Peran Filsafat ilmu dalam
aksiologi dan ilmu bahasa
Oleh
BAYU ARDIANTORO
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Filsafat ilmu, secara
umum bisa dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai
landasan filosofis bagi keilmuan. Sebagai disiplin ilmu, filsafat ilmu
merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan objek khusus, yaitu ilmu
pengetahuan, dan sudah tentu memiliki sifat dan karakter yang hamper sama
dengan filsafat pada umumnya. Sementara sebagai landasan filosofis bagi proses
keilmuan, ia tak lain adalah kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri.
Filsafat tidak dapat
berkembang subur tanpa ilmu dan ilmu tidak dapat tumbuh kokoh tanpa kritik dari
filsafat. Ilmu menyediakan khasanah bahasan factual dan deskriptif yang amat
berguna bagi pengembangan gagasan filsafat. Filsafat ilmu terdiri dari tiga
tahapan yaitu, ontology, epistemology, dan aksiology, Yuyun Suryasumantri
(1993)
Bagaimana posisi
filsafat terhadap bahasa? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus ingat
tentang dua hal. Pertama, bahasa merupakan salah satu sarana ilmiah (termasuk
ilmu filsafat) di samping matematika dan statistika. Semua dan tiap ilmu pasti
memakai bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan atau memaparkan ilmu.
Matematika merupakan sarana berpikir deduktif yang banyak dipakai dalam ilmu
alam (fisika, biologi, kimia) dan ilmu social (ekonomi, sosiologi, geografi).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tiap ilmu sedikit banyak memakai
hitung-menghitung, misalnya tentang jumlah objek kajian, frekuensi kejadian,
dsb.
Statistika pada saat
ini mudah kita temukan dalam bentuk grafik, table, dan informasi lain dalam
bentuk angka-angka. Bahasa mempunyai berbagai fungsi, antara lain, sebagai
sarana untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran, baik pikiran yang berdarkan
logika deduktif maupun induktif. Bagi orang yang mempunyai kemampuan tinggi
dalam berbahasa dan tentang kebahasaan terbentang luas cakrawala berpikir yang
tiada batas. Wittgenstein pernah mengatakan” batas bahasaku adalah batas
duniaku”. Artinya, seberapa tinggi kemampuan kebahasaan kita, setinggi itulah
kememapuan berpikir kita.
Bahasa memang dapat
meningkatkan kualitas cara berpikir manusia. Dalam dunia ilmu, kegiatan
berpikir ilmiah, yang induktif atau deduktif, sangat berkaitan erat dengan
bahasa. Untuk sementara dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh dan
dalam ilmu inilah yang menjadi objek kajian filsafat bahasa.
1.2 Rumusan
Masalah
1)
Bagaimana peran
filsafat aksiologi bagi ilmu pengtahuan?
2)
Bagaimana peran
filsafat ilmu terhadap ilmu bahasa?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani,
aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau
ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut
sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi
aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus
Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono
aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral
sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
1.
Definisi Ilmu
Ilmu adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu scientia yang berarti ilmu.Atau dalam
kaidah bahasa Arab berasal dari kata ‘ilm
yang berarti pengetahuan. Ilmu atau sains adalah pengakajian sejumlah
penrnyataan-pernyataan yang terbukti dengan fakta-fakta dan ditinjau yang
disusun secara sitematis dan terbentuk menjadi hukun-hukum umum.
2.
Dasar Ilmu
Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar
ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca
indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat
empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide,
nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Ontologi merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang
paling kuno. Untuk memberi arti tentang
suatu objek ilmu ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan yaitu asumsi
pertama adalah suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk,
sifat (substansi), struktur atau komparasi dan kuantitatif asumsi. Asumsi kedua
adalah kelestarian relatif artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode
tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi ketiga yaitu determinasi artinya ilmu
menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan (Supriyanto, 2003).
Epistemologi atau teori pengetahuan yaitu cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan
dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan
yang dimiliki.
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologi
perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai
ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan
Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung,
namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu
pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat
kemampuan manusia di bumi ini (Bakhtiar, 2005).
Dasar aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu bagi
kebutuhan umat manusia. Dasar aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling
penting bagi manusia karena dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan manusia
menjadi terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.
Berdasarkan aksiologi, ilmu terlihat jelas bahwa permasalahan yang utama
adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia
untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang
nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika mengandung dua arti yaitu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan merupakan suatu
predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau
manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang
pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena disekelilingnya.
Ilmu dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu Ilmu Pengetahuan Abstrak, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan
Humanis.
Secara rinci seperti skema di bawah
ini.
Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral
Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
etika.
2. Estetic
expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3.
Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan
filsafat social politik.
Dalam
Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and
valuation :
1. Nilai
digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai
sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai,
seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai
juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau
dinilai.
Dari definisi aksiologi di
atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai.
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada masalah etika dan estetika.
Menurut Richard Bender: Suatu
nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang
diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang
menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang
bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa
bertambah.
Menurut John Sinclair, dalam
lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti
politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang
berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
2.1.1 Teori Pragmatis Mengenai Nilai
Dewey (dalam Kattsoff, 2004:
332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan. Nilai
bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah nilai berpusat pada
perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey mengatakan bahwa
pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan. Pemberian nilai juga
menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan.
Dengan kata lain, pemberian
nilai berkaitan dengan bahan-bahan faktual yang tersedia dan berdasarkan
bahan-bahan tersebut, perbuatan-perbuatan dan obyek-obyek dapat dihubungkan
dengan tujuan-tujuan yang terbayang. Dapat disimpulkan bahwa pemberian nilai
adalah ketentuan-ketentuan penggunaan berkaitan dengan kegiatan manusia melalui
generalisasi-generalisasi ilmiah sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan yang
diharapkan.
Berkaitan dengan aksiologi,
Drs. Prasetya mengatakan bahwa Aksiologi adalah study tentang nilai, sedangkan
nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap
insan, adapun nilai yang dimaksud, yaitu:
1.
Nilai jasmani (nilai yang terdiri atas nilai
hidup, nilai nikmat, dan nilai guna), dan
2.
Nilai rohani (nilai yang terdiri atas nilai
intelek, nilai estetika, nilai etika dan nilai religi)
Dari nilai-nilai tersebut, nilai hidup merupakan nilai dasar, yaitu
sesuatu yang dikejar manusia bagi kelangsungan hidupnya. Sedangkan nilai religi
adalah nilai utama, yaitu sesuatu yang didambakan manusia untuk kemuliaan
dirinya.
2.1.2 KATEGORI DASAR AKSIOLOGI
Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1.
Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai
keadaan objek yang dinilai.
2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu
dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Teori nilai intuitif dan teori
nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan teori
nilai emotif beraliran subyektivis.
1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)
Teori ini berpandangan bahwa
sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat
nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu
eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi
karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai
eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan
validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia.
Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif,
ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras
dengan preskripsi moralnya.
2. Teori nilai rasional (The rational theory of value)
Bagi mereka janganlah percaya
padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari manusia. Nilai
tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang
melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar,
sebagai fakta bahwa hanyaorang jahat atu yang lalai ynag melakukan sesuatu
berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan
nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3. Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)
Nilai menurutnya diciptakan
manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya.
Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai,
diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku
manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana
keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum
hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori nilai emotif (The emotive theory of value)
Jika tiga aliran sebelumnya
menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang
bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan
ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak
bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting
dari tindakan manusia
2.2.
Hakikat
Nilai
Berikut adalah beberapa contoh dari hakikat nilai
dilihat dari anggapan atau pendapatnya:
a. Nilai berasal dari kehendak, Voluntarisme.
b. Nilai berasal dari kesenangan, Hedonisme
c. Nilai berasal dari kepentingan.
d. Nilai berasal dari hal yang lebih disukai (preference).
e. Nilai berasal dari kehendak rasio murni.
a. Nilai berasal dari kehendak, Voluntarisme.
b. Nilai berasal dari kesenangan, Hedonisme
c. Nilai berasal dari kepentingan.
d. Nilai berasal dari hal yang lebih disukai (preference).
e. Nilai berasal dari kehendak rasio murni.
1.Kriteria Nilai
Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
a) Kaum hedonist
menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang dijabarkan oleh
individu atau masyarakat.
b) Kaum idealis mengakui
sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
c)
Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai
tolok ukur.
2. Status Metafisik Nilai
a) Subjektivisme adalah
nilai semata-mata tergantung pengalaman manusia.
b) Objektivisme logis adalah
nilai merupakan hakikat logis atau subsistensi, bebas dari keberadaannya yang
dikenal.
c)
Objektivisme metafisik adalah nilai merupakan
sesuatu yang ideal bersifat integral, objektif, dan komponen aktif dari kenyataan
metafisik. (mis: theisme).
3. Karakteristik Nilai
a) Bersifat abstrak;
merupakan kualitas
b) Inheren pada objek
c) Bipolaritas yaiatu
baik/buruk, indah/jelek, benar/salah.
d) Bersifat hirarkhis;
Nilai kesenangan, nilai vital, nilai kerohanian, nilai kekudusan.
2.3 ILMU DAN MORAL
Ilmu merupakan sesuatu yang
paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan
manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu tidak hanya menjadi
berkah dan penyelamat manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia.
Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memudahkan untuk kerja manusia, namun
kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang meninbulkan
malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali.
Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada
nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak berpihak kepada
nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan
menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi
dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan
masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala
alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi
faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan
mengarahkan proses yang terjadi. Di sinilah masalah moral muncul kembali namun
dalam kaitannya dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kontempolasi moral
berkaitan dengan metafisika maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral
berkaitan dengan cara penggunaan ilmu pengetahuan. Atau secara filsafati dalam
tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi
keilmuwan
2.4 Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan
Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu,
baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu
itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat
mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut
Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa
“pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau
justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang
disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan
kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak
mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam
menggunakannya. .
Nilai kegunaan ilmu, untuk
mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan,
kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1.Filsafat
sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide
yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau
sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori
filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2.Filsafat
sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini
semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan.
Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam
menjalani kehidupan.
3. Filsafat
sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi
banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki
kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila
masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah,
mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang
digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara
tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah
yang berkembang dalam kehidupan manusia
Nilai itu bersifat objektif, tapi
kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak
tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan
berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran
tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek
berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan
yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada
suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu?
Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu
harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan
ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan
harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat
idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan
topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang
ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar
penelitiannya be rhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.
2.6 Hubungan Ilmu dan Bahasa
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala
sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Dan bahasa adalah media
manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek ditransformasikan
menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia
dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak
terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Surya Sumantri, 1998).
Terkait dengan hal di
atas, dikatakan sebenarnya manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa,
tetapi dengan ilmu menjadikan bahasa memudahkan dalam kemampuan belajar dan
mengingat, memecahkan persoalan dan menarik kesimpulan. Dengan ilmu, bahasa
mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain
karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu
mengungkapkan segala pemikiran.
Sebagaimana dikemukakan
oleh Kempen (tokoh psikolingustik) yang menjelaskan studi mengenai
manusia sebagai pemakai bahasa yang berhubungan dengan ilmu, yaitu mengenai
sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara
manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan
ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan.
Ilmu dan bahasa berhubungan antara
kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda
yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita pelajari. Manusia hanya
akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang
terbahasakan. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia
berpikir dan berkata. Contoh dalam perilaku manusia yang tampak dalam hubungan
ilmu dan bahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan menulis atau
ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah
perilaku manusia ketika memahami yang disimak atau dibaca sehingga
menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan
atau ditulisnya.
Ilmu dan bahasa merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.
Bahasa berperan penting dalam upaya pengembangan dan penyebarluasan ilmu.
Setiap penelitian ilmiah tidak dapat dilaksanakan tanpa menggunakan bahasa,
matematika (sarana berpikir deduktif) dan statistika (sarana berpikir induktif)
sebagai sarana berpikir (Sarwono, 2006: 13). Upaya-upaya penyebarluasan ilmu
juga tidak mungkin dilaksanakan tanpa bahasa sebagai media komunikasi. Setiap
forum ilmiah pasti menggunakan bahasa sebagai sarana utama. Aktivitas-aktivitas
yang diarahkan untuk memahami, mengeksplorasi, dan mendiskusikan konsep-konsep
ilmu tidak dapat diselenggarakan tanpa melibatkan bahasa sebagai sarana.
2.7 Peran
Bahasa Dalam Ilmu
Peran bahasa dalam ilmu erat hubungannya dengan aspek
fungsional bahasa sebagai media berpikir dan media komunikasi. Sehubungan
dengan itu, pembahasan tentang permasalahan ini akan disoroti dalam dua bagian:
1. Hubungan
Bahasa dan Pikiran
Berpikir merupakan aktivitas mental yang tersembunyi, yang
bisa disadari hanya oleh orang yang melakukan aktivitas itu. Dengan kemampuan
berpikirnya, manusia bisa membahas obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa yang
tidak berada atau sedang berlangsung disekitarnya. Kemampuan berpikir juga
kadang-kadang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tanpa mencoba berbagai
alternatif solusi secara langsung (nyata).
Peran penting bahasa dalam inovasi ilmu terungkap jelas
dari fungsi bahasa sebagai media berpikir. Melalui kegiatan berpikir, manusia memperoleh
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara menghimpun dan memanipulasi ilmu
dan pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai,
menalar, dan membayangkan. Selama melakukan aktivitas berpikir, bahasa berperan
sebagai simbol-simbol (representasi mental) yang dibutuhkan untuk memikirkan
hal-hal yang abstrak dan tidak diperoleh melalui penginderaan. Setiap kali
seseorang sedang memikirkan seekor harimau, misalnya, dia tidak perlu
menghadirkan seekor harimau dihadapannya. Makalah-makalah yang relevan, yang
berfungsi sebagai representasi mental tentang harimau, sudah dapat membantunya
untuk memikirkan hewan itu. Cassirer (dalam Suriasumantri, 1990: 71) mengatakan
manusia adalah Animal symbolicum, mahluk yang menggunakan simbol, yang secara
generik mempunyai cakupan lebih luas dari homo sapiens, mahluk yang berpikir.
Tanpa kemampuan menggunakan simbol ini, kemampuan berpikir secara sistmatis dan
teratur tidak dapat dilakukan.
Bahasa memang tidak selalu identik dengan berpikir. Jika
seseorang ditanya apa yang sedang dipikirkannya, dia akan menggambarkan
pikirannya melalui bahasa.meskipun pikirannya tidak berbentuk simbol-simbol
linguistik ketika dia ditanya, dia pasti mengungkapkan pikiran itu dalam bentuk
simbol-simbol linguistik agar proses komunikasi dengan penanya berjalan dengan
baik. Namun, meskipun bahasa tidak identik dengan berpikir, berpikir tidak
dapat dilakukan tanpa bahasa. Bahkan, karakteristik bahasa yang dimiliki
seseorang akan menentukan objek apa saja yang dapat dipikirkannya. Berbagai
filsuf menyatakan bahwa suku-suku primitif tidak dapat memikirkan hal-hal
yang‘canggih’ bukan karena mereka tidak dapat berpikir, tetapi karena bahasa
mereka tidakdapat memfasilitasi mereka untuk melakukannya (Miller, 1983: 176). Kenyataan
ini terungkap jelas dalam diri mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri.
Dia akan berhasil menyelesaikan studinya hanya jika dia menguasai bahasa yang
digunakan dalam proses pembelajaran. Mengingat betapa pentingnya peran bahasa
dalam proses ini, tidaklah berlebihan bila Tomasello (1999) menegaskan bahwa
bahasa adalah fungsi kognisi tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan.
2. Bahasa
Sebagai Media Komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu jantung pengembangan ilmu.
Setiap ilmu dapat berkembang jika temuan-temuan dalam ilmu itu disebarluaskan
(dipublikasikan) melalui tindakan berkomunikasi. Temuan-temuan itu kemudian
didiskusikan, diteliti ulang, dikembangkan, disintetiskan, diterapkan atau
diperbaharui oleh ilmuwan lainnya. Hasil-hasil diskusi, sintetis, penelitian
ulang, penerapan, dan pengembangan itu kemudian dipublikasikan lagi untuk
ditindaklanjuti oleh ilmuwan lainnya. Selama dalam proses penelitian,
perumusan, dan publikasi temuan-temuan tersebut, bahasa memainkan peran
sentral, karena segala aktivitas tersebut menggunakan bahasa sebagai media. Dalam
penelitian dan komunikasi ilmiah, setiap ilmuwan perlu mengembangkan dan
memahami bahasa (terutama jargon-jargon akademis dan terminologi khusus)
yangdigunakan dalam bidang yang ditekuni. Tanpa bahasa yang mereka pahami
bersama, kesalahpahaman akan sulit dihindari dan mereka tidak dapat bersinergi
untuk mengembangkan ilmu.
2.8 Peran Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Ilmu
Bahasa
Perhatian filusuf
terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa dalam kenyataannya banyak
persoalan-persoalan bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan
analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan kekaburan, kekacauan yang selama
ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis. Berbeda dengan folosofis bahasa
di Inggris, di Perancis terdapat suatu perubahan yang sangat radikal. F. de
Sausssure telah meletakan dasar-dasar filosofis terhadap linguistic.
Pandangannya terhadap hakekat bahasa telah membuka cakrawala baru bagi ilmu
bahasa yang sebelumnya hanya berakibat pada tradisi Yunani. Secara keseluruhan
filsafat dalam kajiannya tentang bahasa dapat dikelompokan dalam dua pengertian
1. Perhatian
filusuf terhadap bahasa dalam menganalisis, memecahkan dan menjelaskan
problem-problem dan konsep-konsep filosofis
2. Perhatian
filusuf terhadap bahasa sebagai objek materi yaitu membahas dan mencari hakikat
bahasa yang pada gilirannya menjadi paradigm bagi perkembangan bagi
perkembangan aliran dari teori-teori linguistic.
Berdasarkan pengertian
di atas sebagai sarana analisis para filsuf dalam memecahkan, memahami dan
menjelaskan konsep-konsep, problem filsafat. Hakikat bahasa sebagai substansi
dan bentuk yaitu bahwa di samping memiliki makna sebagai ungkapan pikiran
manusia juga unsure fisis yaitu struktut bahasa.
Keguanaan (peranan)
filsafat ilmu sangat penting pada pengembangan ilmu bahasa karena filsafat
dalam kajiannya dengan bahasa menyelidiki mengenai hakekat bahasa, sebab, asal
dan hukumnya. Jadi, pengetahuan dan penyelidikan itu terfokus kepada hakekat
bahasa, juga sudah termasuk perkembangannya.
Pada dasarnya
perkembangan filsafat analitika bahasa meliputi tiga aliran yang pokok yaitu
atomisme logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa. Aliran filsafat
bahasa biasa inilah yang memiliki bentuk yang paling kuat bila mana dengan
aliran yang lain, dan memiliki pengaruh yang sangat luas, baik di Inggris,
Jerman dan Perancis maupun di Amerika. Aliran ini diperlopori oleh
Wittgebstein.
Untuk mengatasi kelemahan dan demi kejelasan
kebenaran konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan,
yaitu, perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga
ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat
dipertangungjawabkan. Kelompok filusuf
ini adalah Bertrand Russel. Menurut kelompok filusuf ini tugas filsafat yaitu
membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam bahasa sehari-hari.
2.9
HUBUNGAN FILSAFAT DAN BAHASA
Filsafat secara umum memiliki tiga cabang, yaitu
metafisika, epistemologi, dan logika. Metafisika secara sederhana dapat
diartikan sebagai ‘di luar fisik’, yang berate bahwa sesuatu yang berada di
luar apa yang bisa dilihat dan dirasakan secara empiris. Metafisika muncul dari
tulisan Aristoteles yang sampai saat ini terus dianggap sebagai Metafisika-nya
Aristoteles. (Popkin & Stroll, 1956: 70). Kemudian, epistemologi, menurut
sumber yang sama, merupakan teori tentang ilmu pengetahuan, yaitu teori yang
menaungi alat yang dipergunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan, batas jarak
ilmu pengetahuan kita, dan kriteria-kriteria yang kita pergunakan untuk menilai
salah atau benarnya ilmu pengetahuan kita. Yang terakhir logika, yaitu cabang
filosofi yang merefleksikan hakikat cara berfikir sehingga mampu memberikan
penalaran yang tepat, membedakan argumen yang baik dan yang buruk, dan
metode-metode untuk mendeteksi kesalahan dalam penalaran.
Berdasarkan definisi-definisi singkat ini, dapat
dilihat hubungan antara filsafat dengan bahasa. Berikut ini adalah beberapa
pandangan tentang hubungan-hubungan itu. Dalam kaitannya dengan metafisika,
bahasa memiliki peranan yang sangat krusial karena berbagai macam konsep dan
fakta untuk dapat menjadi argumen metafisis harus menggunakan bahasa yang
sesuai sebagai medianya. White dalam Kaelan (1998, 11) memberikan contoh yaitu
pertanyaan fundamental Plato tentang keadilan, kesucian, ruang,
waktu, kontradiksi, kebaikan dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal
itu adalah upaya secara analitik melalui bahasa untuk mebuat pertanyaanpertanyaan
itu eksplisit.
Secara lebih komprehensif, Russell sampai kepada
sebuah kesimpulan bahwa terdapat kesepadanan (isomorfi) antara unsur bahasa dan
unsur kenyataan. Kesimpulannya ini kemudian dipertegas oleh Wittgenstein dengan
pernyataannya ‘sebuah proposisi itu adalah gambaran realitas (kenyataan).
Sebuah proposisi adalah sebuah model dari realitas yang kita bayangkan.
(Mustansyir, 1988: 70-71). Sehubungan dengan epistemologi, menurut Kaelan,
terdapat dua masalah pokok yang sangat ditentukan oleh formulasi bahasa yang
digunakan dalam mengungkapkan pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan
manusia yang pengetahuannya
meliputi pengetahuan apriori dan aposteriori, dan problem
kebenaran pengetahuan manusia. Apriori berkaitan dengan pengetahuan tentang
sesuatu itu adalah benar demikian tanpa perlu didasarkan pada pengalaman
empiris. Dengan kata lain, pengetahuan yang diperoleh adalah berdasarkan dugaan
saja. Sebagai contoh, 5 x 5 = 25. Tanpa perlu mendapatkan pengalaman inderawi,
pernyataan itu benar adanya dan tidak dapat disalahkan. Ini berarti pernyataan
itu benar adanya karena arti pernyataan itu terkandung di dalam arti pernyataan
itu sendiri. Penolakan terhadap arti itu hanya bisa dilakukan bila kita
mengubah satu atau lebih artian terminologi di dalam pernyataan itu, misalnya
kita mengubah ‘x’ menjadi ‘+’ atau ‘-‘. Karena itu bahasa memiliki peranan
kunci dalam penerimaan kebenaran arti pernyataan semacam itu.
Epistemologi juga pada sisi lain berkaitan dengan
teori kebenaran, dimana di dalam epistemologi ini terdapat tiga jenis teori
kebenaran. Mengutip Suriasumantri, Kaelan (1998: 14) menyebutkan ketiganya
sebagai:
1. Teori kebenaran koherensi, yaitu bahwa sebuah pernyataan
dianggap benar apabila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebenarnya. Sebagai contoh, pernyataan ‘Hewan menyusui
disebut mamalia’. Pernyataan ‘Sapi adalah hewan mamalia’ adalah benar karena
sapi menyusui.
2. Teori kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sebuah pernyataan
dianggap benar bilamana materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu
berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut.
Sebagai contoh, pernyataan ‘Kota Medan terdapat di Sumatera Utara.’ adalah
benar karena terdapat hubungan antara ide dengan fakta dimana hubungan itu
terjadi melalui bahasa.
3. Teori kebenaran pragmatis, yaitu sebuah pernyataan dianggap
benar apabila pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.
Ini berarti suatu pernyataan akan dianggap benar apabila memberikan manfaat
praktis kepada manusia. Dengan demikian, pernyataan itu dianggap benar
berdasarkan konteks penggunaannya.
Yang terakhir adalah hubungan antara logika dengan
bahasa. Yang menjadi pokok hubungan keduanya adalah fakta bahwa dalam proses
berpikir, manusia tidak dapat melepaskan diri dari bahasa untuk memahami dunia
luar, baik secara objektif maupun imajinatif. Proses berpikir dalam konteks ini
tentu saja bernalar dengan bersandar pada hukum-hukum, yang dengannya kemudian
dapat dinyatakan apakah sebuah kesimpulan itu benar atau salah. Contoh:
- Budi
seorang pekerja keras.
- Budi
mendapatkan penghargaan.
- Oleh
karena itu, Budi seorang pekerja keras yang mendapatkan penghargaan.
- Seseorang pekerja keras.
- Seseorang mendapatkan penghargaan.
- Oleh karena itu, seseorang pekerja kerja yang
mendapatkan penghargaan.
Pada contoh pertama, kesimpulan yang diambil adalah
benar dengan didasarkan pada premis-premis yang ada sebelumnya, sementara pada
contoh kedua tentu saja kesimpulannya tidak benar karena ‘seseorang’ di sana
tidak tidak dapat dipastikan mengacu kepada orang yang sama. Melihat kedua
contoh ini, dapat disimpulkan betapa pentingnya bahasa dalam pernyataan logika
sehingga sebuah kesimpulan dapat dinilai secara langsung kebenarannya.
Kontribusi
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, filsafat
telah memberikan kesempatan pada bahasa untuk dimunculkan sebagai salah satu
cabangnya. Seperti dipahami, filsafat cenderung untuk mencari kebenaran akan
sesuatu, sehingga untuk mendapatkan kebenaran itu sebuah objek harus dilihat
secara mendalam, yaitu meneliti secara lebih detail apa sebenarnya yang
terkandung di dalamnya. Identik dengan hal itu, pernyataanpernyataan filsafati
akan dapat dipahami berdasarkan bentuk bahasa yang dipergunakan untuk
mencapaikan isi atau makna. Oleh karena itu, makna terealisasi oleh bentuk
bahasa
Berdasarkan kesimpulan ini, filsafat telah melahirkan
bahasan tentang bentuk
bahasa (ekspresi) dan makna. Bentuk bahasa secara umum
direpresentasikan oleh tata
bahasa sedangkan makna dibahas secara mendalam dalam
kajian Semantik. Tentang
tata bahasa, pada jaman Yunani beberapa filsuf saat
itu memberikan gambaran-gambaran yang sangat jelas, sebagai contoh Plato
memperkenalkan onoma dan rhemata seperti telah disebutkan sebelumnya, dimana onoma berfungsi
sebagai subjek dan rhemata berfungsi
sebagai predikat. Ini memberikan dasar lebih lanjut pada perkembangan teori tata bahasa secara umum, meskipun pada
abad-abad selanjutnya terjadi
perbedaan yang cukup mendasar, yang bisa saja disebabkan oleh perbedaan interpretasi dan perkembangan pemikiran
manusia.
Pada ujung kontinuum lainnya terdapat makna. Proses
pencarian makna ini tentu tidak
hanya dikaitkan pada struktur atau tata bahasa saja, namun juga dipengaruhi
oleh konteks yang dalam filsafat berkaitan
dengan kebenaran pragmatis. Makna secara umum
menjadi fokus utama kajian Semantik, di mana di dalamnya beragam unsur filsafat ditemukan. Konsep-konsep
sinonim, antonim, hiponim, meronim, dsb. diperkenalkan
sedemikian rupa untuk dapat menghasilkan pemaknaan yang tepat akan sebuah pernyataan. Di dalam Semantik
ini sebenarnya bernaung sebuah kajian yang
saat ini disebut dengan Pragmatik. Pragmatik sendiri pada dasarnya
merupakan kajian tentang bagaimana
bahasa dipergunakan. Pernyataan tertentu akan beragam maknanya menyesuaikan dengan konteksnya, di mana
dalam teori kebenaran pragmatis, sebuah pernyataan
akan dianggap benar apabila dapat memberikan manfaat praktis bagi manusia. J.L. Austin dapat disebut sebagai salah seorang yang telah
memberikan jasa besar bagi
perkembangan dunia Pragmatik. Bahasan tentang tindak tutur (Locutionary
Acts, Illocutionary Acts, dan
Perlocutionary Acts) dijabarkan dengan mendalam sehingga dapat dibedakan satu sama lainnya. Ahli
bahasa lainnya, semisal Searle (1975), kemudian
mengembangkan teori-teori Pragmatik lebih lanjut dengan membedakan tindak tutur itu menjadi lima kelompok
utama, yaitu: a) representatif (berbentuk
pernyataan), b) direktif (berbentuk pertanyaan, permintaan dan perintah,
c) komisif (berbentuk pernyataan
janji, tekad, jaminan, sumpah, dan persetujuan, d) ekspresif (pernyataan perasaan tentang sesuatu,
seperti ucapan terima kasih, mohon maaf, dan ucapan selamat); dan e) deklaratif (berbentuk pengumuman,
pemberitahuan, proklamasi, dan
pemberian nama). Dalam dunia
pengajaran bahasa, filsafat juga memberikan jalan yang sangat luas, dimulai dari teori-teori tentang
pemerolehan bahasa baik berdasarkan pandangan
behaviorisme, kognitivisme, dsb.
Teori-teori tersebut tentu didasarkan pada
pernyataanpernyataan filsafat dari
filsuf kenamaan pada zaman-zaman sebelumnya. Secara praktis, dapat kita ambil sebuah contoh. Dalam
pengajaran menulis, kita sering disuguhkan
dengan dua teknik utama penyampaian ide, apakah secara induktif dan
deduktif. Induktif mengikuti filosofi
empirisme yang bertitik tolak dari fakta-fakta yang bersifat khusus dan dengannya mengambil
kesimpulan yang bersifat umum. Pada sisi lain, deduktif berpedoman pada aliran rasionalisme dengan bertitik
tolak dari sesuatu yang umum untuk
mendapatkan sesuatu yang bersifat khusus. Kedua metode ini sangat membantu dalam proses belajar menulis. Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa
filsafat benar-benar memberikan nuansa dalam
perkembangan bahasa baik secara teoritis maupun praktis. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan di antara para
filsuf namun bukan berarti harus saling menyalahkan.
Kebenaran selalu berada dalam proses pencarian dan akan sangat bersifat relatif.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai bagian akhir tulisan ini,
dapat disimpulkan bahwa meskipun filsafat bahasa muncul setelah
filsafat-filsafat lainnya, misalnya filsafat fisika, pada dasarnya filsafat
bahas itu telah hadir di dalam proses pembentukan filsafat-filsafat itu. Para
filsuf sejak dahulu kala menggunakan media bahasa untuk menyampaikan pernyataan-pernyataan
filsafat mereka untuk mencari kebenaran akan segala sesuatu. Dengan lahirnya
filsafat bahasa sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, telah melahirkan
toeriteori tentang bahasa sehingga wacana teori bahasa mendapatkan tempat yang
sangat khusus. Pernyataan berikut mungkin dapat menjadi pengingat bagi diri
kita yang sering sekali alpa karena sifat kemanusiawian kita.
Pemikiran-pemikiran yang berbeda adalah warna dalam kehidupan begitu juga dalam
keilmuan sehingga untuk mencari mana yang paling benar adalah kesalahan. Segala
sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang pasti, semuanya berubah dan yang
tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Jadi, bisa saja pada saat
ini kita menganggap sebuah pernyataan benar namun pada saat lain ketika
pernyataan itu terbantahkan kita pun mengakui bahwa yang kita akui benar ternyata
masih memiliki unsure ketidakpastian.
Mungkin kita bisa berkaca pada
Descartes yang berusaha terus menerus mencari yang mencoba mencari kepastian,
yakni kepastian yang tidak dapat menggoyahkan keyakinannya. Meskipun Decartes
tidak menghalangi pemikiran orang lain, namun keyakinan-keyakinan yang ia
munculkan di akhir pencariannya tidak dapat member pemecahan akan kepastian.
Ketika kita mengejar kepastian sesungguhnya kita seperti mengejar sesuatu yang
terus menghindar dari kita setiap saat kita menghampirinya
DAFTAR RUJUKAN
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Endrotomo, Ir. 2004. Ilmu dan Teknologi. Information System ITS.
Kaelan, Drs., M.S. 1998. Filsafat
Bahasa: Masalah dan Perkembangannya.
Yogyakarta: Paradigma
Kartanegara, Dr. Mulyadi. 2005. Integrasi Ilmu. Bandung: Penerbit Arasy
PT Mizan
Pustaka
Muslih, Mohammad. 2006. Filsafat Ilmu: Kajian
atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar
Poedjawijatna, Prof. Ir. 2004. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta.
S.
Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu
sebuah pengantar Populer. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan
Sumarsono. 2011. Filsafat Bahasa. Malang: Lembaga Penerbit Universitas
Kanjuruhan Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar