INTERFRENSI BAHASA DAERAH
(JAWA) DALAM STRUKTUR FONOLOGI,
MORFOLOGI, SINTAKSIS, DAN LEKSIKON PADA BAHASA INDONESIA
Abstrak
Ardiantoro, Bayu. 2016. Interfrensi Bahasa Daerah
(jawa) Dalam Struktur Fonologi,
Morfologi, Sintaksis, Dan Leksikon Pada Bahasa Indonesia. Program
Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Islam
Malang. Pembimbing: Dr. H.
Nur Fajar Arief, M.Pd
Kata Kunci: Interfrensi, Struktur, Bahasa
Belajar bahasa merupakan
suatu kewajiban bagi semua orang. Bahasa pada saat ini telah menjadi suatu
budaya yang patut dilestarikan keberadaannya. Dengan belajar bahasa berarti
juga belajar membudidayakan diri sendiri, mengembangkan diri, dan membentuk
diri menjadi manusia yang luhur
Interferensi merupakan salah satu faktor penyebab kesalahan
berbahasa dan dipandang sebagai pengacu karena merusak sistem suatu bahasa. Kedwibahasaan
peserta tutur dapat mengakibatkan terjadinya interferensi, baik yang berupa
bahasa daerah maupun bahasa asing. Dapat dikatakan demikian karena di dalam
diri penutur yang dwibahasawan terjadi kontak bahasa yang selanjutnya dapat
mengakibatkan munculnya interferensi.
Ragam interferensi yang dibahas adalah interferensi fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Interferensi fonologi terdiri dari interferensi
fonologis pengurangan, penambahan huruf, dan interferensi fonologis perubahan
huruf, morfologi merupakan cabang ilmu
linguistik yang mengkaji tentang pembentukan kata, Interferensi
sintaksis terjadi apabila struktur bahasa lain (bahasa daerah) digunakan dalam
pembentukan kalimat bahasa yang digunakan. Penyerapan unsur kalimatnya dapat
berupa kata, frase, dan klausa, Interferensi leksikon terjadi apabila adanya pencampuran
bahasa pertama yang menjadi serpihan dalam bahasa kedua, baik kata maupun frasa
bahasa pertama.
Penyebab terjadinya interferensi karena
adanya kekurangpengetahuan terhadap bahasa target, karena kedudukan lawan
bicara, faktor-faktor yang menyangkut pribadi seseorang penutur, karena adanya
ketidaktahuan atau penguasaan bahasa oleh masyarakat tutur
Pendahuluan
Bahasa
mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, sebab bahasa merupakan alat
pemersatu antara satu dengan yang lainnya, mulai dari tingkat skala kehidupan
yang paling kecil keluarga, masyarakat, hingga ke skala yang paling besar
kehidupan bernegara. Belajar bahasa
merupakan suatu kewajiban bagi semua orang. Bahasa pada saat ini telah
menjadi suatu budaya yang patut dilestarikan keberadaannya. Dengan belajar
bahasa berarti juga belajar membudidayakan diri sendiri, mengembangkan diri,
dan membentuk diri menjadi manusia yang luhur.
Interferensi merupakan salah satu
faktor penyebab kesalahan berbahasa dan dipandang sebagai pengacu karena
merusak sistem suatu bahasa. Menurut para ahli istilah interferensi pertama
kali digunakan oleh Wenreich ( Abdul Chaer Leoni Agustina 1953:120) untuk
menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan
unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Didalam
interferensi ada penyebab terjadinya interferensi yaitu Kedwibahasaan peserta
tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari
bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan
terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada
akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima
cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Perbendaharaan kata suatu
bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan
yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain
yang dikenalnya. Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung
akan menghilang. Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup
penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian
kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan
Proses komunikasi merupakan kebutuhan manusia, baik
komunikasi berbentuk lisan maupun tulisan. Komunikasi dan bahasa merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dengan
interaksi yang dilakukan terhadap lingkungannya, hal tersebut dilakukan untuk
menyampaikan gagasan, ide, pesan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
interaksi. Alat yang
digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa. Senada dengan pendapat Chaer (2010:11) menyatakan
sebagai berikut.
Fungsi
utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang hanya
dimiliki manusia. Di dalam kehidupannya bermasyarakat, sebenarnya manusia dapat
juga menggunakan alat komunikasi lain selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa
merupakan alat komunikasi yang paling baik, paling sempurna, dibandingkan
dengan alat komunikasi lain.
Maksud
dan tujuan seorang pembicara akan sampai kepada lawan bicara, apabila lawan bicara mampu menguasai atau mengetahui bahasa yang digunakan
pembicaranya. Pembicara yang tidak menguasai bahasa maka proses komunikasi antarpembicara tidak
akan berjalan dengan baik. Penutur maupun lawan tutur harus sama-sama mengetahui
atau menguasai bahasa yang akan mereka pergunakan dalam komunikasi tersebut,
karena pada prinsipnya melalui bahasalah komunikasi dapat digunakan oleh para
pembicara dalam bekerjasama atau kegiatan lain. Hal ini sesuai pendapat Kridalaksana
(dalam Chaer, 2007:32) menyatakan bahwa “Bahasa adalah sistem lambang bunyi
arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok untuk bekerja sama,
berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri”.
Komunikasi yang digunakan oleh penutur di Indonesia tidak
seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia
menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa komunikasi di daerahnya masing-masing.
Hal ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan kekayaan budaya bahasa.
Bangsa yang kaya akan budaya bahasa dan tradisi, pada
prinsipnya mereka memiliki bahasa kesatuan yaitu bahasa Indonesia dan mampu
berbahasa Indonesia, walaupun secara praktis bahasa daerah sebagai bahasa
komunikasi yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dengan ciri khas ragam bahasa
dialeknya masing-masing.
Keragaman
bahasa tersebut menyebabkan kemampuan komunikatif seseorang bervariasi. Masyarakat Indonesia yang pernah mengenyam
pendidikan, sekurang-kurangnya
mampu menguasai bahasa Indonesia. Hal ini sesuai pendapat Chaer (2010:35) menyatakan
sebagai berikut.
Rata-rata
seorang Indonesia yang pernah menduduki bangku sekolah menguasai bahasa ibunya
dan bahasa Indonesia. Selain itu, mungkin menguasai satu bahasa daerah lain
atau lebih dan juga bahasa asing, bahasa Inggris atau bahasa lainnya apabila
mereka telah memasuki pendidikan menengah atau pendidikan tinggi. Masyarakat atau individu sebagai
penutur yang mampu berbicara dua bahasa, maka individu tersebut merupakan bilingualisme atau dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasaan.
Berdasarkan pemaparan ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa bilingualisme
merupakan kemampuan seorang penutur dalam
menggunakan dua bahasa dengan cara penuturan yang sama baiknya. Secara teoretis bilingualisme harus dilaksanakan melalui praktik tindak tutur yang
diujarkan dengan sama
baiknya oleh pengguna
kedua bahasa tersebut. Praktik tindak tutur bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia
harus dikuasai oleh penutur sebagai bahasa pengantar antarsuku bahasa. Bahasa
kedua yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu yang berfungsi bagi
kelangsungan hidup, maka harus dikuasai oleh penuturnya.
Tuntutan penguasaan bahasa kedua yang
dijadikan sebagai bahasa pengantar harus dapat dipenuhi oleh penutur bilingual,
karena hal ini menyangkut kepentingan individu penutur ataupun lawan tutur di
saat kondisi bahasa kedua harus digunakan.
Penutur bilingual tidak hanya dapat
dilakukan orang dewasa yang berpengetahuan tinggi dan berpengalaman dalam
bidang bahasa, melainkan siswa yang sedang mengenyam pendidikan pun harus mampu
berbicara secara bilingual, demikian pula siswa pada jenjang tingkat SMP harus
mampu bertindaktutur dengan temannya yang berbeda bahasa daerah, maka siswa
dituntut untuk mampu berbicara dengan menggunakan bahasa kedua/bahasa pengantar
yaitu bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Interferensi
Interferensi merupakan
proses masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain yang bersifat melanggar kaidah
gramatika bahasa yang menyerap. Mengenai pengertian interferensi secara komprehensif.
Berikut pernyataan beberapa pakar membatasi pengertian interferensi.
Menurut
Weinreich (dikutip Tarigan, 2011:15) menurutnya, interferensi adalah “penyimpangan norma bahasa yang terjadi
didalam ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa
yang menyebabkan terjadinya kontak bahasa”. Senada dengan itu, Chaer dan
Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa
penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.
Kridalaksana (1985:26) menyatakan
sebagai berikut.
Interferensi adalah penyimpangan
kaidah-kaidah suatu bahasa yang terjadi pada orang bilingual sebagai akibat
penguasaan dua bahasa. Penyebab interferensi yang lain adalah kurangnya
penguasaan kaidah kebahasaan secara benar.
Alwasilah
(1985:131) menyatakan sebagai berikut.
Interferensi
merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan
pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan
satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata.
Soewito (dalam Chaer, 2010:126) menyatakan bahwa “Interferensi dalam bahasa Indonesia
berlaku bolak-balik, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa Indonesia
dan bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa-bahasa daerah”. Kekeliruan pengucapan satuan
bunyi, tata bahasa, dan kosakata berdampak pada gangguan atau penyimpangan pada
system fonemik bahasa penerima.
Berdasarkan beberapa pendapat para
ahli di atas dapat ditarik simpulan bahwa interferensi merupakan peristiwa
berbahasa yang dilakukan oleh seorang bilingual dengan cara menggunakan suatu
bahasa dengan memasukkan unsur-unsur bahasa lain.
Faktor Penyebab Timbulnya
Interferensi
Kedwibahasaan
peserta tutur dapat mengakibatkan terjadinya interferensi, baik yang berupa
bahasa daerah maupun bahasa asing. Dapat dikatakan demikian karena di dalam
diri penutur yang dwibahasawan terjadi kontak bahasa yang selanjutnya dapat
mengakibatkan munculnya interferensi. Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa
penerima cenderung akan menimbulkan sikap yang kurang positif.
Pendapat
lain mengenai penyebab interferensi dikemukakan Jendra (1991:105) sebagai berikut.
Interferensi terjadi karena tiga unsur pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa donor,
yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain;
bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi
oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau
unsur serapan.
Penuturan-penuturan tersebut
terlihat dalam bentuk pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dalam
pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasainya secara tidak terkontrol.
Hal lain yang paling berpengaruh adalah kebiasaan menggunakan sistem bahasa ibu
pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena
kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima.
Kebiasan tersebut dapat terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar
bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
(1)
Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan
peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh
lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu
disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang
pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2)
Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya
kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan
sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima
yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasai
penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk
interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik
secara lisan maupun tertulis.
3) Tidak
cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan
kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi
kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi
kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul
dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru
yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk
mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa
sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau
meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut.
Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk
mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan
terjadinya interferensi. Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata
baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru
yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi
karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan
kata bahasa penerima.
4)
Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata
dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal
ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian
menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu
pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain
pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau
peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
Interferensi
yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut
akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata
bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat
diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa Sinonim dalam
pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi
dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara
berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. penerima.
5)
Kebutuhan akan sinonim
Dengan
adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata
yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.
Karena
adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi
dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk
memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosakata
yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.
6)
Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise
bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa
ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap
berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan
keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang
timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber
pada bahasa penerima yang dipergunakan
7).
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu
Terbawanya
kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada
umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan
terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada dwibahasawan yang
sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing.
Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol.
Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau
menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu
yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
penyebab terjadinya interferensi karena adanya kekurang pengetahuan terhadap bahasa target,
karena kedudukan lawan bicara, faktor-faktor yang menyangkut pribadi seseorang
penutur, karena adanya ketidaktahuan atau penguasaan bahasa oleh masyarakat
tutur.
Jenis-jenis
Interferensi
Penyebab terjadinya interferensi ini
kembali kepada kemampuan penutur dalam
bertindak tutur menggunakan bahasa tertentu sehingga dia dipengaruhi oleh
bahasa lain. Biasanya interferensi terjadi pada saat menggunakan bahasa kedua (B2) dengan jenis
yang berbeda-beda.
Kridalaksana
(1995:57) menyatakan bahwa “Fonologi
ialah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut
fungsinya”. Interferensi dalam bidang fonologi terdiri dari interferensi
fonologis pengurangan, penambahan huruf, dan interferensi fonologis perubahan
huruf.
Interferensi dalam bidang morfologi,
antara lain, terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Afiks-afiks suatu
bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain.Umpamanya dalam bahasa
Belanda dan Inggris ada sufiks-isasi, maka banyak penutur bahasa Indonesia yang
menggunakannya dalam pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti neonisasi, tendanisasi.
Chaer (2003:123) mengemukakan bahwa “Bentuk-bentuk
tersebut merupakan penyimpangan dari sistematik morfologi bahasa Indonesia,
sebab untuk membentuk nomina proses dalam bahasa Indonesia ada konfiks pe-an.
Jadi seharusnya peneonan dan penendaan”.
Adanya afiks-sasi pada kata neon dan tenda, merupakan interferensi morfologi karena konfiks pe-an dianggap sebagai afiksasi yang tepat dalam kata
tersebut. Suwito (1988:66) menyatakan bahwa “Interferensi
morfologi terjadi apabila dalam pembentukan katanya sesuatu bahasa menyerap
afiks-afiks bahasa lain”.
Inteferensi bidang morfologi terjadi pula dari afiks
bahasa daerah. Chaer (2003:123) mengemukakan sebagai berikut.
Penggunaan bentuk-bentuk ketabrak, kejebak, kekecilan, dan kemahalan dalam bahasa Indonesia juga
termasuk kasus interferensi, sebab imbuhan yang digunakan di situ berasal dari
bahasa Jawa atau Sunda dan dialek Jakarta. Bentuk yang baku adalah tertabrak, terjebak, terlalu kecil, dan terlalu mahal.
Interferensi dalam bidang sintaksis,
pada bunyi kalimat bahasa Indonesia dari
seorang bilingual Jawa-Indonesia. Bunyi kalimat tersebut “Di sini
toko Laris yang mahal sendiri” (diangkat dari Djoko Kentjono 1982). Kalimat bahasa
Indonesia ini berstruktur bahasa Jawa bunyinya adalah “ Ning kene toko Laris sing larang dhewe”. Kata sendiri dalam bahasa Indonesia itu merupakan terjemahan dari kata
Jawa dhewe. Kata dhewe dalam bahasa Jawa antara lain memang berarti ‘sendiri’, seperti terdapat dalam kalimat
“aku dhewe sing teko” (saya sendiri
yang datang), dan “kowe krungu dhewe”
(apakah kamu mendengarnya sendiri). Kata dhewe
yang terdapat diantara kata sing dan
adjektifa adalah berarti ‘paling’
seperti sing dhuwur dhewe ‘yang paling tinggi’ dan sing larang dhewe ‘yang paling mahal’. Penggunaan kalimat baku dalam bahasa Indonesia seharusnya berbunyi “Toko Laris adalah toko yang paling mahal”.
Interferensi dalam bidang leksikal
lainnya diambil
contoh kalimat dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Sunda-Indonesia yang
dicontohkan Chaer (2003:263) berikut ini.
Surat itu telah
dibaca oleh saya. Kalimat tersebut adalah bentuk terinterferensi oleh
bahasa Sunda, sebab dalam bahasa Sundanya berbunyi: eta surat geus dibaca ku kuring. Dalam bahasa Indonesia struktur
kalimatnya haruslah berbentuk Surat itu
sudah saya baca.
Interferensi dipandang sebagai
“pengacauan ”karena “merusak” sistem suatu bahasa, tetapi pada sisi lain
interferensi dipandang sebagai suatu mekanisme yang paling penting dan dominan untuk
mengembangkan suatu bahasa yang masih perlu pengembangan. Pada subsistem
fonologi, morfologi dan sintaksis memang interferensi lebih dekat untuk disebut
“pengacauan”, tetapi pada subsistem kosakata dan semantik interferensi
mempunyai andil besar dalam pengembanan suatu bahasa. Interferensi kosakata
bahasa resipien menjadi diperkaya oleh kosakata bahasa donor, yang pada mulanya
dianggap sebagai unsur pinjaman, tetapi kemudian tidak lagi karena kosakata itu
telah berintegrasi menjadi bagian dari bahasa resipien.
Jenis
interferensi dikemukakan Jendra (1991:109) bahwa “Interferensi meliputi
berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi),
tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon)”.
Ragam Interferensi
Ragam interferensi yang dibahas adalah
interferensi fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Keempat jenis
interferensi tersebut dijelaskan di bawah ini.
A.
Interferensi
Fonologi
Kridalaksana
(1985:57) menyatakan bahwa “Fonologi
ialah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut
fungsinya”.
Interferensi fonologi terdiri dari interferensi fonologis pengurangan, penambahan huruf, dan interferensi
fonologis perubahan huruf. Seperti pada kata meliat yang diujarkan penutur berbahasa Jawa. Kata meliat telah terjadi pengurangan
huruf /h/. Penjelasan interferensi
fonologi merupakan suatu proses yang berusaha menerangkan perubahan-perubahan
morfem atau kata berdasarkan ciri-ciri pembeda secara fonetis (hal yang berkaitan
dengan bunyi). Perubahannya biasa terjadi seperti penghilangan fonem pada awal,
tengah, akhir, atau melalui proses penggabungan, pelesapan, penyisipan,
asimilasi, dan desimilasi.
B.
Interferensi
Morfologi
Morfologi
merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang pembentukan kata. Ramlan
(2001:21) menyatakan bahwa “Morfologi
merupakan bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk
beluk bentuk kata”.
Pembentukan morfem dengan afiks harus disesuaikan dengan
kaidah penggunaan bahasa Indonesia. Ramlan (2001:63) menyatakan sebagai
berikut.
Afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam
bahasa lain, Sedangkan afiks adalah morfem imbuhan yang berupa awalan, akhiran,
sisipan, serta kombinasi afiks. Afiks bisa memempati
posisi depan, belakang, tengah bahkan di antara morfem dasar.
Pembentukan
kata bahasa kedua tidak selamanya sesuai dengan kaidah pembentukannya,
terkadang pembentukannya terinterferensi afiks bahasa Ibu. Proses afiksasi sering terserap afiks ke-, ke-an dari bahasa Jawa, misalnya
kata ketabrak, kelanggar dsb.
Bentukan kata tersebut berasal dari bentuk dasar bahasa Indonesia + afiks
bahasa daerah. Bentukan dengan afiks-afiks seperti ini sebenarnya tidak perlu,
sebab dalam bahasa sudah ada padanannya berupa afiks ter-. Persentuhan unsur
kedua bahasa itu menyebabkan perubahan sistem bahasa, yaitu perubahan pada
struktur kata bahasa yang bersangkutan. Selain berupa penambahan afiks,
gejala-gejala interferensi morfologi lainnya dapat pula berupa reduplikasi, dan
pemajemukan.
C.
Interferensi
Sintaksis
Interferensi sintaksis terjadi
apabila struktur bahasa lain (bahasa daerah) digunakan dalam pembentukan
kalimat bahasa yang digunakan. Penyerapan unsur kalimatnya dapat berupa kata,
frase, dan klausa.
Suwito (1988:56) mengemukakan bahwa “Interferensi sintaksis terjadi karena di dalam diri penutur terjadi
kontak antara bahasa yang sedang diucapkannya (B1) dengan bahasa lain yang juga
dikuasainya (bahasa daerah atau bahasa asing)”.
Bentuk
interferensi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia, misalnya: Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu. Kalimat tersebut mengandung unsur kalimat atau tata
kalimat bahasa
Jawa. Kalimat itu dalam bahasa Jawa adalah Omahe
bapake Ali sing gedhe dhewe ing kampong iku.
Padanan
struktur kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia adalah Rumah ayah Ali yang paling besar di kampung itu. Adanya
penyimpangan unsur struktur kalimat di dalam diri penutur terjadi karena kontak
antara bahasa yang sedang diucapkannya (bahasa Indonesia) dengan bahasa daerah.
D.
Interferensi
Leksikon
Interferensi terjadi apabila adanya pencampuran bahasa
pertama yang menjadi serpihan dalam bahasa kedua, baik kata maupun frasa bahasa
pertama.
Chaer (2003:263) menyatakan sebagai berikut.
Interferensi yang tampak menonjol adalah pada tuturan
fonologi dan leksikon. Kita dengan mudah dapat menebak seseorang berasal dari
mana dengan menyimak lafal dan kosakata yang digunakan dalam berbahasa kedua.
Berdasarkan
teori tersebut dapat disimpulkan bahwa interferensi leksikon terjadi karena
tuturan B2 terinterferensi B1 karena lafal dan kurangnya perbendaharaan penutur pada saat
menuturkan bahasa kedua.
Berikut ini contoh interferensi fonologi,
morfologi, sintaksis, dan leksikon
“Tadi malam
aku ketiduran karena sorenya abis kegiatan ekskul”.
Tuturan
tersebut dapat dianalisis berdasarkan kajian interferensi fonologi, morfologi,
sintaksis, dan leksikon berikut ini.
1. Interferensi
Fonologi
Interferensi fonologi terdapat pada kata habis. Kata tersebut
terinterferensi fonologi bahasa Jawa, karena menghilangnya huruf /h/ pada kata habis, yang seharusnya diujarkan habis. Menghilangnya fonem /h/ merupakan kasus interferensi
fonologi, karena bunyi /h/ seharusnya tetap dituturkan.
2. Interferensi
Morfologi
Interferensi morfologi terdapat pada kata ketiduran. Kata ketiduran terbentuk
karena adanya afiksasi dari bahasa
Jawa yaitu konfiks {ke-an} dengan kata turu
menjadi keturuan atau keturon, maka terjadilah interferensi
morfologi yang masuk ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi ketiduran. Kata ketiduran merupakan penyimpangan
morfologi, dalam bahasa Indonesia struktur kata tersebut haruslah berbentuk: tertidur.
3. Interferensi
Sintaksis
Tuturan
yang diujarkan siswa I, tidak terinterferensi sintaksis bahasa Jawa, hanya penggunaan
bahasanya masih terinterferensi morfologi.
Tadi malam aku ketiduran karena sorenya habis kegiatan ekskul.
Sebagai koreksi dalam bahasa Indonesia struktur kalimat
tersebut berbentuk:
“malam tadi aku tertidur karena sore harinya
melaksanakan kegiatan ekstra kulikuler”.
4. Interferensi
Leksikon
Melalui
tuturan siswa I, dapat diidentifikasi tuturan bahasa kedua ini terinterferensi
leksikon bahasa Ibu Jawa. Hal ini dibuktikan pada saat siswa I dalam menuturkan kata ketiduran terdengar pelafalan bahasa
Jawa, yakni adanya penuturan
bunyi ketidhuran dengan
pelafalan dan artikulasi khas tuturan orang Jawa.
Simpulan
Proses komunikasi merupakan
kebutuhan manusia, baik komunikasi berbentuk lisan maupun tulisan. Komunikasi dan bahasa merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dengan
interaksi yang dilakukan terhadap lingkungannya, hal tersebut dilakukan untuk
menyampaikan gagasan, ide, pesan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
interaksi. Alat yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa.
Penyebab terjadinya interferensi karena
adanya kekurangpengetahuan terhadap bahasa target, karena kedudukan lawan
bicara, faktor-faktor yang menyangkut pribadi seseorang penutur, karena adanya
ketidaktahuan atau penguasaan bahasa oleh masyarakat tutur.
Interferensi
fonologi terdiri dari interferensi
fonologis pengurangan, penambahan huruf, dan interferensi fonologis perubahan
huruf.
·
Interferensi Fonologi: Interferensi
fonologi terdiri dari interferensi
fonologis pengurangan, penambahan huruf, dan interferensi fonologis perubahan
huruf. Perubahannya biasa terjadi seperti penghilangan fonem pada awal, tengah,
akhir, atau melalui proses penggabungan, pelesapan, penyisipan, asimilasi, dan
desimilasi.
·
Interferensi Morfologi: Proses afiksasi terbentuk karena adanya
kata yang berasal dari bentuk dasar bahasa Indonesia + afiks bahasa daerah.
·
Interferensi Sintaksis: Interferensi
sintaksis terjadi apabila struktur bahasa lain (bahasa daerah) digunakan dalam
pembentukan kalimat bahasa yang digunakan. Penyerapan unsur kalimatnya dapat
berupa kata, frase, dan klausa.
·
Interferensi Leksikon
terjadi apabila adanya pencampuran bahasa pertama yang menjadi serpihan dalam
bahasa kedua, baik kata maupun frasa bahasa pertama.
Daftar Rujukan
Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Beberapa Madhab dan
dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie
2010. Sosiolinguistik. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:
Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Hayi,
Abdul dkk. 1985. Interferensi Gramatika Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa.
Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Tarigan, Henry Guntur. 2011. Pengajaran
Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar