Kamis, 21 Desember 2017

FILSAFAT ILMU


Peran Filsafat ilmu dalam aksiologi dan ilmu bahasa


Oleh
BAYU ARDIANTORO 






BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latarbelakang
            Filsafat ilmu, secara umum bisa dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis bagi keilmuan. Sebagai disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan objek khusus, yaitu ilmu pengetahuan, dan sudah tentu memiliki sifat dan karakter yang hamper sama dengan filsafat pada umumnya. Sementara sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan, ia tak lain adalah kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri.
            Filsafat tidak dapat berkembang subur tanpa ilmu dan ilmu tidak dapat tumbuh kokoh tanpa kritik dari filsafat. Ilmu menyediakan khasanah bahasan factual dan deskriptif yang amat berguna bagi pengembangan gagasan filsafat. Filsafat ilmu terdiri dari tiga tahapan yaitu, ontology, epistemology, dan aksiology, Yuyun Suryasumantri (1993)
            Bagaimana posisi filsafat terhadap bahasa? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus ingat tentang dua hal. Pertama, bahasa merupakan salah satu sarana ilmiah (termasuk ilmu filsafat) di samping matematika dan statistika. Semua dan tiap ilmu pasti memakai bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan atau memaparkan ilmu. Matematika merupakan sarana berpikir deduktif yang banyak dipakai dalam ilmu alam (fisika, biologi, kimia) dan ilmu social (ekonomi, sosiologi, geografi). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tiap ilmu sedikit banyak memakai hitung-menghitung, misalnya tentang jumlah objek kajian, frekuensi kejadian, dsb.
            Statistika pada saat ini mudah kita temukan dalam bentuk grafik, table, dan informasi lain dalam bentuk angka-angka. Bahasa mempunyai berbagai fungsi, antara lain, sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran, baik pikiran yang berdarkan logika deduktif maupun induktif. Bagi orang yang mempunyai kemampuan tinggi dalam berbahasa dan tentang kebahasaan terbentang luas cakrawala berpikir yang tiada batas. Wittgenstein pernah mengatakan” batas bahasaku adalah batas duniaku”. Artinya, seberapa tinggi kemampuan kebahasaan kita, setinggi itulah kememapuan berpikir kita.
            Bahasa memang dapat meningkatkan kualitas cara berpikir manusia. Dalam dunia ilmu, kegiatan berpikir ilmiah, yang induktif atau deduktif, sangat berkaitan erat dengan bahasa. Untuk sementara dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh dan dalam ilmu inilah yang menjadi objek kajian filsafat bahasa.

1.2  Rumusan Masalah
1)      Bagaimana peran filsafat aksiologi bagi ilmu pengtahuan?
2)      Bagaimana peran filsafat ilmu terhadap ilmu bahasa?



  





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
1.      Definisi Ilmu
Ilmu adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu scientia yang berarti ilmu.Atau dalam kaidah bahasa Arab berasal dari kata ‘ilm yang berarti pengetahuan. Ilmu atau sains adalah pengakajian sejumlah penrnyataan-pernyataan yang terbukti dengan fakta-fakta dan ditinjau yang disusun secara sitematis dan terbentuk menjadi hukun-hukum umum.

2.      Dasar Ilmu 
Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Ontologi merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno.  Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan yaitu asumsi pertama adalah suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi dan kuantitatif asumsi. Asumsi kedua adalah kelestarian relatif artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi ketiga yaitu determinasi artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan (Supriyanto, 2003).
Epistemologi atau teori pengetahuan yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini (Bakhtiar, 2005).  
Dasar aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu bagi kebutuhan umat manusia. Dasar aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia karena dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan manusia menjadi terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.
Berdasarkan aksiologi, ilmu terlihat jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.  Etika mengandung dua arti yaitu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
            Ilmu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu Ilmu Pengetahuan Abstrak, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Humanis.
            Secara rinci seperti skema di bawah ini.


Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.
Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation :
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
Menurut Richard Bender: Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
2.1.1 Teori Pragmatis Mengenai Nilai
Dewey (dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah nilai berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan. Pemberian nilai juga menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan.
Dengan kata lain, pemberian nilai berkaitan dengan bahan-bahan faktual yang tersedia dan berdasarkan bahan-bahan tersebut, perbuatan-perbuatan dan obyek-obyek dapat dihubungkan dengan tujuan-tujuan yang terbayang. Dapat disimpulkan bahwa pemberian nilai adalah ketentuan-ketentuan penggunaan berkaitan dengan kegiatan manusia melalui generalisasi-generalisasi ilmiah sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan.
Berkaitan dengan aksiologi, Drs. Prasetya mengatakan bahwa Aksiologi adalah study tentang nilai, sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan, adapun nilai yang dimaksud, yaitu:
1.    Nilai jasmani (nilai yang terdiri atas nilai hidup, nilai nikmat, dan nilai guna), dan
2.    Nilai rohani (nilai yang terdiri atas nilai intelek, nilai estetika, nilai etika dan nilai religi)
Dari nilai-nilai tersebut, nilai hidup merupakan nilai dasar, yaitu sesuatu yang dikejar manusia bagi kelangsungan hidupnya. Sedangkan nilai religi adalah nilai utama, yaitu sesuatu yang didambakan manusia untuk kemuliaan dirinya.

2.1.2 KATEGORI DASAR AKSIOLOGI
Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis.
1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)
Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori nilai rasional (The rational theory of value)
Bagi mereka janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanyaorang jahat atu yang lalai ynag melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3. Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)
Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori nilai emotif (The emotive theory of value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia
2.2.    Hakikat Nilai
Berikut adalah beberapa contoh dari hakikat nilai dilihat dari anggapan atau pendapatnya:
a. Nilai berasal dari kehendak, Voluntarisme.
b. Nilai berasal dari kesenangan, Hedonisme
c. Nilai berasal dari kepentingan.
d. Nilai berasal dari hal yang lebih disukai (preference).
e. Nilai berasal dari kehendak rasio murni.
1.Kriteria Nilai
Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
a)      Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang dijabarkan oleh individu atau masyarakat.
b)      Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
c)      Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur.
2. Status Metafisik Nilai
a)      Subjektivisme adalah nilai semata-mata tergantung pengalaman manusia.
b)      Objektivisme logis adalah nilai merupakan hakikat logis atau subsistensi, bebas dari keberadaannya yang dikenal.
c)      Objektivisme metafisik adalah nilai merupakan sesuatu yang ideal bersifat integral, objektif, dan komponen aktif dari kenyataan metafisik. (mis: theisme).
3. Karakteristik Nilai
a)      Bersifat abstrak; merupakan kualitas
b)      Inheren pada objek
c)      Bipolaritas yaiatu baik/buruk, indah/jelek, benar/salah.
d)     Bersifat hirarkhis; Nilai kesenangan, nilai vital, nilai kerohanian, nilai kekudusan.
2.3 ILMU DAN MORAL
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memudahkan untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang meninbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali. Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Di sinilah masalah moral muncul kembali namun dalam kaitannya dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kontempolasi moral berkaitan dengan metafisika maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu pengetahuan. Atau secara filsafati dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuwan
2.4 Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
            Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
            Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya. .
            Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1.Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2.Filsafat sebagai pandangan hidup.
            Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
            Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia
            Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
            Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya be rhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.
2.6  Hubungan Ilmu dan Bahasa
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Dan bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Surya Sumantri, 1998).
Terkait dengan hal di atas, dikatakan sebenarnya manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi dengan ilmu menjadikan bahasa memudahkan dalam kemampuan belajar dan mengingat, memecahkan persoalan dan menarik kesimpulan. Dengan ilmu, bahasa mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.
Sebagaimana  dikemukakan   oleh  Kempen (tokoh psikolingustik) yang menjelaskan studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa yang berhubungan dengan ilmu, yaitu mengenai sistem-sistem bahasa yang  ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan.
Ilmu dan bahasa berhubungan  antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita pelajari. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata. Contoh dalam perilaku manusia yang tampak dalam hubungan ilmu dan bahasa adalah perilaku manusia ketika  berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi  bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang  disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.
Ilmu dan bahasa merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Bahasa berperan penting dalam upaya pengembangan dan penyebarluasan ilmu. Setiap penelitian ilmiah tidak dapat dilaksanakan tanpa menggunakan bahasa, matematika (sarana berpikir deduktif) dan statistika (sarana berpikir induktif) sebagai sarana berpikir (Sarwono, 2006: 13). Upaya-upaya penyebarluasan ilmu juga tidak mungkin dilaksanakan tanpa bahasa sebagai media komunikasi. Setiap forum ilmiah pasti menggunakan bahasa sebagai sarana utama. Aktivitas-aktivitas yang diarahkan untuk memahami, mengeksplorasi, dan mendiskusikan konsep-konsep ilmu tidak dapat diselenggarakan tanpa melibatkan bahasa sebagai sarana.
2.7 Peran Bahasa Dalam Ilmu
Peran bahasa dalam ilmu erat hubungannya dengan aspek fungsional bahasa sebagai media berpikir dan media komunikasi. Sehubungan dengan itu, pembahasan tentang permasalahan ini akan disoroti dalam dua bagian:
1. Hubungan Bahasa dan Pikiran
Berpikir merupakan aktivitas mental yang tersembunyi, yang bisa disadari hanya oleh orang yang melakukan aktivitas itu. Dengan kemampuan berpikirnya, manusia bisa membahas obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa yang tidak berada atau sedang berlangsung disekitarnya. Kemampuan berpikir juga kadang-kadang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tanpa mencoba berbagai alternatif solusi secara langsung (nyata).
Peran penting bahasa dalam inovasi ilmu terungkap jelas dari fungsi bahasa sebagai media berpikir. Melalui kegiatan berpikir, manusia memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara menghimpun dan memanipulasi ilmu dan pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, dan membayangkan. Selama melakukan aktivitas berpikir, bahasa berperan sebagai simbol-simbol (representasi mental) yang dibutuhkan untuk memikirkan hal-hal yang abstrak dan tidak diperoleh melalui penginderaan. Setiap kali seseorang sedang memikirkan seekor harimau, misalnya, dia tidak perlu menghadirkan seekor harimau dihadapannya. Makalah-makalah yang relevan, yang berfungsi sebagai representasi mental tentang harimau, sudah dapat membantunya untuk memikirkan hewan itu. Cassirer (dalam Suriasumantri, 1990: 71) mengatakan manusia adalah Animal symbolicum, mahluk yang menggunakan simbol, yang secara generik mempunyai cakupan lebih luas dari homo sapiens, mahluk yang berpikir. Tanpa kemampuan menggunakan simbol ini, kemampuan berpikir secara sistmatis dan teratur tidak dapat dilakukan.
Bahasa memang tidak selalu identik dengan berpikir. Jika seseorang ditanya apa yang sedang dipikirkannya, dia akan menggambarkan pikirannya melalui bahasa.meskipun pikirannya tidak berbentuk simbol-simbol linguistik ketika dia ditanya, dia pasti mengungkapkan pikiran itu dalam bentuk simbol-simbol linguistik agar proses komunikasi dengan penanya berjalan dengan baik. Namun, meskipun bahasa tidak identik dengan berpikir, berpikir tidak dapat dilakukan tanpa bahasa. Bahkan, karakteristik bahasa yang dimiliki seseorang akan menentukan objek apa saja yang dapat dipikirkannya. Berbagai filsuf menyatakan bahwa suku-suku primitif tidak dapat memikirkan hal-hal yang‘canggih’ bukan karena mereka tidak dapat berpikir, tetapi karena bahasa mereka tidakdapat memfasilitasi mereka untuk melakukannya (Miller, 1983: 176). Kenyataan ini terungkap jelas dalam diri mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri. Dia akan berhasil menyelesaikan studinya hanya jika dia menguasai bahasa yang digunakan dalam proses pembelajaran. Mengingat betapa pentingnya peran bahasa dalam proses ini, tidaklah berlebihan bila Tomasello (1999) menegaskan bahwa bahasa adalah fungsi kognisi tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan.
2. Bahasa Sebagai Media Komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu jantung pengembangan ilmu. Setiap ilmu dapat berkembang jika temuan-temuan dalam ilmu itu disebarluaskan (dipublikasikan) melalui tindakan berkomunikasi. Temuan-temuan itu kemudian didiskusikan, diteliti ulang, dikembangkan, disintetiskan, diterapkan atau diperbaharui oleh ilmuwan lainnya. Hasil-hasil diskusi, sintetis, penelitian ulang, penerapan, dan pengembangan itu kemudian dipublikasikan lagi untuk ditindaklanjuti oleh ilmuwan lainnya. Selama dalam proses penelitian, perumusan, dan publikasi temuan-temuan tersebut, bahasa memainkan peran sentral, karena segala aktivitas tersebut menggunakan bahasa sebagai media. Dalam penelitian dan komunikasi ilmiah, setiap ilmuwan perlu mengembangkan dan memahami bahasa (terutama jargon-jargon akademis dan terminologi khusus) yangdigunakan dalam bidang yang ditekuni. Tanpa bahasa yang mereka pahami bersama, kesalahpahaman akan sulit dihindari dan mereka tidak dapat bersinergi untuk mengembangkan ilmu.
2.8  Peran Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Ilmu Bahasa
            Perhatian filusuf terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis. Berbeda dengan folosofis bahasa di Inggris, di Perancis terdapat suatu perubahan yang sangat radikal. F. de Sausssure telah meletakan dasar-dasar filosofis terhadap linguistic. Pandangannya terhadap hakekat bahasa telah membuka cakrawala baru bagi ilmu bahasa yang sebelumnya hanya berakibat pada tradisi Yunani. Secara keseluruhan filsafat dalam kajiannya tentang bahasa dapat dikelompokan dalam dua pengertian
1.    Perhatian filusuf terhadap bahasa dalam menganalisis, memecahkan dan menjelaskan problem-problem dan konsep-konsep filosofis
2.    Perhatian filusuf terhadap bahasa sebagai objek materi yaitu membahas dan mencari hakikat bahasa yang pada gilirannya menjadi paradigm bagi perkembangan bagi perkembangan aliran dari teori-teori linguistic.
Berdasarkan pengertian di atas sebagai sarana analisis para filsuf dalam memecahkan, memahami dan menjelaskan konsep-konsep, problem filsafat. Hakikat bahasa sebagai substansi dan bentuk yaitu bahwa di samping memiliki makna sebagai ungkapan pikiran manusia juga unsure fisis yaitu struktut bahasa.
Keguanaan (peranan) filsafat ilmu sangat penting pada pengembangan ilmu bahasa karena filsafat dalam kajiannya dengan bahasa menyelidiki mengenai hakekat bahasa, sebab, asal dan hukumnya. Jadi, pengetahuan dan penyelidikan itu terfokus kepada hakekat bahasa, juga sudah termasuk perkembangannya.
Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa meliputi tiga aliran yang pokok yaitu atomisme logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa. Aliran filsafat bahasa biasa inilah yang memiliki bentuk yang paling kuat bila mana dengan aliran yang lain, dan memiliki pengaruh yang sangat luas, baik di Inggris, Jerman dan Perancis maupun di Amerika. Aliran ini diperlopori oleh Wittgebstein.
Untuk mengatasi kelemahan dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan, yaitu, perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat dipertangungjawabkan.  Kelompok filusuf ini adalah Bertrand Russel. Menurut kelompok filusuf ini tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari.
2.9 HUBUNGAN FILSAFAT DAN BAHASA
Filsafat secara umum memiliki tiga cabang, yaitu metafisika, epistemologi, dan logika. Metafisika secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘di luar fisik’, yang berate bahwa sesuatu yang berada di luar apa yang bisa dilihat dan dirasakan secara empiris. Metafisika muncul dari tulisan Aristoteles yang sampai saat ini terus dianggap sebagai Metafisika-nya Aristoteles. (Popkin & Stroll, 1956: 70). Kemudian, epistemologi, menurut sumber yang sama, merupakan teori tentang ilmu pengetahuan, yaitu teori yang menaungi alat yang dipergunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan, batas jarak ilmu pengetahuan kita, dan kriteria-kriteria yang kita pergunakan untuk menilai salah atau benarnya ilmu pengetahuan kita. Yang terakhir logika, yaitu cabang filosofi yang merefleksikan hakikat cara berfikir sehingga mampu memberikan penalaran yang tepat, membedakan argumen yang baik dan yang buruk, dan metode-metode untuk mendeteksi kesalahan dalam penalaran.
Berdasarkan definisi-definisi singkat ini, dapat dilihat hubungan antara filsafat dengan bahasa. Berikut ini adalah beberapa pandangan tentang hubungan-hubungan itu. Dalam kaitannya dengan metafisika, bahasa memiliki peranan yang sangat krusial karena berbagai macam konsep dan fakta untuk dapat menjadi argumen metafisis harus menggunakan bahasa yang sesuai sebagai medianya. White dalam Kaelan (1998, 11) memberikan contoh yaitu pertanyaan fundamental Plato tentang keadilan, kesucian, ruang, waktu, kontradiksi, kebaikan dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal itu adalah upaya secara analitik melalui bahasa untuk mebuat pertanyaanpertanyaan itu eksplisit.
Secara lebih komprehensif, Russell sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa terdapat kesepadanan (isomorfi) antara unsur bahasa dan unsur kenyataan. Kesimpulannya ini kemudian dipertegas oleh Wittgenstein dengan pernyataannya ‘sebuah proposisi itu adalah gambaran realitas (kenyataan). Sebuah proposisi adalah sebuah model dari realitas yang kita bayangkan. (Mustansyir, 1988: 70-71). Sehubungan dengan epistemologi, menurut Kaelan, terdapat dua masalah pokok yang sangat ditentukan oleh formulasi bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan manusia yang pengetahuannya
meliputi pengetahuan apriori dan aposteriori, dan problem kebenaran pengetahuan manusia. Apriori berkaitan dengan pengetahuan tentang sesuatu itu adalah benar demikian tanpa perlu didasarkan pada pengalaman empiris. Dengan kata lain, pengetahuan yang diperoleh adalah berdasarkan dugaan saja. Sebagai contoh, 5 x 5 = 25. Tanpa perlu mendapatkan pengalaman inderawi, pernyataan itu benar adanya dan tidak dapat disalahkan. Ini berarti pernyataan itu benar adanya karena arti pernyataan itu terkandung di dalam arti pernyataan itu sendiri. Penolakan terhadap arti itu hanya bisa dilakukan bila kita mengubah satu atau lebih artian terminologi di dalam pernyataan itu, misalnya kita mengubah ‘x’ menjadi ‘+’ atau ‘-‘. Karena itu bahasa memiliki peranan kunci dalam penerimaan kebenaran arti pernyataan semacam itu.
Epistemologi juga pada sisi lain berkaitan dengan teori kebenaran, dimana di dalam epistemologi ini terdapat tiga jenis teori kebenaran. Mengutip Suriasumantri, Kaelan (1998: 14) menyebutkan ketiganya sebagai:
1.      Teori kebenaran koherensi, yaitu bahwa sebuah pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebenarnya. Sebagai contoh, pernyataan ‘Hewan menyusui disebut mamalia’. Pernyataan ‘Sapi adalah hewan mamalia’ adalah benar karena sapi menyusui.
2.      Teori kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sebuah pernyataan dianggap benar bilamana materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut. Sebagai contoh, pernyataan ‘Kota Medan terdapat di Sumatera Utara.’ adalah benar karena terdapat hubungan antara ide dengan fakta dimana hubungan itu terjadi melalui bahasa.
3.      Teori kebenaran pragmatis, yaitu sebuah pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Ini berarti suatu pernyataan akan dianggap benar apabila memberikan manfaat praktis kepada manusia. Dengan demikian, pernyataan itu dianggap benar berdasarkan konteks penggunaannya.

Yang terakhir adalah hubungan antara logika dengan bahasa. Yang menjadi pokok hubungan keduanya adalah fakta bahwa dalam proses berpikir, manusia tidak dapat melepaskan diri dari bahasa untuk memahami dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif. Proses berpikir dalam konteks ini tentu saja bernalar dengan bersandar pada hukum-hukum, yang dengannya kemudian dapat dinyatakan apakah sebuah kesimpulan itu benar atau salah. Contoh:
- Budi seorang pekerja keras.
- Budi mendapatkan penghargaan.
- Oleh karena itu, Budi seorang pekerja keras yang mendapatkan penghargaan.
- Seseorang pekerja keras.
- Seseorang mendapatkan penghargaan.
- Oleh karena itu, seseorang pekerja kerja yang mendapatkan penghargaan.

Pada contoh pertama, kesimpulan yang diambil adalah benar dengan didasarkan pada premis-premis yang ada sebelumnya, sementara pada contoh kedua tentu saja kesimpulannya tidak benar karena ‘seseorang’ di sana tidak tidak dapat dipastikan mengacu kepada orang yang sama. Melihat kedua contoh ini, dapat disimpulkan betapa pentingnya bahasa dalam pernyataan logika sehingga sebuah kesimpulan dapat dinilai secara langsung kebenarannya.

Kontribusi
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, filsafat telah memberikan kesempatan pada bahasa untuk dimunculkan sebagai salah satu cabangnya. Seperti dipahami, filsafat cenderung untuk mencari kebenaran akan sesuatu, sehingga untuk mendapatkan kebenaran itu sebuah objek harus dilihat secara mendalam, yaitu meneliti secara lebih detail apa sebenarnya yang terkandung di dalamnya. Identik dengan hal itu, pernyataanpernyataan filsafati akan dapat dipahami berdasarkan bentuk bahasa yang dipergunakan untuk mencapaikan isi atau makna. Oleh karena itu, makna terealisasi oleh bentuk bahasa
Berdasarkan kesimpulan ini, filsafat telah melahirkan bahasan tentang bentuk
bahasa (ekspresi) dan makna. Bentuk bahasa secara umum direpresentasikan oleh tata
bahasa sedangkan makna dibahas secara mendalam dalam kajian Semantik. Tentang
tata bahasa, pada jaman Yunani beberapa filsuf saat itu memberikan gambaran-gambaran yang sangat jelas, sebagai contoh Plato memperkenalkan onoma dan rhemata seperti telah disebutkan sebelumnya, dimana onoma berfungsi sebagai subjek dan rhemata berfungsi sebagai predikat. Ini memberikan dasar lebih lanjut pada perkembangan teori tata bahasa secara umum, meskipun pada abad-abad selanjutnya terjadi perbedaan yang cukup mendasar, yang bisa saja disebabkan oleh perbedaan interpretasi dan perkembangan pemikiran manusia.
Pada ujung kontinuum lainnya terdapat makna. Proses pencarian makna ini tentu tidak hanya dikaitkan pada struktur atau tata bahasa saja, namun juga dipengaruhi oleh konteks yang dalam filsafat berkaitan dengan kebenaran pragmatis. Makna secara umum menjadi fokus utama kajian Semantik, di mana di dalamnya beragam unsur filsafat ditemukan. Konsep-konsep sinonim, antonim, hiponim, meronim, dsb. diperkenalkan sedemikian rupa untuk dapat menghasilkan pemaknaan yang tepat akan sebuah pernyataan. Di dalam Semantik ini sebenarnya bernaung sebuah kajian yang saat ini disebut dengan Pragmatik. Pragmatik sendiri pada dasarnya merupakan kajian tentang bagaimana bahasa dipergunakan. Pernyataan tertentu akan beragam maknanya menyesuaikan dengan konteksnya, di mana dalam teori kebenaran pragmatis, sebuah pernyataan akan dianggap benar apabila dapat memberikan manfaat praktis bagi manusia. J.L. Austin dapat disebut sebagai salah seorang yang telah memberikan jasa besar bagi perkembangan dunia Pragmatik. Bahasan tentang tindak tutur (Locutionary Acts, Illocutionary Acts, dan Perlocutionary Acts) dijabarkan dengan mendalam sehingga dapat dibedakan satu sama lainnya. Ahli bahasa lainnya, semisal Searle (1975), kemudian mengembangkan teori-teori Pragmatik lebih lanjut dengan membedakan tindak tutur itu menjadi lima kelompok utama, yaitu: a) representatif (berbentuk pernyataan), b) direktif (berbentuk pertanyaan, permintaan dan perintah, c) komisif (berbentuk pernyataan janji, tekad, jaminan, sumpah, dan persetujuan, d) ekspresif (pernyataan perasaan tentang sesuatu, seperti ucapan terima kasih, mohon maaf, dan ucapan selamat); dan e) deklaratif (berbentuk pengumuman, pemberitahuan, proklamasi, dan pemberian nama). Dalam dunia pengajaran bahasa, filsafat juga memberikan jalan yang sangat luas, dimulai dari teori-teori tentang pemerolehan bahasa baik berdasarkan pandangan
behaviorisme, kognitivisme, dsb.
Teori-teori tersebut tentu didasarkan pada pernyataanpernyataan filsafat dari filsuf kenamaan pada zaman-zaman sebelumnya. Secara praktis, dapat kita ambil sebuah contoh. Dalam pengajaran menulis, kita sering disuguhkan dengan dua teknik utama penyampaian ide, apakah secara induktif dan deduktif. Induktif mengikuti filosofi empirisme yang bertitik tolak dari fakta-fakta yang bersifat khusus dan dengannya mengambil kesimpulan yang bersifat umum. Pada sisi lain, deduktif berpedoman pada aliran rasionalisme dengan bertitik tolak dari sesuatu yang umum untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat khusus. Kedua metode ini sangat membantu dalam proses belajar menulis. Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa filsafat benar-benar memberikan nuansa dalam perkembangan bahasa baik secara teoritis maupun praktis. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan di antara para filsuf namun bukan berarti harus saling menyalahkan. Kebenaran selalu berada dalam proses pencarian dan akan sangat bersifat relatif.







 




BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Sebagai bagian akhir tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa meskipun filsafat bahasa muncul setelah filsafat-filsafat lainnya, misalnya filsafat fisika, pada dasarnya filsafat bahas itu telah hadir di dalam proses pembentukan filsafat-filsafat itu. Para filsuf sejak dahulu kala menggunakan media bahasa untuk menyampaikan pernyataan-pernyataan filsafat mereka untuk mencari kebenaran akan segala sesuatu. Dengan lahirnya filsafat bahasa sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, telah melahirkan toeriteori tentang bahasa sehingga wacana teori bahasa mendapatkan tempat yang sangat khusus. Pernyataan berikut mungkin dapat menjadi pengingat bagi diri kita yang sering sekali alpa karena sifat kemanusiawian kita. Pemikiran-pemikiran yang berbeda adalah warna dalam kehidupan begitu juga dalam keilmuan sehingga untuk mencari mana yang paling benar adalah kesalahan. Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang pasti, semuanya berubah dan yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Jadi, bisa saja pada saat ini kita menganggap sebuah pernyataan benar namun pada saat lain ketika pernyataan itu terbantahkan kita pun mengakui bahwa yang kita akui benar ternyata masih memiliki unsure ketidakpastian.

Mungkin kita bisa berkaca pada Descartes yang berusaha terus menerus mencari yang mencoba mencari kepastian, yakni kepastian yang tidak dapat menggoyahkan keyakinannya. Meskipun Decartes tidak menghalangi pemikiran orang lain, namun keyakinan-keyakinan yang ia munculkan di akhir pencariannya tidak dapat member pemecahan akan kepastian. Ketika kita mengejar kepastian sesungguhnya kita seperti mengejar sesuatu yang terus menghindar dari kita setiap saat kita menghampirinya

DAFTAR RUJUKAN


Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Endrotomo, Ir. 2004. Ilmu dan Teknologi. Information System ITS.
Kaelan, Drs., M.S. 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya.
Yogyakarta: Paradigma
Kartanegara, Dr. Mulyadi. 2005. Integrasi Ilmu. Bandung: Penerbit Arasy PT Mizan
Pustaka
Muslih, Mohammad. 2006. Filsafat IlmuKajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar
Poedjawijatna, Prof. Ir. 2004. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta.
S. Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan
Sumarsono. 2011. Filsafat Bahasa. Malang: Lembaga Penerbit Universitas
Kanjuruhan Malang.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TES PEMAHAMAN TEKS LHO: DATA DAN FAKTA (VIII)

 TES PEMAHAMAN TEKS LHO: DATA DAN FAKTA (VIII) Klik link dibawah ini: https://forms.gle/ZqeMZSAmrt4usmru8