lidi pemberian dari bangau yang dapat digunakan
dalam hal apapun lalu pada ceirta Lona Kaka dan Lona Lara si Lona Lara
(adik) mendapat buah jeruk yang dia petik yang kemudian berubah menjadi
seorang pemuda tampan yang kemudian menjadi suaminya
- Tokoh laki-laki dalam kedua cerita tersebut yaitu Panji
Asmarabangun dan Gela Wuamaroto sama-sama merupakan sosok yang setia
terhadap pasangannya
- Dalam kedua cerita tersebut tokoh utama sama-sama
menumukan pasangan yang selama ini mereka impikan
- Pada cerita Lona Kaka dan Lona Lara dengan Ande-ande
Lumut sama-sama memunculkan konflik fisik yang dialami oleh Sekartaji dan
Lona Lara
Kesimpulan
- Kedua cerita tersbut memberikan pelajaran yang berharga
untuk kita semua bahwa sifat iri hati akan menimbulkan efek negatif untuk
diri kita sendiri
- Sifat Lona Lara yang tak mampu menahan rasa amarahnya
sehingga menimbulkan sifat dendam yang berujung dengan kematian Lona Kaka
ditangan Lona Lara (adik) adalah gambaran bahwa membalas dendam tidak akan
menyelesaikan masalah yang ada
- Sifat Lona Kaka yang selalu iri dengan apa yang dicapai
adiknya (Lona Lara) merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan, bagaimanapun
sifat orang yang memiliki sifat iri tidak akan pernah merasa puas dengan
apa yang dia miliki
- Pada cerita Ande-ande Lumut mengambarkan keteguhan,
kesabaran dan juga kesetiaan yang ditunjukan oleh Panji dan Sekartaji akhirnya
berbuah dengan kebaikan, keduanya berhasil bersatu kembali setelah
terpisah sekian lama
- Sifat klenting Merah, Hijau dan Biru yang mengalalkan
segala cara dalam mencapai tujuan tidak berujung pada kebaikan justru
mereka mendapat kekecewaan dari sikapnya tersebut
- Pada kedua cerita tersebut mengambarkan perbedaan
budaya yang mencolok dimana pada cerita Lona Kaka dan Lona Lara masih
terdapat unsur kekerasan fisik yang berujung pada kematian Lona Kaka
ditangan Lona Lara berbeda dengan cerita Ande-ande Lumut yang tidak
memunculkan kekerasan fisik yang tidak berlebihan
Daftar Rujukan
- http://narshik.blogspot.com/2012/07/contoh-nilai-nilai-dalam-cerpen.html
- http://melayuonline.com/ind/literature/dig/2509/lona-kaka-dan-lona-rara
- http://resourceful-parenting.blogspot.com/2011/05/kisah-ande-ande-lumut-cerita-rakyat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar